Senin, 20 Agustus 2012

Sejarah Hitam Wahabi 03


Direvisi 6 Agustus 2012
 

SEJARAH “HITAM”
KAUM WAHABI 03.

PERSAHABATAN KAUM WAHABI
DENGAN PEMERINTAH INGGRIS.


Oleh: mutawalli



I. Pendahuluan:

Pada tulisan sebelumnya telah digambarkan situasi Timur Tengah sebelum berkuasanya Kaum Wahabi di Saudi Arabia. Pertama-tama digambarkan situasi Kerajaan Islam yang dikuasai oleh bangsa Arab dari keturunan Quroisy.
Selanjutnya diceriterakan tentang asal-usul bangsa Mongol dan Turki yang berasal dari Asia Utara. Kemudian terbentuknya Khilafah Turki Usmaniyah, perkembangannya sampai keruntuhannya.
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520 M.) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-1566 M.) melanjutkan ekspansi Selim. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535 M., mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Dalam dokumen resmi Pemerintah Inggris yang telah dibuka untuk umum tertulis sebagai berikut:
Jaziroh Arob secara umum berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Klan keluarga Syarif Hussein (keturunan Rosululloh Saw.) yang menguasai kota suci Makah sejak 700 tahun lalu itu didirikan olah Qotadah ibnu Idris (1133-1220 M) yang dilahirkan di Yanbu, Jaziroh Arob. Dia memanfaatkan fitnah pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat Makah sebagai peluang untuk menguasainya. Dia berhasil menguasai Makah pada tahun 1201. Kekuasaannya semakin meluas sampai ke Madinah sebelah utara dan Yaman di sebelah selatan. Kemudian Sultan Turki Usmani Salim I menguasai Mesir dan semenanjung Hijaz tahun 1517. Para syarif dan anak keturunan Qotadah itu terus memegang kekuasaan (di jaziroh Arob) di bawah kekuasaan Turki Usmani dari masa ke masa, baik secara de jure maupun de facto. Syarif Hussein ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Abd al-Mu’in ibn Awan merupakan penguasa terakhir dari kalangan syarif tersebut.


