Direvisi 6 Agustus 2012
Memoar Mata-Mata Inggris
SEJARAH “HITAM”
KAUM WAHABI 03.
PERSAHABATAN KAUM WAHABI
DENGAN PEMERINTAH INGGRIS.
Oleh: mutawalli
I.
Pendahuluan:
SEJARAH “HITAM”
KAUM WAHABI 03.
PERSAHABATAN KAUM WAHABI
DENGAN PEMERINTAH INGGRIS.
Oleh: mutawalli
Pada tulisan sebelumnya
telah digambarkan situasi Timur Tengah sebelum berkuasanya Kaum Wahabi di Saudi
Arabia. Pertama-tama digambarkan situasi Kerajaan Islam yang dikuasai oleh
bangsa Arab dari keturunan Quroisy.
Selanjutnya
diceriterakan tentang asal-usul bangsa Mongol dan Turki yang berasal dari Asia
Utara. Kemudian terbentuknya Khilafah Turki Usmaniyah, perkembangannya sampai
keruntuhannya.
Kesultanan ini memasuki
zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520 M.)
secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah
Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga
memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal
kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim,
Suleiman yang Agung (1520-1566 M.) melanjutkan ekspansi Selim. Di sebelah
timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun
1535 M., mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Dalam dokumen resmi
Pemerintah Inggris yang telah dibuka untuk umum tertulis sebagai berikut:
Jaziroh Arob secara
umum berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Klan keluarga Syarif Hussein
(keturunan Rosululloh Saw.) yang menguasai kota suci Makah sejak 700 tahun lalu
itu didirikan olah Qotadah ibnu Idris (1133-1220 M) yang dilahirkan di Yanbu,
Jaziroh Arob. Dia memanfaatkan fitnah pertikaian yang terjadi di tengah
masyarakat Makah sebagai peluang untuk menguasainya. Dia berhasil menguasai
Makah pada tahun 1201. Kekuasaannya semakin meluas sampai ke Madinah sebelah
utara dan Yaman di sebelah selatan. Kemudian Sultan Turki Usmani Salim I
menguasai Mesir dan semenanjung Hijaz tahun 1517. Para syarif dan anak
keturunan Qotadah itu terus memegang kekuasaan (di jaziroh Arob) di bawah
kekuasaan Turki Usmani dari masa ke masa, baik secara de jure maupun de facto.
Syarif Hussein ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Abd al-Mu’in ibn Awan merupakan
penguasa terakhir dari kalangan syarif tersebut.
II. Pembentukan Faham Wahabi.
Suatu ide baru yang
jauh berbeda dengan ide yang sudah ada di masyarakat tidak mungkin serta merta
muncul di dalam otak seseorang begitu saja. Tentu ada pemicunya. Sebagai contoh
ajaran agama para Nabi yang berbeda dengan faham masyarakat waktu itu dipicu
oleh wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril. Teori-teori para
sarjana yang cemerlang timbul dari percobaan / eksperimen yang dikerjakannya
atau orang lain serta buku-buku karya para sarjana sebelumnya yang dibacanya.
Begitu juga dengan
faham Wahabi yang dicetuskan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab. Selain pengaruh
bacaan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah tentu ada peristiwa lain yang menjadikannya
bergerak sangat radikal. Peristiwa itu adalah interaksi antara Muhammad ibnu
Abdul Wahhab dengan seorang mata-mata Inggris bernama Hempher.
Sumber utama uraian di
bawah adalah sebuah buku berjudul: “Pengakuan Mata-Mata Inggris
dalam menghancurkan KEKUATAN ISLAM”, terjemahan Muhammad Siddiq
Gunnus, diterbitkan oleh Al-Ikhlas, Surabaya 1999.
Buku ini diterjemahkan
dari “Confession of a British Spy”
yang diterbitkan oleh Hakikat Kitabevi, Istanbul, Turki.
Dalam
http://artikelislami.wordpress.com diuraikan tentang sejarah buku ini sebagai
berikut:
“Memoar
Mr Hempher, Mata-Mata Inggris untuk Timur Tengah”
adalah judul dokumen yang diterbitkan dalam beberapa seri di surat kabar
Jerman, Spiegel, dan kemudian di majalah Perancis yang terkenal. Seorang dokter
Lebanon menerjemahkan dokumen itu ke bahasa Arab dan dari sana dokumen itu
diterjemahkan ke bahasa Inggris dan lainnya. Penerbit Waqf Ikhlas menerbitkan
dan mengedarkan dokumen dalam bahasa Inggris dalam bentuk hard copy dan
elektronik dengan judul: “Pengakuan dari Mata-Mata
Inggris dan Permusuhan Inggris terhadap Islam.”
