Selasa, 19 Maret 2013

SEJARAH PESANTREN NURUL HILAL TANJUNG ATAP


   

Ky. H. Marwah Mahdhor Tanjung Atap

Sejarah Madrasah Ibtidaiyah Siyasyah Alamiyah “Al-Ishakiya Sakatiga, madrasah Ibtidaiyah Siyasyah Alamiyah Nurul Hilal”  Tanjung Atap dan Pondok Pesantren “Al-Ittifaqiah Indralaya

Tanjung Atap Ky H Marwah
 

 Oleh Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I

a. Periode 1918-1922

Ky.H. Ishak Bahsin, Ulama besar lulusan al-Azhar Mesir, pada periode ini mulai melaksanakan pengajaran ilmu-ilmu keislaman di rumah beliau di Sakatiga Kecamatan Indralaya dengan menggunakan kitab-kitab kuning yang beliau pelajari di al-Azhar, Kairo, Mesir. Sistem yang digunakan masih bersifat tradisional, non klasikal, non madrasah. Periode ini merupakan embrio dari madrasah formal yang beliau dirikan pada tahun 1922.Beliau mempunyai anak angkat bernama Ky.H.Marwah yang mengikuti jejak beliau yang juga lulusan Al-Azhar Kairo Mesir, sepulang dari Mesir Ky.H.Marwah ikut mengajar di perguruan yang didirikan Ky.H.Ishak Bahsin

b. Periode 1922-1942

Setelah 4 tahun melaksanakan program pendidikan tradisional, maka pada tahun 1922 K.H. Ishak Bahsin mendirikan dan memimpin Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah "Al-Ishakiyah" di Sakatiga, sebuah madrasah formal dengan masa belajar 8 tahun. Selama 10 tahun madrasah ini melaksanakan program pendidikannya di bawah rumah penduduk. Jumlah muridnya lebih kurang 100 orang, K.H. Ishak Bahsin sendiri bertindak sebagai pimpinan dan guru, dibantu oleh beberapa orang guru bantu.
Pada tahun 1932 dibangun gedung madrasah dengan ruang belajar berjumlah 5 lokal. K.H. Ishak Bahsin tetap memimpin madrasah ini dibantu oleh 7 orang guru berpengaruh di zaman itu, yaitu K.H. Bahsin Ishak, K.H. Marwah yang kemudian menjadi menantu K.H Ishak Bahsin yang menikah dengan Hj.Nafisah Binti KH Ishak bahsin adik kandung KH.Bahsin Ishak, K.H. Bahri Pandak, K.H. Ahmad Qori Nuri, K.H. Abdullah Kenalin, K. Muhammad Rosyad Abdul Rozak dan K. Abdul Rohim Mandung. K.H. Ishak Bahsin wafat tahun 1936. Kepemimpinan madrasah itu dilanjutkan oleh anak beliau K.H. Bahsin Ishak. Pada tahun 1942, saat madrasah ini memiliki 300 santri, gedung madrasah dibakar orang tak dikenal.

c. Periode 1922-1966

Pada Tahun 1922 Ky. H.Marwah Anak dari KH Mahdhor Tanjung Atap menantu Ky. H.Ishak Bahsin minta restu mendirikan Pondok Pesantren di Desa Tanjung Atap kecamatan Tanjung Batu dengan nama Pondok Pesantren Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah "Nurul Hilal" dan berkembang pesat mulai dari zaman Belanda sampai ke Zaman Jepang Murid beliau berdatangan dari lampung, jambi, bengkulu dan bangka Belitung berkembang sampai lebih kurang 500 orang santri dan santriwan dan mencapai kejayaan pada masa awal kemerdekaan Pada tahun 1966 di mana pada zaman Komunisme berkembang Pesantren ini mengalami pasang surut sehingga KH.Marwah mengalamai sakit  dan anak anak mereka sebelum meninggal beliau ungsikan ke palembang bersekolah terus beliau ungsikan ke jakarta dan dititipkan pada ketua partai Syarikat Islam Indonesia Pusat di Jakarta waktu itu maka kepemimpinan pondok pesantren diserahkan ke Ky/H marwah ke Ky.H..Abdullah Bapak Kandung Mukhtar Abdullah Tanjung Atap Pada Tahun 1966 di Tanjung Atap guna meneruskan pesantren tersebut

