Senin, 20 Agustus 2012

Sejarah Hitam Wahabi 02




SEJARAH “HITAM” KAUM WAHABI 02.



Oleh: mutawalli

I. Pendahuluan:


Pada makalah sebelumnya telah disebutkan bahwa kaum Wahabi adalah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhamad ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad ibnu Hambal. Ibnu Abdul Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh paham keagamaan yang mengacu bunyi harfiyah teks al-Qur-an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw., barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeksklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi, merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat.
Selanjutnya Muhamad Abdul Wahab bersekutu dengan Ibnu Sa’ud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Koalisi pun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan wajib diperangi. Tahun 1902 M/1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mauidzoh hasanah sebelum khutbah Jum’at, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharomkan kopi.
Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920 M-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, mekipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.


II. Permasalahan
Tentu timbul pertanyaan pada benak kita mengapa tiba-tiba timbul seorang radikal yang bernama Muhamad Abdul Wahab dengan pemikiran ekstrim yang berseberangan dengan pemikiran para ulama waktu itu. Siapakah gurunya ? Atau kitab-kitab apa yang telah dibaca dan menjadi pedomannya ?
Maka kita perlu mempelajari situasi Timur Tengah pada abad 18 – 19 M. yang waktu itu dikuasai oleh Kerajaan Islam Turki Utsmaniyah yang berfaham Sunni dan Kerajaan Safawi di Persia yang berfaham Syiah.
Sifat dan adat bangsa Turki berbeda dengan bangsa Arab serta bangsa-bangsa lain yang mendiami wilayah Timur Tengah karena mereka (bangsa Turki) bukan penduduk asli wilayah tersebut. Bersama dengan bangsa Mongol, nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah dan pegunungan Mongolia di sebelah utara Cina. Maka kita perlu mempelajari sejarah mereka.
Kemudian penulis uraikan usaha Inggris Raya menguasai wilayah Turki Utsmaniyah di Timur Tengah. 
Berikutnya diuraikan tentang Kerajaan Safawi di Persia kutipan dari internet.


III. Uraian
Situasi Timur Tengah Sebelum Kedatangan Bangsa Turki dan Mongol.
Timur Tengah adalah tempat Agama Islam dilahirkan. Agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. kemudian disebarkan oleh beliau ke seluruh jaziroh Arabia pada abad ke -7 Masehi. Setelah beliau wafat kemudian pimpinan pemerintahaan Islam yang beribukota di Madinah dipegang oleh para sohabat utama Nabi yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (khulafa’ur rosyidin) yang menyebarkan Agama Islam keluar dari jaziroh Arob.