Dokumen ini mengungkapkan latar belakang sebenarnya dari gerakan Wahhabi yang
merupakan bid’ah yang dibuat oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan menjelaskan
sejumlah kepalsuan mereka yang tersebar atas nama Islam, dan mengekspos peran
mereka dalam permusuhan terhadap agama Islam dan terhadap Nabi Muhammad s.a.w.
dan terhadap Muslim pada umumnya. Tidak heran Wahhabi hari ini berdiri sebagai
tulang punggung terorisme yang memungkinkan, membiayai, dan merencanakan
penumpahan darah Muslimin dan orang-orang tak bersalah lainnya. Sejarah
terorisme mereka yang dikenal baik sebagaimana didokumentasikan dalam Fitnatul
Wahhabiyyah oleh mufti dari Makkah, Syaikh Ahmad Zayni Dahlan, dan pembunuhan
mereka serta pelanggaran mereka adalah karena keyakinan mereka yang sakit.
Semoga Allah melindungi bangsa kita dari kejahatan mereka.
Adapun ringkasan buku
itu adalah sebagai berikut:
Dr. Abdullah Mohammad
Sindi *], di dalam sebuah artikelnya yang berjudul : “Britain
and the Rise of Wahhabism and the House of Saud”
menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah Wahabisme, peran Pemerintah Inggeris
di dalam perkembangannya, dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi.
“Salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini adalah
Wahabi,” demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi dalam pembukaan artikelnya
tersebut. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi
Arabia, tambahnya.
Wahabisme dan keluarga
Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran
keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya
keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh
penjuru dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak
dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
Wahhabisme memberi
legitimasi bagi Istana Saud, dan Istana Saud memberi perlindungan dan
mempromosikan Wahabisme ke seluruh penjuru dunia.
Keduanya tak
terpisahkan, karena keduanya saling mendukung satu dengan yang lain dan
kelangsungan hidup keduanya bergantung padanya.
Tidak seperti
negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga
kelas tiga, membatasi hak-hak mereka seperti : menyetir mobil, bahkan pada
dekade lalu membatasi pendidikan mereka.
Juga tidak seperti di
negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme :
- melarang perayaan Maulid Nabi Muhammad
Saw.
- melarang kebebasan berpolitik dan
secara konstan mewajibkan rakyat untuk patuh secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin
mereka.
- melarang mendirikan bioskop sama
sekali.
- menerapkan hukum Islam hanya atas
rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum bangsawan, kecuali karena alasan
politis.
- mengizinkan perbudakan sampai tahun
’60-an.
- Mereka juga menyebarkan
mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam memonitor demi mencegah
munculnya gerakan anti-kerajaan.
Wahabisme juga sangat
tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan Sufisme
(Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. 1]
Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah Wahidah di dalam Islam.
Wahhabisme juga
memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua
ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap
telah melakukan BID’AH dan KAFIR!
LAHIRNYA AJARAN WAHABI:
LAHIRNYA AJARAN WAHABI:
Wahhabisme atau ajaran
Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di
Jazirah Arab, di daerah Najd.
Kata Wahabi sendiri
diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab (1703-92). Laki-laki
ini lahir di Najd, di sebuah dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul-Wahhab adalah
seorang mubaligh yang fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak
lebih dari 4 pada waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. 2]
Sebelum menjadi seorang
mubaligh, Ibn Abdul-Wahhab secara ekstensif mengadakan perjalanan untuk
keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz, Mesir, Siria,
Irak, Iran, dan India.
Hempher mata-mata Inggris
Hempher mata-mata Inggris
Walaupun Ibn
Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan
Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan
merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan
menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat
di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn
Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions
of a British Spy” 3]
Selagi di Basra, Iraq,
Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata
Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar (under cover),
salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di
Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan
konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim,
dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan
dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam waktu yang relatif lama.
Hempher, yang
memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn
Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh,
karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum Muslim
– telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah
melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga
membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi
Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan
mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan
meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari
berbagai bid’ah dan takhayul.
Setelah mendengar mimpi
liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi
terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam
Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya,
Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak
stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak bejat
(morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan dungu
(ignorant).