II. Pembentukan Faham Wahabi.
Suatu ide baru yang jauh berbeda dengan ide yang sudah ada di masyarakat tidak mungkin serta merta muncul di dalam otak seseorang begitu saja. Tentu ada pemicunya. Sebagai contoh ajaran agama para Nabi yang berbeda dengan faham masyarakat waktu itu dipicu oleh wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril. Teori-teori para sarjana yang cemerlang timbul dari percobaan / eksperimen yang dikerjakannya atau orang lain serta buku-buku karya para sarjana sebelumnya yang dibacanya.
Begitu juga dengan faham Wahabi yang dicetuskan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab. Selain pengaruh bacaan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah tentu ada peristiwa lain yang menjadikannya bergerak sangat radikal. Peristiwa itu adalah interaksi antara Muhammad ibnu Abdul Wahhab dengan seorang mata-mata Inggris bernama Hempher.
Sumber utama uraian di bawah adalah sebuah buku berjudul: “Pengakuan Mata-Mata Inggris dalam menghancurkan KEKUATAN ISLAM”, terjemahan Muhammad Siddiq Gunnus, diterbitkan oleh Al-Ikhlas, Surabaya 1999.
Buku ini diterjemahkan dari “Confession of a British Spy” yang diterbitkan oleh Hakikat Kitabevi, Istanbul, Turki.
Dalam http://artikelislami.wordpress.com diuraikan tentang sejarah buku ini sebagai berikut:
Memoar Mr Hempher, Mata-Mata Inggris untuk Timur Tengah adalah judul dokumen yang diterbitkan dalam beberapa seri di surat kabar Jerman, Spiegel, dan kemudian di majalah Perancis yang terkenal. Seorang dokter Lebanon menerjemahkan dokumen itu ke bahasa Arab dan dari sana dokumen itu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Penerbit Waqf Ikhlas menerbitkan dan mengedarkan dokumen dalam bahasa Inggris dalam bentuk hard copy dan elektronik dengan judul: Pengakuan dari Mata-Mata Inggris dan Permusuhan Inggris terhadap Islam. Dokumen ini mengungkapkan latar belakang sebenarnya dari gerakan Wahhabi yang merupakan bid’ah yang dibuat oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan menjelaskan sejumlah kepalsuan mereka yang tersebar atas nama Islam, dan mengekspos peran mereka dalam permusuhan terhadap agama Islam dan terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan terhadap Muslim pada umumnya. Tidak heran Wahhabi hari ini berdiri sebagai tulang punggung terorisme yang memungkinkan, membiayai, dan merencanakan penumpahan darah Muslimin dan orang-orang tak bersalah lainnya. Sejarah terorisme mereka yang dikenal baik sebagaimana didokumentasikan dalam Fitnatul Wahhabiyyah oleh mufti dari Makkah, Syaikh Ahmad Zayni Dahlan, dan pembunuhan mereka serta pelanggaran mereka adalah karena keyakinan mereka yang sakit. Semoga Allah melindungi bangsa kita dari kejahatan mereka.
Adapun ringkasan buku itu adalah sebagai berikut:
Dr. Abdullah Mohammad Sindi *], di dalam sebuah artikelnya yang berjudul : Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah Wahabisme, peran Pemerintah Inggeris di dalam perkembangannya, dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi. “Salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini adalah Wahabi,” demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi dalam pembukaan artikelnya tersebut. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
Wahhabisme memberi legitimasi bagi Istana Saud, dan Istana Saud memberi perlindungan dan mempromosikan Wahabisme ke seluruh penjuru dunia.
Keduanya tak terpisahkan, karena keduanya saling mendukung satu dengan yang lain dan kelangsungan hidup keduanya bergantung padanya.
Tidak seperti negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga kelas tiga, membatasi hak-hak mereka seperti : menyetir mobil, bahkan pada dekade lalu membatasi pendidikan mereka.
Juga tidak seperti di negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme :
- melarang perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw.
- melarang kebebasan berpolitik dan secara konstan mewajibkan rakyat untuk patuh secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin mereka.
- melarang mendirikan bioskop sama sekali.
- menerapkan hukum Islam hanya atas rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum bangsawan, kecuali karena alasan politis.
- mengizinkan perbudakan sampai tahun ’60-an.
- Mereka juga menyebarkan mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam memonitor demi mencegah munculnya gerakan anti-kerajaan.
Wahabisme juga sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. 1] Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah Wahidah di dalam Islam.
Wahhabisme juga memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan BID’AH dan KAFIR!

LAHIRNYA AJARAN WAHABI:
Wahhabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, di daerah Najd.
Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab (1703-92). Laki-laki ini lahir di Najd, di sebuah dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul-Wahhab adalah seorang mubaligh yang fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. 2]
Sebelum menjadi seorang mubaligh, Ibn Abdul-Wahhab secara ekstensif mengadakan perjalanan untuk keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz, Mesir, Siria, Irak, Iran, dan India.

Hempher mata-mata Inggris
Walaupun Ibn Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions of a British Spy” 3]
Selagi di Basra, Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar (under cover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam waktu yang relatif lama.
Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum Muslim – telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul.
Setelah mendengar mimpi liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan dungu (ignorant).
Mata-mata Inggeris ini, yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang yang bertipikal bebal/dungu (typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2 wanita Inggeris yang juga mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan Safiyya. Wanita ini tinggal bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya lagi adalah seorang wanita Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka menikah di Shiraz, Iran. 4]


KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744 - 1818
Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat kelahirannya.
Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar 6]
Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7] Pada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation).
Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang besar).
Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.
Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah.
Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.


KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial Inggeris, mereka dapat bangkit kembali.
Setelah pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan Saudi-Wahhabi memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan Inggeris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka.”
Demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencari jalan untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian “persahabatan” dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.
Perjanjian ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial Inggeris atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan : Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas area yang dimilikinya.
Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam (yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya, baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab.
Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.


KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz menghabiskan waktu mereka “menyembah-nyembah” tuan Inggeris mereka dan memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.
Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati. 12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat dicintai oleh majikan Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggeris di wilayah Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat. Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang barbar, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun merasa terhibur dengan raung tangis dan takut kaum wanita.
Banyak wanita Taif yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah di Taif diratakan dengan tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif. 11]

The end

http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
*
Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.


Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul dari bangsa lain. Mereka (walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang, menggunakan kafyeh, bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta (Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British Spy” : http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje yang telah belajar lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang, seluruh kerajaan Islam jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam Aceh. Salah satu provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama Saudi adalah menyebarkan keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah lemah! (Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini diharapkan Nasionalisme bangsa Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The British Spy To The Middle East, page 13.
[5] Lihat “The Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus, N.J.: Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p. 117.
[10] Gary Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise of the House of Sa’ud (London: Frank Cass, 1976), pp. 15-16.
[11] Quoted in Robert Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of Saud (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), p. 145
. 
III. Kritik Terhadap Buku Karangan Hempher
          Pada http://tentarakecilku.blogspot.com terdapat kritik terhadap buku Hempher sebagai berikut:

Memoar Mata-Mata Inggris
Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang diaku sebagai memoar seorang mata-mata Kerajaan Inggris di Irak pada masa Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Hempher, nama mata-mata itu, sebagaimana yang dituliskan dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710 M) ke wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul.

Catatan-catatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan “Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East.” Setelah dipublikasikan, catatan-catatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatan-catatan itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul Confessions of a British Spy and British Enmity.

Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul “Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam” oleh penerbit Galan pada tahun 2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata ganti “Nejed” untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil Wahhab.

Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon, pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.

Kritik atas Sumber Sejarah
Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar tersebut dapat digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber, temasuk juga Tarikh Najd dan Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima sebagai sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat.

Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.

Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan (kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini dikenal juga dengan sebutan kritik intern.

Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang mata-mata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang bersangkutan.

Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada sumber-sumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.

Beberapa Pertentangan Hempher
Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk mendapatkan dokumen asli mata-mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan tetapi, bila melihat keterangan yang dikandung memoar tersebut setelah diterjemahkan dan diterbitkan, maka salah satu bentuk pembuktian dapat dilakukan, meskipun masih tetap dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian yang lain.

Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.

Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.

Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad Al-Majmu’i adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumber-sumber yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.

Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari sumber-sumber yang lain, bertentangan.

Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basroh, Zubair dan Ahsa’ selama melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah perjalanannya.

Kesimpulan
Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup menjadi alasan untuk menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi masalah adalah banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar argumen bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang laki-laki yang disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan dakwahnya, Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu sekte dalam Islam yang dibentuk Inggris.

Nur Khalik Ridwan, dalam tulisan-tulisannya tentang Wahabi, memakai memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar “Islam Digest.” Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.

Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan bertele-tele. Akan tetapi, permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau tidak percaya. Sumber-sumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.[]


Komentar
Penolakan tulisan Hempher berdasarkan data sejarah yang dikeluarkan oleh sumber Wahabi tentunya masih perlu diuji kebenarannya, karena sumber sejarahnya tidak netral yaitu bertendensi membela Wahabi dan menyalahkan pernyataan Hempher. Sumber yang dapat dipakai di antaranya adalah dokumen Pemerintah Inggris pada abad ke-19 yang sekarang sudah dibuka kerahasiaannya sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.Khususnya tentang peran mata-mata Inggris di Timur Tengah.