d. Periode 1932-1966


Khusus  Di Sakatiga Waktu itu Tahun 1949, atas prakarsa K.H. Ahmad Qori Nuri dengan mengajak K.H. Ismail Mahidin, H. Yahya Mahidin dan para anggota Partai Syarikat Islam Indonesia Sakatiga, gedung madrasah yang sudah terbakar dibangun kembali.
Pada tanggal 31 Agustus 1950 dengan modal 70 orang murid dimulai kegiatan belajar madrasah dengan nama baru Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga, dipimpin oleh K.H. Ismail Mahidin. Pada saat ini guru-guru yang mengajar adalah K.H. Ismail Mahidin, K.H. Ahmad Qori Nuri, K.H. Nawawi Bahri, K.H. Ahmad Mansur, K. Ilyas Ishaq dan K.H. Subki Syakroni.
Sekolah Menengah Islam ini memiliki tiga tingkatan pendidikan, tingkat Ibtidaiyah (setara Tsanawiyah sekarang) dengan masa belajar 4 tahun dan tingkat Tsanawiyah (setara Aliyah sekarang) dengan masa belajar 3 tahun. Tahun 1954, saat santri berjumlah 250 orang, K.H. Ismail Mahidin berpulang ke rahmatullah. Pimpinan SMI diamanatkan kepada K.H. Ahmad Qori Nuri.
Dalam upaya mengembangkan madrasah ini, K.H. Ahmad Qori Nuri menambah 3 lokal ruang belajar sehingga seluruhnya menjadi 8 lokal, dan menambah tenaga guru baik untuk mata pelajaran agama maupun umum, yaitu K.H. Zainudin, K.H Kholil Hajib, K.H. Bayumi Yahya. K. Moh. Ali Hasyim (guru agama), Tho’ifi Bahri, Sukarno, Faruq, Swasto, dan Masri Asmawi (guru umum). Sampai tahun 1962 murid SMI berjumlah 400 orang.

e. Periode 1962-1967

Pada awal periode ini, tahun 1962, nama SMI diubah menjadi Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga, karena menyesuaikan dengan peraturan Departemen Agama waktu itu. Tingkatan pendidikannya terdiri dari tingkat Tsanawiyah (setara SMP) dengan masa belajar 4 tahun dan tingkat Aliah (setara SMA) dengan masa belajar 3 tahun.
Pada era ini, K.H. Ahmad Qori Nuri selaku pimpinan, melakukan modernisasi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran umum, sesuai perkembangan zaman itu. Mata pelajaran umum untuk tingkat Tsanawiah disesuaikan dengan tingkat SLTP, sedang untuk Aliah disesuaikan dengan SLTA.
Seiring dengan bertambahnya jumlah murid, maka K.H. Ahmad Qori Nuri menambah 3 ruang belajar lagi sehingga menjadi 11 lokal dan menambah tenaga guru hingga seluruhnya berjumlah 17 orang yang terdiri dari guru agama 13 orang dan guru umum 4 orang. Guru-guru agama ialah K.H. Ahmad Qori Nuri, K.H. Zainuddin, K.H. Kholil Hajib, K.H. Bayumi Yahya, K. Moh. Ali Hasyim, K.M. Amin Nuri, K.H.A. Hamid Nuri, K. Buhairi Nuri, K. Fuad Hasyim, K.H. Marzuki, K.A. Wahab Hanan, K.Abd. Gani Mukhtar, K.H. Abdullah Yahya. Guru-guru umum ialah Ida Makmur, Ahmad Lutfi, A. Aziz Manan dan Asmuni.
Dalam era ini, MMA mengalami kemajuan pesat sesuai zamannya. Jumlah santri mencapai 527 orang, yang berdatangan tidak hanya dari Sumatera Selatan tetapi juga dari propinsi-propinsi lain. Sakatiga demikian harum dan terkenal berkat keberadaan dan prestasi MMA ini, sehingga karenanya Sakatiga digelari sebagai Mekah Kecil.