Mata-mata Inggeris ini,
yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang yang bertipikal bebal/dungu
(typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2
wanita Inggeris yang juga mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah
seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan Safiyya. Wanita ini tinggal
bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya lagi adalah seorang wanita
Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka menikah di Shiraz, Iran. 4]
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744 - 1818
Setelah kembali ke Najd
dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan
liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia
diusir dari tempat kelahirannya.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744 - 1818
Dia kemudian pergi
berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa
mata-mata Inggeris lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung
dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun
membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara
yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar 6]
Padahal, hukum Islam
tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan
batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn
Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.
Walaupun banyak orang
yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta
tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman
Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami
ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh
Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7] Pada 1744,
al-Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah
aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud
dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme sebagai
sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini
setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi
(pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh
wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious
interpretation).
Mereka adalah
orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk
menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil aliansi
Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang terdiri
dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata Inggeris
yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya,
angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada
akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah),
dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam
(Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang besar).
Dengan cara ini,
angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah
Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.
Sebagai contoh, untuk
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan
oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada
1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam
Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa
ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000
unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810,
mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang
Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan
sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka
membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid
Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan
bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris
Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan
kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang
bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci
Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke
Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan
perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan
Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah.
Imam kaum Wahhabi saat
itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan dirantai
dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi
ditangkap di Mesir.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan
fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial
Inggeris, mereka dapat bangkit kembali.
Setelah pelaksanaan
hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan Saudi-Wahhabi
memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang
sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan Inggeris dan
Barat sebagai sahabat sejati mereka.”
Demikian tulis Dr.
Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris
menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencari jalan untuk memperluas area
jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh
perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam
Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo
dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan
Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris
(British Political Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial
Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah
Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada
1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk
mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan
perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan
Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam
Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara perang
politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada kompromi, kami
membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti
Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian “persahabatan” dengan Pemerintah
Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena
kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.
Perjanjian ini serupa
dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial Inggeris
atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan :
Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas
bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak
Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama/berkhianat dengan
pemerintah kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada
pemerintah kolonial Inggeris atas area yang dimilikinya.
Perjanjian yang
dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam
(yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan kemarahan
yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya, baik negara-negara yang berada
di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab.
Dari semua penguasa
Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi
ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di Arabia
tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid
menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa
anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara
mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja,
Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol
Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang
Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz menghabiskan waktu mereka
“menyembah-nyembah” tuan Inggeris mereka dan memohon-mohon akan uang,
persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada
akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul-Rahman
untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang
kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Melalui strategi licin
kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat
menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid
secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam baru
Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan
dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902
akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru
Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya
dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para
pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati.
12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz
yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat dicintai oleh majikan
Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggeris di wilayah
Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka
mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat. Sir Percy Cox, Captain
Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang
dipanggil “Abdullah”) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial
Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan
apa pun yang dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang
dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan
bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji
Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut
Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan
Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut fanatiknya, dan
para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di
daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di
Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang
angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada
bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang barbar, tentara
Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam
mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak
kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun merasa terhibur dengan
raung tangis dan takut kaum wanita.
Banyak wanita Taif yang
segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan
yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif
Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang
melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah di Taif diratakan dengan
tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka
temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih dari
400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif. 11]
The end
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan- saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.
Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang
belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang menjadi para pemuja
syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul dari bangsa lain. Mereka
(walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau lebih tepatnya Kebaduian
(bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang, menggunakan kafyeh,
bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke bahasa Arab
oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta (Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm.
108.
[3] Untuk lebih detailnya
Anda bisa mendownload “Confessions of a
British Spy” : http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara
ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje yang telah belajar
lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke Indonesia. Usaha Snouck berhasil
gemilang, seluruh kerajaan Islam jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali
Kerajaan Islam Aceh. Salah satu provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang
ulama Saudi adalah menyebarkan keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air
adalah lemah! (Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini
diharapkan Nasionalisme bangsa Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak
pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The
British Spy To The Middle East, page 13.
[5] Lihat “The Beginning and
Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi
Arabia and Its Royal Family (Secaucus, N.J.: Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British
Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p.
117.
[10] Gary Troeller, The Birth
of Saudi Arabia: Britain and the Rise of the House of Sa’ud (London: Frank
Cass, 1976), pp. 15-16.
[11] Quoted in Robert Lacey,
The Kingdom: Arabia and the House of Saud (New York: Harcourt Brace Jovanovich,
1981), p. 145
.
.
III.