IV. Kerjasama Kaum Wahabi Dengan Kerajaan Inggris Pada Perang Dunia Pertama
Selain dari buku-buku, sumber sejarah yang dapat dipakai adalah dari Film Sejarah.

Film Lawrence of Arabia

Dari Wikipedia, Ensiklopedia bebas

Lawrence of Arabia adalah film Inggris 1962 didasarkan pada kehidupan T.E Lawrence, tentara Inggris yang mahir berbahasa Arab dan mempunya banyak kawan orang Arab. Film ini disutradarai oleh David Lean dan diproduksi oleh Sam Spiegel melalui perusahaan Inggrisnya Foto Horizon, dengan skenario oleh Robert Bolt dan Michael Wilso . Film ini dibintangi Peter O'Toole sebagai pemeran utama. Salah satu film terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah sinema.
Film ini menggambarkan pengalaman Lawrence di Jazirah Arab selama Perang Dunia I, dalam serangan khususnya pada Aqaba dan Damaskus dan keterlibatannya dalam Dewan Nasional Arab. Tema meliputi perjuangan emosional Lawrence dengan kekerasan pribadi yang melekat dalam perang, identitas pribadi, dan kesetiaannya terbagi antara tentara Inggris dan dan kawan-kawan barunya dalam suku-suku padang pasir Arab.

Plot

Film ini disajikan dalam dua babak, dipisahkan oleh sebuah jeda.

Babak I
Selama Perang Dunia Pertama, TE Lawrence (Peter O'Toole) adalah seorang Letnan Angkatan Darat Inggris yang ditempatkan di Kairo. Meskipun Jendral Murray (Donald Wolfit) berkeberatan, dia tetap dikirim oleh Mr Dryden (Claude Rains) dari Biro Arab untuk mengamatii prospek Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud (Alec Guinness) dalam pemberontakan melawan Kerajaan Turki Usmani. Di perjalanan, pemandu Badui nya dibunuh oleh Sheriff Ali (Omar Sharif) –sherif atau sharif adalah gelar bangsawan untuk para keturunan Nabi Muhammad saw- karena minum dari sumur tanpa izin. Lawrence kemudian bertemu Kolonel Brighton (Anthony Quayle), yang memerintahkan dia untuk tetap tenang, membuat penilaian tentang kamp Pangeran Faisal, dan pergi. Lawrence segera mengabaikan perintah Brighton ketika ia bertemu Pangeran Faisal. Pengetahuan dan keterbukaannya menarik minat sang pangeran.
Brighton menyarankan Pangeran Faisal untuk mundur setelah kekalahan telaknya, tapi Lawrence justru mengusulkan serangan mendadak yang berani di Pangkalan Angkatan Laut Turki di Aqaba yang, jika berhasil, akan memberikan jalan bagi Inggris untuk memasok kebutuhan bagi pasukan Arab. Sementara dibentengi kuat melawan serangan angkatan laut, kota ini lemah di sisi darat.
Dia meyakinkan Pangeran Faisal untuk mengirimkan pasukan lima puluh orang, dipimpin oleh Ali Sheriff yang skeptis. Dua anak yatim remaja, Daud (Yohanes Dimech) dan Farraj (Michel Ray), menyediakan dirinya ke Lawrence sebagai pembantunya.
Pasukan itu menyeberangi Gurun Nefud, yang dianggap tak dapat dilalui bahkan oleh suku Badui, perjalanan siang dan malam pada berakhir di sumber air (oasis). Gasim (I.S Johar) hampir meninggal dunia akibat kelelahan dan jatuh dari unta tanpa diketahui pada malam hari. Sisanya sampai ke oasis, tapi Lawrence ternyata kembali sendirian untuk mencari orang yang hilang, dengan mempertaruhkan nyawanya dan mengungguli Sheriff Ali dalam menyelamatkan Gasim.
Lawrence membujuk Abu Auda Tayi (Anthony Quinn), pemimpin dari suku lokal Howeitat yang kuat, untuk berbalik melawan Turki. Rencana Lawrence hampir gagal ketika salah satu anak buah Sherif Ali membunuh seorang anak buah Auda karena hutang darah. Karena pembalasan suku Howeitat akan menghancurkan aliansi yang rapuh, Lawrence menyatakan bahwa ia akan mengeksekusi si pembunuh sendiri. Tertegun untuk menemukan bahwa pelakunya adalah Gasim, dia menembaknya pula. Keesokan paginya, aliansi yang utuh itu mengalahkan garnisun Turki di Pangkalan Angkatan Laut Aqaba .
Lawrence pergi ke Kairo untuk menginformasikan Dryden dan komandan baru, Jenderal Allenby (Jack Hawkins), tentang kemenangannya. Sewaktu menyeberangi Gurun Sinai , Daud (bocah pembantu Lawrence) meninggal ketika ia tersandung ke pasir hisap . Lawrence dipromosikan menjadi mayor dan diberi senjata dan uang untuk mendukung orang-orang Arab yang dipimpin Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud. Dia sangat terganggu, mengingat bahwa ia telah mengeksekusi Gasim, tapi Allenby menepis keraguan itu. Dia bertanya Allenby apakah ada dasar kecurigaan Arab bahwa Inggris memiliki desain di Arabia . Jendral itu menyatakan bahwa mereka tidak memiliki desain seperti itu.