Karena masyarakat dunia waktu itu tidak terbiasa dengan system otokrasi maka selanjutnya pemerintahan Islam dilanjutkan dengan sistem Monarchi / Kerajaan yaitu Kerajaan Bani Umaiyyah (abad ke-7 dan 8 M.) yang menyebarkan agama Islam jauh ke Timur yaitu di bekas wilayah kerajaan Byzantium (Romawi Timur) di Asia Kecil, dan bekas wilayah kerajaan Babilonia dan Persia di sebagian Asia Selatan dan Asia Tengah. Wilayah Kerajaan Islam juga jauh menyebar ke Barat sampai ke Afrika Utara, menyeberang selat Jibraltar / Jabal Toriq ke semenanjung Iberia yang termasuk wilayah Eropah (Spanyol dan Portugis sekarang). Ibukota Kerajaan Islam lalu dipindahkan dari Madinah ke Damaskus (di Syam atau Syria) dan Kordoba di Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari kholifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Selanjutnya pemerintahan Islam diteruskan oleh Kerajaan Bani Abbasiyah (abad ke-8 – 13 M.). Sedang di Jaziroh Iberia tetap di kuasai oleh Bani Umaiyah yang beribukota di Kordoba sampai akhirnya jatuh ke tangan Ratu Isabela yang beragama Katolik pada abad ke-15 M. sampai sekarang. Kerajaan Islam Bani Abbassiyah didirikan oleh Abdullah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Al-Abbas di sini adalah Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim pamanda Rosululloh, Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutholib bin Hasyim. Di antara para Bani Hasyim berpendapat bahwa merekalah yang berhak menjadi Kholifah. Pada mulanya ibu kota negara ada di kota al-Hasyimiyah, dekat Kufah, di Iraq sekarang. Lalu Kholifah al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, tahun 762 M. Sehingga ibukota Kerajaan Islam beralih dari Damaskus di Siria ke Baghdad di Iraq. Pada zaman Kerajaan Bani Abbasiyah inilah kebudayaan Islam mengalami zaman keemasannya. Namun karena posisi ibukota ada di bekas pusat Kerajaan Persia yang mewah maka pengaruh kemewahan ini menjangkiti para raja dan bangsawan. Sehingga semangat perjuangan para bangsawan berbangsa Arab menurun. Peran mereka digantikan oleh tentara bayaran non Arab. Penyebaran wilayah Kerajaan Islam pada zaman Bani Abbasiyah menurun. Wilayahnya terpecah belah dan dikuasai oleh para Amir yang berbangsa non Arab. Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258 M.), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan. Maka berakhirlah Kerajaan Islam Bani Abbasiyah.