Kritik Terhadap Buku Karangan Hempher
Pada http://tentarakecilku.blogspot.com terdapat
kritik terhadap buku Hempher sebagai berikut:Memoar Mata-Mata Inggris
Belakangan ini, telah diterbitkan sebuah memoar yang
diaku sebagai memoar seorang mata-mata Kerajaan Inggris di Irak pada masa
Muhammad bin Abdil Wahhab hidup. Hempher, nama mata-mata itu, sebagaimana yang
dituliskan dalam memoar, ditugaskan oleh pihak kerajaan pada tahun 1122 H (1710
M) ke wilayah Mesir, Irak, Hijaz dan Istanbul.
Catatan-catatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan “Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East.” Setelah dipublikasikan, catatan-catatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatan-catatan itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Confessions of a British Spy and British Enmity”.
Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul “Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam” oleh penerbit Galan pada tahun 2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata ganti “Nejed” untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil Wahhab.
Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon, pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.
Kritik atas Sumber Sejarah
Catatan-catatan yang dibuatnya pada waktu penugasan itu dijuduli dengan “Memoirs of Hempher: The British Spy to The Middle East.” Setelah dipublikasikan, catatan-catatan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa yang lain. Ikhlas Waqfi mempublikasikan catatan-catatan itu ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Confessions of a British Spy and British Enmity”.
Dalam bahasa Indonesia, memoar Hempher itu telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul “Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam” oleh penerbit Galan pada tahun 2009. Dalam memoar tersebut, Hempher si penulis memoar, memakai kata ganti “Nejed” untuk seseorang yang diceritakan sebagai Muhammad bin Abdil Wahhab.
Selama penugasan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, menyamar dengan nama Muhammad. Di Basrah inilah, sebagaimana yang diceritakan, ia bertemu dan bersahabat dengan Muhammad bin Abdil Wahhab. Konon, pertemuan itu terjadi pada tahun 1125 H. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin pertemanan yang dekat.
Kritik atas Sumber Sejarah
Terkait dengan kepentingan penulisan sejarah, memoar
tersebut dapat digolongkan sebagai sumber primer. Akan tetapi, suatu sumber,
temasuk juga Tarikh Najd dan Unwan Al-Majd fi Tarikh Najd, baru dapat diterima
sebagai sumber penulisan sejarah bila memenuhi dua syarat.
Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan (kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini dikenal juga dengan sebutan kritik intern.
Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang mata-mata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang bersangkutan.
Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada sumber-sumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.
Beberapa Pertentangan Hempher
Pertama, keaslian (otentisitas) sumber tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Masuk ke dalam pembuktian jenis ini adalah pembuktian materi fisik sumber bila itu dokumen masa lampau (jenis kertas, tinta gaya tulisan—bila dengan tulisan tangan—atau bahkan jenis tinta yang dipakai). Selain itu, juga gaya bahasa, ungkapan-ungkapan yang dipakai, jenis huruf yang ditulis dan diksi yang ada harus dibuktikan. Pembuktian seperti ini, dalam metode penulisan sejarah, biasa dikenal dengan istilah kritik ekstern.
Kedua, setelah terbukti otentisitas sumber tersebut, maka kedapatdipercayaan (kredibilitas) sumber tersebut harus dibuktikan juga. Pembuktian seperti ini dikenal juga dengan sebutan kritik intern.
Masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah penilaian intrinsik sumber yang bersangkutan, dengan cara menilai sifat sumber dan penulis sumber. Sifat sumber menentukan penerimaan sumber tersebut. Misal saja, laporan seorang mata-mata akan berbeda sifat dengan keterangan juru bicara sang ratu kepada publik. Demikian pula dengan penulis sumber, bagaimana pun, ia harus dinilai, baik kualitasnya ataupun kapabilitasnya terhadap sumber yang bersangkutan.
Juga masuk ke dalam jenis pembuktian ini adalah kebenaran keterangan yang ada di dalam sumber tersebut. Pembuktian ini dilakukan dengan cara pembandingan keterangan yang ada dengan keterangan yang ada pada sumber-sumber sejarah terpercaya lainnya. Bila banyak dukungan terhadap keterangan yang dikandung itu, maka sudah didapat satu fakta sejarah yang kuat. Bila tidak, maka cukup bisa untuk diragukan keterangan tersebut.
Beberapa Pertentangan Hempher
Barangkali akan menjumpai kesulitan untuk
mendapatkan dokumen asli mata-mata Inggris itu sebelum dipublikasikan. Akan
tetapi, bila melihat keterangan yang dikandung memoar tersebut setelah
diterjemahkan dan diterbitkan, maka salah satu bentuk pembuktian dapat
dilakukan, meskipun masih tetap dianggap kurang lengkap tanpa bentuk pembuktian
yang lain.
Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.
Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.
Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad Al-Majmu’i adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumber-sumber yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.
Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari sumber-sumber yang lain, bertentangan.
Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basroh, Zubair dan Ahsa’ selama melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah perjalanannya.
Kesimpulan
Sebagai misal di sini adalah keterangan bahwa Hempher bertemu pertama kali dengan Muhammad bin Abdil Wahhab pada tahun 1125 H. Keterangan ini, bila dibandingkan dengan keterangan yang lain jelas bertentangan.
Muhammad bin Abdil Wahhab ternyata baru memulai rangkaian perjalanan menuntut ilmunya pada tahun 1135 H, ketika ia berumur 20 tahun, ke tanah Hijaz. Baru beberapa tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan untuk pertama kalinya ke Basrah, Irak, menemui gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.
Meskipun banyak yang menganggap bahwa Syaikh Muhammad Al-Majmu’i adalah Hempher, tetap saja perbedaan keterangan pada memoar Hempher itu tentang tahun pertemuan mereka dengan keterangan pada sumber-sumber yang lain dapat memberatkan untuk bisa dipercaya.
Contoh yang lain, diceritakan dalam memoar Hempher bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab sempat datang ke Persia pada waktu itu dan mempelajari bahasa Persia. Keterangan ini, setelah dibandingkan dengan keterangan-keterangan dari sumber-sumber yang lain, bertentangan.
Ternyata, Muhammad bin Abdil Wahhab, di luar kampung halamannya di Nejed hanya pernah mengunjungi Hijaz, Basroh, Zubair dan Ahsa’ selama melakukan rihlahnya. Bahkan, Syam yang menjadi salah satu tujuan pertamanya belum sempat dikunjungi karena kehabisan bekal di tengah perjalanannya.
Kesimpulan
Beberapa contoh yang telah disebutkan sudah cukup
menjadi alasan untuk menolak keterangan yang diberikan Hempher. Yang menjadi
masalah adalah banyak penulis menjadikan memoar Hempher itu sebagai dasar
argumen bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab adalah seorang laki-laki yang
disusupkan Inggris guna merusak Islam dari dalam. Demikian pula dengan dakwahnya,
Wahhabi terkadang diklaim oleh sebagian pihak sebagai salah satu sekte dalam
Islam yang dibentuk Inggris.
Nur Khalik Ridwan, dalam tulisan-tulisannya tentang Wahabi, memakai memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar “Islam Digest.” Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.
Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan bertele-tele. Akan tetapi, permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau tidak percaya. Sumber-sumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.[]
Komentar
Penolakan tulisan Hempher berdasarkan data sejarah yang dikeluarkan oleh sumber Wahabi tentunya masih perlu diuji kebenarannya, karena sumber sejarahnya tidak netral yaitu bertendensi membela Wahabi dan menyalahkan pernyataan Hempher. Sumber yang dapat dipakai di antaranya adalah dokumen Pemerintah Inggris pada abad ke-19 yang sekarang sudah dibuka kerahasiaannya sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.Khususnya tentang peran mata-mata Inggris di Timur Tengah.
Nur Khalik Ridwan, dalam tulisan-tulisannya tentang Wahabi, memakai memoar Hempher itu untuk membangun argumen di dalam karyanya. Selain itu, amat disayangkan pula bahwa harian Republika yang menjadi salah satu surat kabar dengan sirkulasi dan publikasi luas di Indonesia pernah mengangkat artikel tentang Muhammad bin Abdil Wahhab dalam lembar “Islam Digest.” Salah satu referensi tulisan tentang Muhammad bin Abdil Wahhab di sana ternyata memoar Hempher itu.
Perkara pembuktian sumber ini memang terkesan bertele-tele. Akan tetapi, permasalahan keterangan sumber bukan sekedar permasalahan percaya atau tidak percaya. Sumber-sumber sejarah yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan kritik ekstern dan intern tidak dapat dijadikan sandaran pendapat. Keterangan yang dikandung pun belum dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.[]
Komentar
Penolakan tulisan Hempher berdasarkan data sejarah yang dikeluarkan oleh sumber Wahabi tentunya masih perlu diuji kebenarannya, karena sumber sejarahnya tidak netral yaitu bertendensi membela Wahabi dan menyalahkan pernyataan Hempher. Sumber yang dapat dipakai di antaranya adalah dokumen Pemerintah Inggris pada abad ke-19 yang sekarang sudah dibuka kerahasiaannya sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.Khususnya tentang peran mata-mata Inggris di Timur Tengah.