f. Periode 1967-1976

Tahun 1967 muncul ide beberapa guru MMA Sakatiga untuk menjadikannya Madrasah Negeri dan menyerahkannya kepada pemerintah. K.H. Ahmad Qori Nuri dan murid-murid K.H. Ishak Bahsin di Indralaya seperti H. Ahmad Rifa’i bin H. Hasyim, H. Nurhasyim Syahri, H. Hasanuddin Bahsin, (waktu itu sebagai Kerio/Kepala Desa Indralaya) dan Hajiro Burhan memandang bahwa MMA Sakatiga pada hakikatnya lanjutan usaha jihad K.H. Ishak Bahsin, yang jika dinegerikan dan diserahkan kepada pemerintah akan kehilangan nilai-nilai sejarahnya.
Untuk memelihara nilai-nilai sejarah dan keberkahan K.H. Ishak Bahsin, maka murid-murid beliau tersebut dengan dukungan penuh pengusaha-pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat Indralaya H. Yahya Gani, H. Ahmad Romli bin H. Hasyim, Syukri bin H. Hasyim, K. Azro’i Muhyiddin, Ilyas Ishak, H. Ahmad Rozak, M. Rodi, Ahmad Luthfi bin H. Hasanuddin, M. Syahri dan lain-lain, mereka sepakat memindahkan MMA Sakatiga ke Indralaya dan meminta K.H. Ahmad Qori Nuri untuk memimpin madrasah. K.H. Ahmad Qori Nuri menyepakati permintaan ini dan mengajak adik-adiknya K.H.Abdul Hamid Nuri, K. Buhairi Nuri, K. Azhari Nuri dan K.H. Amin Nuri untuk mengajar.
Pada 10 juli 1967 resmi berdiri MMA al-Ittifaqiah di Indralaya, dan mendapat surat izin / persetujuan Inspeksi Pendidikan Agama Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Selatan tanggal 28 juli 1967 No. 1796/AI/UM/F/1967. Sedang MMA Sakatiga berubah status menjadi MAAIN (sekarang MAN Sakatiga) dan MTsAIN (sekarang MTsN Sakatiga).
MMA Al-Ittifaqiah Indralaya ini memiliki dua tingkatan; Tsanawiyah (setara SMP) masa belajar 4 tahun dan Aliyah (setara SMA) masa belajar 3 tahun. Sejak awal berdiri telah memiliki 80 orang santri. Tempat belajar pada waktu itu menumpang gedung Madrasah Ittifaqiah Islamiah (MII) Indralaya yang terletak di dekat masjid KUBRO Indralaya. MII ini sudah berdiri 1 tahun sebelumnya. MII saat itu setingkat Ibtidaiah dengan masa belajar 4 tahun.
Adalah H. Ahmad Rifa’i bin H. Hasyim mewakafkan tanah seluas 80 x 50 m2 (4000 m2). Tanah wakaf ini adalah cikal bakal dari kampus A yang menjadi pusat kegiatan pondok pesantren al-Ittifaqiah pada saat ini.
Pada awal 1968 dibangun gedung belajar semi permanen 3 lokal. Tetapi belum lama dipakai, pada akhir tahun 1968 gedung ini roboh ditiup angin puting beliung. Awal tahun 1969, di atas reruntuhan gedung lama dibangun pula gedung belajar semi permanen berbentuk L dan mulai digunakan awal tahun 1970.
Tahun 1969 didirikan Yayasan Perguruan Islam Al-Ittifaqiah dengan Akte Notaris Aminus Palembang nomor 2 Januari 1969. Pengurus yayasan ini terdiri dari : Penasehat (Hajiro Burhan dan Ahmad bin Abdul Rozak), Ketua (H. Hasanuddin Bahsin), Wakil Ketua (K.H. Ahmad Qori Nuri), Sekretaris (Ilyas Ishak), Bendahara (H. Ahmad Rifa’i bin H. Hasyim), Anggota (Nur Hasyim bin Syahri, M. Rodi bin H. Abdul Halim, dan H.M. Romli bin H. Hasyim). Yayasan ini memayungi MMA Al-Ittifaqiah dan MII. Dengan demikian Yayasan Perguruan Islam Al-Ittifaqiah mempunyai 3 tingkatan pendidikan, yaitu tingkat Aliah (setara SLTA), tingkat Tsanawiah (setara SLTP) dan tingkat Ibtidaiah. Karena masih mengacu pada al Azhar Mesir, maka saat itu tingkat Aliah masa belajarnya 3 tahun, Tsanawiah 4 tahun dan Ibtidaiah 4 tahun.