Babak II

Lawrence melancarkan perang gerilya, meledakkan kereta api dan mengecoh orang-orang Turki di setiap kelokan. Koresponden perang Amerika Jackson Bentley (Arthur Kennedy) mempublikasikan liputannya, membuat Lawrence terkenal di dunia. Di satu serangan, Farraj (bocah pembantu Lawrence yang masih hidup) terluka parah. Tidak mau meninggalkannya untuk disiksa, Lawrence terpaksa menembaknya sebelum melarikan diri.
Ketika Lawrence mengintai kota Daraa yang dikuasai musuh dengan Ali Sherif, ia bersama dengan warga Arab pergi ke seorang Bey Turki (José Ferrer). Lawrence dilucuti, dipelototi, dan ditusuk, dicambuki, dilecehkan secara seksual dan kemudian dilempar keluar ke jalan.
Di Yerusalem, Jenderal Allenby mendesak dia untuk mendukung "serangan besar" ke Damaskus , tapi Lawrence menolak keras. Namun akhirnya, ia menerima.
Dia merekrut pasukan Arab (pasukan Wahabi ?), terutama para pembunuh dan pemotong leher yang termotivasi oleh uang, bukan dorongan Nasionalisme Arab. Mereka melihat rombongan tentara Turki yang mundur yang baru saja membantai orang-orang Tafas. Salah satu pasukan Lawrence dari desa menuntut, "Tidak ada tahanan (bunuh semua)!" Ketika Lawrence ragu-ragu, pria itu menyerang orang Turki sendirian dan terbunuh. Lawrence mengambil mayatnya sambil menangis, menjadikan pembantaian di mana Lawrence sendiri berpartisipasi berjalan dengan mulus.
Anak buah Lawrence kemudian menguasai Damaskus sebelum pasukan Jenderal Allenby itu. Orang-orang Arab mendirikan sebuah dewan untuk mengelola kota, tetapi mereka adalah suku padang pasir yang tidak cocok untuk tugas seperti itu.Tidak dapat mempertahankan utilitas dan pertengkaran terus-menerus satu sama lain, mereka segera meninggalkan sebagian besar kota ke pasukan Inggris. Dipromosikan menjadi kolonel dan segera diperintahkan pulang, jasanya berakhir baik bagi Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud dan diplomat Inggris, seorang Lawrence yang sedih terusir dalam sebuah mobil staf.

Komentar Penulis:
Dalam film ini terlihat betapa eratnya hubungan kaum Wahabi dengan tentara Inggris dalam menghancurkan pasukan Turki Usmaniah pada Perang Dunia I.