IV. Kerjasama Kaum Wahabi
Dengan Kerajaan Inggris Pada Perang Dunia Pertama
Selain dari buku-buku, sumber sejarah
yang dapat dipakai adalah dari Film Sejarah.
Film Lawrence of Arabia
Dari Wikipedia, Ensiklopedia bebas
Film Lawrence of Arabia
Dari Wikipedia, Ensiklopedia bebas
Lawrence of
Arabia
adalah film Inggris 1962 didasarkan pada kehidupan T.E Lawrence, tentara
Inggris
yang mahir berbahasa Arab dan mempunya banyak kawan orang Arab. Film ini
disutradarai oleh David Lean dan diproduksi oleh Sam Spiegel melalui
perusahaan
Inggrisnya Foto Horizon, dengan skenario oleh Robert Bolt dan Michael
Wilso . Film ini dibintangi Peter O'Toole sebagai pemeran utama. Salah
satu film
terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah sinema.
Film ini menggambarkan pengalaman
Lawrence di Jazirah Arab selama Perang Dunia I, dalam serangan khususnya pada
Aqaba dan Damaskus dan keterlibatannya dalam Dewan Nasional Arab. Tema meliputi
perjuangan emosional Lawrence dengan kekerasan pribadi yang melekat dalam
perang, identitas pribadi, dan kesetiaannya terbagi antara tentara Inggris dan
dan kawan-kawan barunya dalam suku-suku padang pasir Arab.
Plot
Plot
Film ini disajikan
dalam dua babak, dipisahkan oleh sebuah jeda.
Babak I
Babak I
Selama Perang Dunia
Pertama, TE Lawrence (Peter O'Toole) adalah seorang Letnan Angkatan Darat
Inggris yang ditempatkan di Kairo. Meskipun Jendral Murray (Donald Wolfit) berkeberatan,
dia tetap dikirim oleh Mr Dryden (Claude Rains) dari Biro Arab untuk
mengamatii prospek Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud (Alec Guinness) dalam
pemberontakan melawan Kerajaan Turki Usmani. Di perjalanan, pemandu Badui nya
dibunuh oleh Sheriff Ali (Omar Sharif) –sherif atau sharif adalah gelar
bangsawan untuk para keturunan Nabi Muhammad saw- karena minum dari sumur tanpa
izin. Lawrence kemudian bertemu Kolonel Brighton (Anthony Quayle), yang
memerintahkan dia untuk tetap tenang, membuat penilaian tentang kamp Pangeran
Faisal, dan pergi. Lawrence segera mengabaikan perintah Brighton ketika ia
bertemu Pangeran Faisal. Pengetahuan dan keterbukaannya menarik minat sang
pangeran.
Brighton menyarankan
Pangeran Faisal untuk mundur setelah kekalahan telaknya, tapi Lawrence justru
mengusulkan serangan mendadak yang berani di Pangkalan Angkatan Laut Turki di
Aqaba yang, jika berhasil, akan memberikan jalan bagi Inggris untuk memasok
kebutuhan bagi pasukan Arab. Sementara dibentengi kuat melawan serangan
angkatan laut, kota ini lemah di sisi darat.
Dia meyakinkan Pangeran
Faisal untuk mengirimkan pasukan lima puluh orang, dipimpin oleh Ali Sheriff
yang skeptis. Dua anak yatim remaja, Daud (Yohanes Dimech) dan Farraj (Michel
Ray), menyediakan dirinya ke Lawrence sebagai pembantunya.
Pasukan itu
menyeberangi Gurun Nefud, yang dianggap tak dapat dilalui bahkan oleh
suku
Badui, perjalanan siang dan malam pada berakhir di sumber air (oasis).
Gasim (I.S Johar) hampir meninggal dunia akibat kelelahan dan jatuh dari
unta tanpa
diketahui pada malam hari. Sisanya sampai ke oasis, tapi Lawrence
ternyata
kembali sendirian untuk mencari orang yang hilang, dengan mempertaruhkan
nyawanya dan mengungguli Sheriff Ali dalam menyelamatkan Gasim.