g. Periode 1976-1998

K.H. Ahmad Qori Nuri sebagai pimpinan MMA Al-Ittifaqiah Indralaya dikenal sebagai sosok ulama yang mempunyai integritas tinggi dan konsisten, tetapi juga berpikiran modern dan berwawasan luas. Dalam diri beliau berpadu antara konsistensi terhadap tradisi salaf dan pemikiran kholaf sekaligus.
Ketika pemerintah menawarkan MMA sebagai madrasah murni dengan kewajiban untuk memakai kurikulum madrasah Departemen Agama secara penuh dengan meninggalkan kitab-kitab kuning (al kutub al turotsiah) maka beliau menolaknya. Beliau memilih tipe/model pendidikan Pondok Pesantren, tetapi dengan sistem madrasah yang tetap mempertahankan tradisi salaf dengan kitab kuning sebagai ciri khasnya.
Maka pada tanggal 11 Maret 1976 MMA Al-Ittifaqiah berubah status menjadi Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah dan dilaporkan oleh yayasan kepada Departemen Agama RI dengan surat nomor 504/YPI-3/76 tanggal 11 maret 1976. Pada tahun ini, tingkat Tsanawiah yang semula 4 tahun disesuaikan menjdai 3 tahun. MII yang semula langsung dibawah yayasan dengan struktur kepengurusan terpisah dari MMA, diubah menjadi bagian dari Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah. Dengan demikian jenjang pendidikan dalam Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah pada waktu itu adalah Madrasah Aliah 3 tahun, Madrasah Tsanawiah 3 tahun dan Madrasah Ibtidaiah masih 4 tahun.
Status sebagai Pondok Pesantren memang telah terpenuhi yaitu adanya asrama santri (di belakang gedung madrasah), musholla (masjid) dan Kyai, bahkan program-program kepesantrenan memang sudah lama dilaksanakan. Tetapi memang pada tahun ini santri yang mukim masih sekitar 10% sedang 90% masih menyewa di rumah-rumah masyarakat atau asrama-asrama yang dibuat oleh masyarakat.
Dengan penuh kegigihan dan keikhlasan, K.H. Ahmad Qori Nuri terus berjuang menyiapkan prasarana untuk menampung santri yang berdatangan dari berbagai kabupaten di Sumatera Selatan dan luar propinsi Sumatera Selatan.
Pada hari Senin, 11 April 1996 K.H. Ahmad Qori Nuri wafat dalam usia 85 tahun. Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah berhasil mengasramakan seluruh santri yang berasal dari luar kecamatan Indralaya yang mencapai angka 80% dari jumlah santri keseluruhan lebih kurang 700 orang. Lahan pesantren pun meningkat dari semula 4000 m2 menjadi 33.330 m2. Gedung asrama, gedung belajar, dan kantor pun bertambah cukup signifikan.
Ba’da wafat K.H. Ahmad Qori Nuri 11 April 1996 itu, kepemimpinan pondok ini dijalankan oleh Wakil Mudir Drs. K.H. Mudrik Qori. Dari Agustus 1997 sampai dengan Mei 1998 K. Muslih Qori menjadi Mudir pondok ini.
Pada tahun 1997 Yayasan Perguruan Islam Al-Ittifaqiah yang pada waktu itu dipimpin Drs. K.H.M. Moerjied Qorie melakukan perubahan nama menjadi Yayasan Islam Al-Ittifaqiah (YALQI) dan menguatkan organisasinya dengan menyempurnakan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), Pedoman Umum Yayasan dan peraturan-peraturan lainnya.