Wilayah Islam Di Bawah Pengaruh Bangsa Turki dan Mongol
Pada zaman Nabi Muhamad s.a.w., agama Islam terutama dianut oleh bangsa Arab yang termasuk ras Semit. Sebagian ber-ras Negro (Habsyi) yang menjadi budak bangsa Arab. Setelah menyebar ke luar jaziroh Arob banyak bangsa di luar ras Semit yang masuk Islam yaitu ras Indo German di antaranya adalah bangsa Persia, Afghanistan, India dan bangsa-bangsa Eropah. Waktu itu tidak ada bangsa Turki dan Mongol di Timur Tengah.
Asal-Usul Bangsa Turki 
dan Mongol
Bangsa Turki adalah campuran antara bangsa Mongol di pegunungan Mongolia di sebelah utara Cina dengan bangsa-bangsa di Asia Tengah. Kebanyakan dari mereka mendiami padang stepa yang membentang di antara pegunungan Ural sampai pegunungan Altai di Asia Tengah, dan mendiami hutan Siberia dan Mongol di sekitar Danau Baikal.
Dalam rentang waktu yang relatif panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana mereka tinggal di perkemahan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala kambing dan berburu. Mereka hidup dari hasil perdagangan tradisional yaitu mempertukarkan dagangan bangsa Turki dan Cina yang menjadi tetangga mereka. Kesehariannya, sebagaimana dipredikatkan pada sifat nomad, mereka mempunyai sifat kasar, suka berperang, berani mati dalam mewujudkan keinginan dan ambisi politiknya. Namun, mereka sangat patuh dan taat pada pimpinannya dalam satu bingkai agama Syamaniyah, yaitu kepercayaan yang menyembah bintang-bintang dan matahari terbit.
Wilayah Kekuasaan Mongol 
dan Dinasti Ilkhan
Perpaduan antara watak nomad dengan ketangkasannya menunggang kuda, serta keberaniannya melawan musuh mengantarkan Bangsa Mongol menjadi bangsa penakluk. Terbukti banyak negara-negara di Dunia yang telah mereka taklukkan meliputi kawasan Cina dan negeri-negeri Islam, khususnya ketika Mongol dipimpin oleh Jengis Khan. Cina bagian Barat, Tibet, mereka taklukkan sekitar tahun 1213 M., dan Beijing tahun 1215 M.
Tiga tahun berikutnya ia dapat menguasai kota Turkistan yang berbatasan dengan Khawarizm Syah yang menjadi wilayah Kerajaan Islam Bani Abbasiyah. Selanjunya, secara berturut-turut Turkistan yang juga merupakan wilayah Khawarizm, Bukhara di Samarkhand dan Balkh, serta kota-kota lain yang memiliki peradaban Islam yang tinggi di Asia Tengah tidak luput dari kehancuran dari serangan bangsa Mongol. Jengis Khan juga mengutus anak-anaknya yaitu Tuli untuk menaklukkan Khurasan dan Juchi dan Changhatai untuk menaklukkan wilayah Sri Darya bawah dan Khawarizm.
Sebelum Jengis Khan meninggal dunia tahun 1227 M, ia membagikan wilayah yang begitu luas kepada keempat anaknya. Dari keempat anaknya yang penting bagi kita adalah anak ke-4 yaitu Tuli. Ia menerima daerah Mongolia. Bersama dengan anak-anaknya Mongke dan Qubilay Khan. Mongke tetap bertahan di Mongolia sebagai Khan Agung dengan ibukota Qaraqarum dan Qubilay Khan memerintah di Cina yang terkenal dengan Dinasti Yuan sampai abad XIV. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ming yang beragama Budha yang berpusat di Beijing kemudian mereka bertikai dengan ke-Khan-an Islam di Barat dan Rusia. Hulagu Khan saudara Qubilay Khan menyerang daerah-daerah Islam sampai Baghdad.
Setelah Hulagu menaklukkan Baghdad ia mendirikan kerajaan Ilkhaniyah di Persia atas nama pemerintahan Khan Agung di Mongolia dan Cina dengan gelar Ilkhan dan membunuh Khalifah terakhir Abbasiyah al-Mu’tasim (13 Februari 1258). Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukkan Hulagu selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada Hulagu. Umat Islam dengan demikian dipimpin oleh Hulagu Khan, seorang raja yang beragama Syamanism.
Selanjutnya daerah-daerah yang berkultur Islam di kawasan Arab yaitu Irak, Syiria dan Persia Barat telah ditaklukkan Mongol, tetapi Mongol sendiri telah mengikuti atau terserap dengan budaya Islam. Kemudian mereka masuk ke Mesir pada tahun 1260 M. Mereka berhasil menduduki Hablur dan Gaza. Selanjutnya pada masa pemerintahan Ghazan, yakni raja yang ketujuh Dinasti Ilkhan, ia mulai memperhatikan perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastra. Oleh karena itu ia membangun semacam biara untuk para Darwis, perguruan tinggi untuk mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnya. 