Lawrence membujuk Abu Auda
Tayi (Anthony Quinn), pemimpin dari suku lokal Howeitat yang kuat, untuk
berbalik melawan Turki. Rencana Lawrence hampir gagal ketika salah satu anak
buah Sherif Ali membunuh seorang anak buah Auda karena hutang darah. Karena
pembalasan suku Howeitat akan menghancurkan aliansi yang rapuh, Lawrence
menyatakan bahwa ia akan mengeksekusi si pembunuh sendiri. Tertegun untuk
menemukan bahwa pelakunya adalah Gasim, dia menembaknya pula. Keesokan paginya,
aliansi yang utuh itu mengalahkan garnisun Turki di Pangkalan Angkatan Laut
Aqaba .
Lawrence pergi ke Kairo untuk menginformasikan Dryden dan komandan baru, Jenderal Allenby (Jack Hawkins), tentang kemenangannya. Sewaktu menyeberangi Gurun Sinai , Daud (bocah pembantu Lawrence) meninggal ketika ia tersandung ke pasir hisap . Lawrence dipromosikan menjadi mayor dan diberi senjata dan uang untuk mendukung orang-orang Arab yang dipimpin Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud. Dia sangat terganggu, mengingat bahwa ia telah mengeksekusi Gasim, tapi Allenby menepis keraguan itu. Dia bertanya Allenby apakah ada dasar kecurigaan Arab bahwa Inggris memiliki desain di Arabia . Jendral itu menyatakan bahwa mereka tidak memiliki desain seperti itu.
Babak II
Lawrence pergi ke Kairo untuk menginformasikan Dryden dan komandan baru, Jenderal Allenby (Jack Hawkins), tentang kemenangannya. Sewaktu menyeberangi Gurun Sinai , Daud (bocah pembantu Lawrence) meninggal ketika ia tersandung ke pasir hisap . Lawrence dipromosikan menjadi mayor dan diberi senjata dan uang untuk mendukung orang-orang Arab yang dipimpin Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud. Dia sangat terganggu, mengingat bahwa ia telah mengeksekusi Gasim, tapi Allenby menepis keraguan itu. Dia bertanya Allenby apakah ada dasar kecurigaan Arab bahwa Inggris memiliki desain di Arabia . Jendral itu menyatakan bahwa mereka tidak memiliki desain seperti itu.
Babak II
Lawrence melancarkan
perang gerilya, meledakkan kereta api dan mengecoh orang-orang Turki di setiap
kelokan. Koresponden perang Amerika Jackson Bentley (Arthur Kennedy)
mempublikasikan liputannya, membuat Lawrence terkenal di dunia. Di satu
serangan, Farraj (bocah pembantu Lawrence yang masih hidup) terluka parah. Tidak
mau meninggalkannya untuk disiksa, Lawrence terpaksa menembaknya sebelum
melarikan diri.
Ketika Lawrence
mengintai kota Daraa yang dikuasai musuh dengan Ali Sherif, ia bersama dengan
warga Arab pergi ke seorang Bey Turki (José Ferrer). Lawrence dilucuti,
dipelototi, dan ditusuk, dicambuki, dilecehkan secara seksual dan kemudian
dilempar keluar ke jalan.
Di Yerusalem, Jenderal
Allenby mendesak dia untuk mendukung "serangan besar" ke Damaskus ,
tapi Lawrence menolak keras. Namun akhirnya, ia menerima.
Dia merekrut pasukan
Arab (pasukan Wahabi ?), terutama para pembunuh dan pemotong leher yang
termotivasi oleh uang, bukan dorongan Nasionalisme Arab. Mereka melihat
rombongan tentara Turki yang mundur yang baru saja membantai orang-orang Tafas.
Salah satu pasukan Lawrence dari desa menuntut, "Tidak ada tahanan (bunuh
semua)!" Ketika Lawrence ragu-ragu, pria itu menyerang orang Turki
sendirian dan terbunuh. Lawrence mengambil mayatnya sambil menangis, menjadikan
pembantaian di mana Lawrence sendiri berpartisipasi berjalan dengan mulus.
Anak buah Lawrence
kemudian menguasai Damaskus sebelum pasukan Jenderal Allenby itu. Orang-orang
Arab mendirikan sebuah dewan untuk mengelola kota, tetapi mereka adalah suku
padang pasir yang tidak cocok untuk tugas seperti itu.Tidak dapat
mempertahankan utilitas dan pertengkaran terus-menerus satu sama lain, mereka
segera meninggalkan sebagian besar kota ke pasukan Inggris. Dipromosikan
menjadi kolonel dan segera diperintahkan pulang, jasanya berakhir baik bagi
Pangeran Faisal ibnu Turki al-Saud dan diplomat Inggris, seorang Lawrence yang
sedih terusir dalam sebuah mobil staf.