V. Peran Salafi Wahabi dalam Menjadikan Palestina Terjajah
Dalam buku Shofahat min Tarikh al-Jaziroh dipaparkan bukti-bukti komkrit tentang terlalu tampaknya pembelaan Wahabi dalam berbagai kasus yang terkait dengan kepentingan Inggris dan Yahudi kala itu. Salah satu indikasinya adalah ketika dilangsungkan Kongres Dunia Islam pada1926, para ulama dan utusan dari negara-negara muslim mengusulkan untuk membersihkan kawasan Timur Tengah —seperti Palestina, Syria, Irak, dan Jaziroh Arob—dari pengaruh asing, namun ulama Wahabi menolak usulan negara-negara dunia Islam tersebut.
Bukan sesuatu yang aneh jika Salafi Wahabi selama ini bungkam seribu bahasa dengan keberadaan Yahudi di Palestina dan segala kejahatan yang mereka lakukan terhadap umat Islam di negeri yang terampas dan terjajah itu. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah mengamini “penggadaian” negeri Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada orang-orang Yahudi.
Dalam Muktamar al-Aqir tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah ditandatangani sebuah perjanjian resmi antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris. Tertulis dalam kesepakatan itu kalimat-kalimat yang ditorehkan oleh pimpinan Wahabi berbunyi:
“Aku berikrar dan mengakui seribu kali kepada Sir Percy Cox wakil Britania Raya, tidak ada halangan bagiku (sama sekali) untuk memberikan Palestina kepada Yahudi atau yang lainnya sesuai keinginan Inggris, yang mana aku tidak akan keluar dari keinginan Inggris sampai hari kiamat.”
Surat perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Abdul Aziz al-Saud.

VI. Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas jelas terlihat bagaimana Pemerintah Kerajaan Inggris dalam waktu 100 tahun telah berhasil mendirikan negara Isroil, dengan cara memecah belah Kerajaan Islam Turki Usmaniah. Seorang mata-matanya yang brilian –Hempher- yang fasih berbahasa Arab, Turki dan Parsi, serta menguasai Agama Islam beruntung telah bertemu dengan Muhammad ibn Wahhab an-Najd sewaktu dia mengembara keluar dari An-Najd. Melalui diskusi yang intensif serta cara-cara lainnya dia telah berhasil mencuci otak pendiri Faham Wahabi itu, mematangkan fahamnya, kemudian memberinya semangat untuk berjuang.
Setelah bersekutu dengan Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud, Hempher serta Pemerintah Inggris terus membantunya untuk menguasai Jaziroh Arob. Taktik yang dipakainya seperti terucap di Film “Lawrence of Arabia” adalah “Tidak ada tahanan!” yang berarti : Bunuh semuanya termasuk bayi, wanita, orang-orang tua dan anak-anak.
Memang sangat kejam, menyerupai kekejaman bangsa Mongol sewaktu menyerang Baghdad. Bangsa sendiri yang seagama (tetapi tidak sefaham) dianggap musuh yang boleh dibunuh, sedangkan bangsa Inggris yang kafir dianggap sebagai sohabat.
Keberadaan kaum ini telah diramalkan Nabi saw. dalam suatu hadits panjang, yang potongannya adalah sebagai berikut:

…”Akan lahir dari dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Kalau aku ketemu mereka niscaya akan kupenggal lehernya seprti halnya kaum “Ad”. Dalam riwayat lain dikatakan , “seperti halnya kaum Tsamud.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad dan lainnya)



Kepustakaan:
1. Muhammad Siddiq Gunnus “Pengakuan mata-mata Inggris dalam menghancurkan Kekuatan Islam” Al Ikhlas, Surabaya, 1999.
2. Syaikh Idahram, “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”, Pustaka Pesantren Yogyakarta, 2011.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_of_Arabia_(film)