Kerajaan Turki Utsmani

(1300-1900 M.).

Sejak mundur dan berakhirnya era Abbasiyah, keadaan politik umat Islam mengalami kemajuan kembali oleh tiga kerajaan besar: Utsmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia. Dari ketiganya, Turki Utsmani adalah yang terbesar dan terlama. Turki Utsmani runtuh dan berubah menjadi Republik Turki pada tahun 1924 M.
Pendiri Kerajaan Turki Utsmani adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira 3 abad, mereka pindah ke Turkis­tan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10 M, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke­13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orangTurki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinan dilanjutkan oleh puteranya, Osman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Osman memerintah antara tahun 1290 dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota Broessa. Pada tahun 1300 M., bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Osman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Osman yang sering disebut juga Osman I.
Setelah Osman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 699 H. (1300 M.) setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya  sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya, Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama 4 abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat. 
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
Mehmed II menaklukkan kota Konstantinopel yang menjadi ibukota baru kesultanan tahun 1453 M.
Perkembangan Kerajaan 
(1453–1683 M.)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566 M.); dan masa stagnasi militer dan politik
Perluasan Wilayah 
dan Puncak Kekuasaan 
(1453–1566 M.) 
Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 M. adalah perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah.
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520 M.) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah. 
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-1566 M.) melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521 M., Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529 M., namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535 M., mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543M. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Pemberontakan 
dan kebangkitan kembali
(1560-1683. M.)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesultanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan di bawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 M. yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 M. mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16 M., masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya Murad IV (1612-1640 M. ), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 M. dan Baghdad tahun 1639 M. dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610 M. ) dan Pemberontakan Yenisaris (1622 M.) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 M. , dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 M. bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660 M.) adalah periode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651 M. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703 M.), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam. Arti kedua adalah politik luar negeri,
Politik dalam negeri
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
Pertama, buruknya pemahaman Islam.
Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549 M.) sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617 M.), Osman II (1617-1621 M.), Murad IV (1622-1640 M.), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648 M.), Mehmed IV (1648-1687 M.), Suleiman II (1687-1690 M.), Ahmed II (1690-1694 M.), Mustafa II (1694-1703 M.), Ahmed III (1703-1730 M.), Mahmud I (1730-1754 M.), Osman III (1754-1787M.), Mustafa III (1757-1773 M.), dan Abdul Hamid I (1773-1788 M.) . Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826 M.), sehingga mereka dibubarkan (1785 M.). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni. 
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17 M., sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16 M., terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; inflasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 M. tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17 M.  Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16 M.  Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788 M.). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15 M., Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 M. saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572 M.) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667 M.). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571 M.), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699 M.), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19 M.), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878 M.) dan Berlin (1887 M.).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17 M., dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M.) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840 M.), dan UU Dagang (1850 M.), tambah rumusan Konstitusi 1876 M. oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Respons atas runtuhnya 