Komentar Penulis:
Komentar Penulis:
Dalam film ini terlihat
betapa eratnya hubungan kaum Wahabi dengan tentara Inggris dalam menghancurkan
pasukan Turki Usmaniah pada Perang Dunia I.
V. Peran Salafi Wahabi dalam
Menjadikan Palestina Terjajah
Dalam buku Shofahat min
Tarikh al-Jaziroh dipaparkan bukti-bukti komkrit tentang terlalu tampaknya
pembelaan Wahabi dalam berbagai kasus yang terkait dengan kepentingan Inggris
dan Yahudi kala itu. Salah satu indikasinya adalah ketika dilangsungkan Kongres
Dunia Islam pada1926, para ulama dan utusan dari negara-negara muslim
mengusulkan untuk membersihkan kawasan Timur Tengah —seperti Palestina, Syria,
Irak, dan Jaziroh Arob—dari pengaruh asing, namun
ulama Wahabi menolak usulan negara-negara dunia Islam tersebut.
Bukan sesuatu yang aneh
jika Salafi Wahabi selama ini bungkam seribu bahasa dengan keberadaan Yahudi di
Palestina dan segala kejahatan yang mereka lakukan terhadap umat Islam di
negeri yang terampas dan terjajah itu. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah
mengamini “penggadaian” negeri Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada
orang-orang Yahudi.
Dalam Muktamar al-Aqir
tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah ditandatangani sebuah perjanjian resmi
antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris. Tertulis dalam kesepakatan itu
kalimat-kalimat yang ditorehkan oleh pimpinan Wahabi berbunyi:
“Aku berikrar dan
mengakui seribu kali kepada Sir Percy Cox wakil Britania Raya, tidak ada
halangan bagiku (sama sekali) untuk memberikan Palestina kepada Yahudi atau
yang lainnya sesuai keinginan Inggris, yang mana aku tidak akan keluar dari
keinginan Inggris sampai hari kiamat.”
Surat perjanjian itu
ditandatangani oleh Raja Abdul Aziz al-Saud.
VI. Kesimpulan dan Penutup
Dari
uraian di atas jelas terlihat bagaimana Pemerintah Kerajaan Inggris dalam waktu
100 tahun telah berhasil mendirikan negara Isroil, dengan cara memecah belah
Kerajaan Islam Turki Usmaniah. Seorang mata-matanya yang brilian –Hempher- yang
fasih berbahasa Arab, Turki dan Parsi, serta menguasai Agama Islam beruntung
telah bertemu dengan Muhammad ibn Wahhab an-Najd sewaktu dia mengembara keluar
dari An-Najd. Melalui diskusi yang intensif serta cara-cara lainnya dia telah
berhasil mencuci otak pendiri Faham Wahabi itu, mematangkan fahamnya, kemudian
memberinya semangat untuk berjuang.
Setelah
bersekutu dengan Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud, Hempher serta Pemerintah
Inggris terus membantunya untuk menguasai Jaziroh Arob. Taktik yang dipakainya
seperti terucap di Film “Lawrence of Arabia” adalah “Tidak ada tahanan!” yang
berarti : Bunuh semuanya termasuk bayi, wanita, orang-orang tua dan anak-anak.
Memang
sangat kejam, menyerupai kekejaman bangsa Mongol sewaktu menyerang Baghdad.
Bangsa sendiri yang seagama (tetapi tidak sefaham) dianggap musuh yang boleh
dibunuh, sedangkan bangsa Inggris yang kafir dianggap sebagai sohabat.
Keberadaan
kaum ini telah diramalkan Nabi saw. dalam suatu hadits panjang, yang
potongannya adalah sebagai berikut:
…”Akan lahir dari dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Kalau aku ketemu mereka niscaya akan kupenggal lehernya seprti halnya kaum “Ad”. Dalam riwayat lain dikatakan , “seperti halnya kaum Tsamud.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad dan lainnya)
Kepustakaan:
…”Akan lahir dari dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Kalau aku ketemu mereka niscaya akan kupenggal lehernya seprti halnya kaum “Ad”. Dalam riwayat lain dikatakan , “seperti halnya kaum Tsamud.” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad dan lainnya)
Kepustakaan:
1. Muhammad Siddiq Gunnus “Pengakuan
mata-mata Inggris dalam menghancurkan Kekuatan Islam” Al
Ikhlas, Surabaya, 1999.
2. Syaikh Idahram, “Sejarah
Berdarah Sekte Salafi Wahabi”, Pustaka Pesantren
Yogyakarta, 2011.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_of_Arabia_(film)