h. Periode 1998-sekarang

Bulan Juni 1998 yayasan mengangkat dan memberikan amanat kepada Drs. K.H. Mudrik Qori, MA sebagai Mudir Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah. Sebagai pemegang amanat, Drs. K.H. Mudrik Qori, MA secara serius melakukan penguatan SDM, organisasi, manajemen, jaringan, pendanaan, sarana prasarana dan program pendidikan dalam upaya semakin meningkatkan kemajuan Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah.
Alhamdulillah, dengan dukungan penuh Wakil Mudir Ustadz Mubarok Hanura, SH, para pengurus, karyawan, guru, wali santri, alumni, masyarakat, dan pemerintah, beliau dapat menghantarkan Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah sebagai Pesantren yang dipercaya, maju dan berprestasi.
Pada era ini, setiap tahun banyak santri yang mendapat bea siswa luar negeri (Mesir, Sudan, Yaman dan Syiria). Prestasi santri dan binaan pondok ini pada MTQ/STQ baik di tingkat lokal kabupaten, regional Sumatera Selatan, maupun nasional dan internasional semakin signifikan. Prestasi seni dan olahraga santri juga menggaung secara nasional dalam Pekan Olahraga dan Seni antar Pondok Pesantren Nasional (POSPENAS). Bahkan pada tahun 1999 Departemen Agama memberikan pengakuan kepada Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah sebagai Pondok Pesantren unggulan. Telah lahir pula pada era ini belasan hafizh/hafizhah dan mufassir/mufassirah yang mampu tampil bersaing dan berprestasi pada MTQ/STQ nasional. Santri Al-Ittifaqiah juga mendapat undangan Program JENESYS ke Jepang tahun 2008 dan 2009.
Tahun 1999, PPI memperkuat organisasi dengan membentuk tiga lembaga, yaitu Lembaga Seni, Olahraga dan Keterampilan (LESGATRAM), Lembaga Bahasa (LEBAH) dan Lembaga Dakwah dan Pengabdian Masyarakat (LEDAPMAS). Sehingga lembaga setara di pondok ini menjadi empat, melengkapi Lembaga Tahfidzh, Tilawah dan Ilmu al Qur’an (LEMTATIQI) yang berdiri tahun 1990.
Pada tahun 2000, PPI melengkapi jenjang pendidikan dalam sekolahnya (formal) dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Islam dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah al Qur’an (STITQI) yang langsung diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada waktu itu, Drs. H. Tolhah Hasan. Pada tahun ini juga didirikan pula Madrasah Ibtidaiah (6 Tahun) standar Departemen Agama (Madrasah Ibtidaiah 4 tahun dirubah menjadi Madrasah Diniah Salafiah standar Departemen Agama). Dengan demikian, sejak tahun ini PPI memiliki seluruh jenjang pendidikan; TK, Madrasah Ibtidaiah, Madrasah Diniah, Madrasah Tsanawiah, Madrasah Aliah, dan Sekolah Tinggi.
Pada tahun 2004, PPI membuka pula Program Pendidikan Luar Sekolah berupa TKQ/TPQ untuk masyarakat dan Pesantren Tinggi untuk mahasiswa. Pada 30 Juni 2005 mendirikan Lembaga Otonom yaitu Pusat Pengkajian Masyarakat dan Budaya (PUSPAMAYA) yang bulan Agustus 2005 sudah mulai eksen kegiatan dengan melaksanakan Training of Trainers (TOT) Pemberdayaan Pesantren dan Madrasah Sumatera Selatan bekerja sama dengan PPIM UIN Jakarta, PUSKADIABUMA Pasca Sarjana UIN Yogyakarta dan DANIDA Denmark. Sampai saat ini PUSPAMAYA telah menyelenggarakan pelatihan pengembangan Pesantren dan Madrasah se Sumatera Selatan yang sudah berlangsung 12 putaran, melibatkan 360 praktisi Pesantren dan Madrasah se Sumatera Selatan, yang melibatkan para kiyai nyai pimpinan pesantren modern dan tradisional, kepala madrasah, guru, santri aktivis dan tokoh masyarakat yang cinta pesantren.
Untuk mempertajam kegiatan pemberdayaan, Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah membentuk Pusat Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dengan singkatan PUSDEM selain tiga lembaga ekonomi yang sudah ada (Kopontren Al-Ittifaqiah, koperasi wanita Al-Ittifaqiah dan lembaga yang mandiri dan mengakar pada masyarakat atau LM3).
Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah juga mendirikan lembaga yang bergerak pada bidang hak asasi manusia dan pemantauan kebijakan yang diberi nama AVICENNA INSTITUTE.
Dalam kerangka pemberdayaan perempuan dua lembaga yang didirikan Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah yaitu PERWAPPI (Persatuan Wanita Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah) dan PUSDAP (Pusat Pemberdayaan Perempuan).
Sampai tahun 2011, PPI memiliki 2.233 orang santri, 205 Pengurus, Karyawan dan Guru, 610.000 m2 lahan kampus yang sedang ditempati, 525.000 m2 lahan pengembangan kampus, 1.660.000 m2 lahan usaha perkebunan dan sarana prasarana pendidikan lainnya. 

Referensi Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I, Materi Pendidikan Agama Islam, Penerbit RajawalliOffset, 2012, Cetakan Pertama