Turki Utsmani 
di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi. 
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud, penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).
 Kolonisasi Inggris di Wilayah 
Kesultanan Turki Utsmaniyah
Sasaran paling utama bagi penjajahan Inggris di akhir abad ke-19 adalah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Di masa itu, imperium Utsmaniyyah memerintah wilayah sangat luas yang terbentang dari Yaman hingga Bosnia-Herzegovina. Namun hingga saat itu, wilayah yang sebelumnya damai, tentram dan stabil tersebut menjadi sulit untuk diatur. Penduduk Kristen yang berjumlah sedikit mulai melakukan pemberontakan dengan dalih ingin merdeka, dan kekuatan militer raksasa seperti Rusia mulai mengancam kedaulatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. 
Di seperempat terakhir abad ke-19 M., Inggris dan Prancis bersekutu dengan sejumlah kekuatan yang ingin menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris secara khusus mengincar propinsi-propinsi di bagian selatan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Perjanjian Berlin, yang ditandatangani pada tahun 1878 M., adalah wujud keinginan para penjajah Eropa untuk memecah belah wilayah Utsmaniyyah. Lima tahun kemudian, yakni pada tahun 1882 M., Inggris menduduki Mesir, yang masih merupakan wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah. Inggris mulai melancarkan siasatnya untuk mengambil alih wilayah kekuasaan Utsmaniyyah di Timur Tengah di kemudian hari. 
Seperti biasanya, Inggris mendasarkan politik penjajahan ini pada paham rasisme. Pemerintah Inggris dengan sengaja berusaha menampilkan bangsa Turki, yang menjadi bagian utama penduduk Utsmaniyyah, dan negara Utsmaniyyah secara khusus, sebagai bangsa "terbelakang". 
Perdana Menteri Inggris William Ewart Gladstone secara terbuka mengatakan bahwa orang-orang Turki mewakili bagian dari umat manusia yang bukan manusia, dan demi kepentingan peradaban mereka, mereka harus digiring kembali ke padang rumput Asia dan dihapuskan dari Anatolia.
Perkataan ini, dan semisalnya, digunakan selama puluhan tahun oleh pemerintah Inggris sebagai alat propaganda melawan bangsa Utsmaniyyah. Inggris berupaya menampilkan Turki sebagai bangsa terbelakang yang harus tunduk kepada ras-ras Eropa yang lebih maju.
Yang menjadi "landasan ilmiah" bagi propaganda ini adalah Charles Darwin! 
Sejumlah pernyataan Darwin tentang bangsa Turki muncul dalam buku berjudul The Life and Letters of Charles Darwin yang terbit pada tahun 1888 M.. Darwin mengemukakan bahwa dengan menghapuskan "ras-ras terbelakang" seleksi alam akan mampu berperan dalam pembangunan peradaban, dan kemudian menuturkan perkataan yang sama persis sebagaimana berikut ini tentang bangsa Turki:
Saya dapat menunjukkan bahwa peperangan dalam rangka seleksi alam telah dan masih lebih memberikan manfaat bagi kemajuan peradaban daripada yang tampaknya cenderung anda akui. Ingatlah bahaya yang harus dialami bangsa-bangsa Eropa, tak sampai berabad-abad yang lalu, karena dikalahkan oleh orang-orang Turki, dan betapa bodohnya jika pandangan seperti ini sekarang masih ada! Ras-ras 'Kaukasia' yang lebih beradab telah mengalahkan bangsa Turki hingga tak berdaya dalam peperangan untuk mempertahankan hidup.
Pernyataan Darwin yang tidak masuk akal ini adalah alat propaganda tertulis untuk mendukung politik Inggris yang ingin menghancurkan Kekhalifahan Utsmaniyyah. Dan alat propaganda ini ternyata cukup ampuh. Perkataan Darwin yang pada intinya berarti "Bangsa Turki akan segera musnah, ini adalah hukum evolusi" memberi semacam 'pembenaran ilmiah' bagi propaganda Inggris dengan tujuan menciptakan kebencian terhadap orang-orang Turki.
Keinginan Inggris untuk mewujudkan ramalan Darwin pada intinya terpenuhi dalam Perang Dunia Pertama. Perang besar ini, yang dimulai pada tahun 1914 M., terjadi akibat perang kepentingan antara Jerman dan Austria-Hongaria di satu pihak, dan persekutuan antara Inggris, Prancis, dan Rusia di pihak lain. Namun satu hal terpenting dalam perang ini adalah tujuan untuk menghancurkan dan memecah belah Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Inggris menyerang Kekhalifahan Utsmaniyyah dari dua arah yang terpisah. Yang pertama adalah melalui arah terusan Suez di Mesir, Palestina, dan Irak, yang akan dibuka dengan maksud merebut wilayah Utsmaniyyah di Timur Tengah. Yang kedua adalah melalui Gallipoli, salah satu medan pertempuran paling berdarah pada Perang Dunia Pertama. Pasukan Turki di Çanakkale bertempur dengan gagah berani dan kehilangan 250.000 tentaranya saat melawan kekuatan musuh yang dihimpun Inggris. Sedangkan Inggris, daripada mengerahkan pasukannya sendiri, lebih suka mengirimkan tambahan pasukan India dan kesatuan Anzac yang mereka himpun dari daerah jajahannya seperti Australia dan Selandia Baru, yang mereka pandang sebagai "ras terbelakang", untuk memerangi tentara Turki.
Permusuhan Darwin terhadap rakyat Turki terus berlanjut hingga setelah Perang Dunia Pertama. Kelompok-kelompok Neo-Nazi Eropa yang menyerang warga Turki di Eropa masih saja mengambil pembenaran dari pernyataan Darwin yang tidak masuk akal tentang bangsa Turki. Ucapan Darwin tentang bangsa Turki masih dapat ditemukan di situs-situs internet yang dikelola para rasis yang memusuhi orang Turki tersebut. 


Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia 
Posting by : Ongki sang jagoan blog on Jumat, 12 Februari 2010
Kerajaan Safawi di Persia berdiri ketika kerajaan Utsmani sudah mencapai puncak kemajuannya, Kerajaan ini berkembang sangat cepat. Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (Utsmani dan Mughal), Kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai madzhab Negara. Karena itu, kerajaan ini dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya Negara Iran dewasa ini. Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah. Nama Safawiyah di ambil dari nama pendirinya Safi al-Din (1252-1334 M.), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. 
Safi al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syiah yang keenam Musa al-Khozim. Gurunya bernama Syekh Taj al-Din Ibrohim Zahidi (1216-1301 M.) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. 
Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid'ah. Setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar kholifah.
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M.), dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambah kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam). Ia tinggal di istana Uzun Hasan yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M. Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M. ia mencoba merebut Sircasia tetapi pasukan yang dipimpinnya di hadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juned Haidar masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahir Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK Konyulu tahun 1476 M. terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Konyulu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. AK Konyulu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu. 
Ali putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M.). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustan berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M.).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukanya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M., pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di Shahrur, dekat Nakhchivan. Ismail berkuasa selama lebih kurang 23 tahun, yaitu antara tahun 1501 dan 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1510 M.), menguasai Propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M.), Diyar Bakr, (1505-1507 M.) Baghdad dan daerah barat daya Persia, (1508 M.), Sirwan (1509 M.), dan Khurasan (1510 M.). Hanya dalam waktu itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).
Tidak sampai disitu, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainya, seperti ke Turki Usmani. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada tahun 1514 M. di Chaldiran, dekat Tabriz. Dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail ke Turki I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangn antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman penerintahan Tahmasp I (1524-1576 M.), Ismail II (1576-1577 M.), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M.). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi dalam keadaan lemah.
Kondisi memprihatinkan ini baru dapat diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang di tempuh oleh Abbas I: Pertama, berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I. Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. 
Usaha–usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Pada tahun 1598 M. ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaanya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Pada tahun 1602 M., di saat Turki Utsmani berada dibawah Sultan Muhammad III, Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Bagdad. Selanjutnya, pada tahun 1622 M. pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.
Masa Kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan–kemajuan itu antara lain adalah sebagai berikut : 
1. Bidang Perekonomian
Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurnuz dikuasai dan pelabuhan Gunrun diubah nenjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya Bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi miliik kerajaan Safawi.
Di samping itu sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent).
2. Bidang Ilmu Pengetahuan 
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana, yaitu Baha al-Din al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
3. Bidang Pengembangan Fisik dan Seni 
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chilhil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 173 pemandian umum. 
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail pada tahun 1522 M. membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhab.
Kemunduran kerajaan Safawi adalah sepeninggal Abbas I, berturut-turut di perintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M.), Abbas II (1642-1667 M.), Sulaiman (1667-1694 M.), Husain (1694-1722 M.), Tahmasp II (1722-1732 M.), dan Abbas III (1733-1736 M.). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran. 
Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani. Bagi Kerajaan Utsmani berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaan. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun tidak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi kedamaian antara dua kerajaan besar Islam itu. 
Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di samping itu pecandu berat narkotika, juga menyenangi kehidupan malam beserta harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu juga Sultan Husein.
Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghulam(budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses yang dialami Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.
Tidak kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. 
  

III. Kesimpulan 
           Demikian telah dibahas situasi Timur Tengah semasa timbulnya Faham Wahabi pada abad 18 -19 Masehi. 
           Di antaranya adalah tentang asal-usul Bangsa Turki dari Asia Tengah dan Timur yang mengendalikan Kerajaan Turki Utsmani yang sifatnya berbeda dengan bangsa-bangsa asli Timur Tengah. 
           Kemudian peran kolonialis Inggris Raya yang sangat ahli dalam politik "Divide et Impera" yang berakhir dengan sukses memecah belah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniyah di Timur Tengah dan Balkan. 
           Dalam  episode berikutnya kita akan melihat betapa besar pengaruh mata-mata Inggris dalam membentuk fikiran ekstrim Muhammad Abdul Wahab, sang pendiri faham Wahabi itu.