Senin, 26 Desember 2011

Hijrah Menuju Khilafah Islamiyah

Saatnya Khilafah Memimpin Dunia

Saatnya Khilafah Memimpin Dunia

Hijrah Nabi Muham-mad saw. merupakan momentum sejarah yang paling penting dan menentukan tegaknya peradaban Islam di muka bumi ini. Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat-setelah masyarakat Mekkah yang jumud itu tidak memberikan peluang bagi terbitnya peradaban baru di negerinya- membuka babak baru bagi perkembangan Islam di kota Yatsrib (+400 km dari kota Mekkah) yang kemudian berubah menjadi Madinatur Rasul atau Madinah Munawwarah. Hijrah yang dilakukan setelah 13 tahun dakwah di kota Mekkah itu telah mengubah kaum Muhajirin yang tertindas (mustad’afin) menjadi warga masyarakat di kota Madinah selain kaum Anshor. Bahkan, menjadi pelopor perubahan dunia di masa berikutnya.

Hijrah itu juga telah mengubah keadaan kaum musyrikin penyembah berhala dari kalangan suku Aus dan Khazraj di kota Madinah menjadi orang-orang mukmin yang telah menolong dan melindungi perjuangan Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu, mereka menjadi kaum yang mulia sebagaimana disebut-sebut dalam Al Qur’an maupun As Sunnah.

Hijrah itu pulalah yang telah mengubah kaum muslimin yang pada awalnya merupakan kelompok dakwah di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw. menjelma menjadi suatu umat yang memiliki kemuliaan, kedudukan, dan kekuasaan. Rasulullah saw. pun akhirnya menjadi seorang penguasa (haakim) yang menjalankan pemerintahan dan kekuasaan menurut apa yang diturunkan Allah SWT kepada beliau saw., selain sebagai Nabi dan Rasul. Hijrah telah mengubah masyarakat Madinah yang terpecah-pecah dalam kabilah-kabilah menjadi satu umat dan satu negara di bawah kepemimpinan Risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ya, hijrah itulah yang menandai perubahan suatu masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang memiliki peradaban yang luhur karena diliputi oleh nilai-nilai dan hukum-hukum Ilahi. Inilah awal bersatunya berbagai bangsa yang memiliki hukum, tatanegara, dan adat istiadat serta bahasa yang berbeda-beda menjadi umat yang satu, dengan hukum tata negara yang satu, serta bahasa yang satu di bawah naungan Islam, yakni umat Islam ummatan wahidah. Dengan hijrah, kekufuran lenyap diganti keimanan. Kejahiliyahan musnah tertutup cahaya Islam. Ketertindasan berubah menjadi kemuliaan dan keagungan. Murka Allah SWT sirna, sebaliknya keridlaan-Nya datang.

Hanya saja, sejak runtuhnya Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, umat Islam yang telah dibangun berabad-abad yang lampau mengalami keruntuhan dan keterpecahbelahan seperti yang kita lihat sekarang. Pertanyaannya, apakah kaum muslimin tidak ingin kembali mengulangi sukses hijrah seperti yang pernah dialami para pendahulu mereka? Apakah kaum muslimin rela hidup dalam keadaan cerai-berai dan carut-marut seperti sekarang? Apakah kaum muslimin betah hidup menderita di bawah tekanan sistem kufur? Jika tidak, apakah yang mesti kita perbuat dalam memperingati momentum Hijrah yang telah diabadikan oleh Khalifah Umar bin Khaththab sebagai awal mula tahun Hijriyah, tahun penanggalan kaum muslimin? Tentu saja kaum muslimin harus memahami makna hijrah Rasulullah saw. dan memahami pula bagaimana aktualisasi hukum Allah SWT tersebut di masa kini sesuai dengan realitas umat yang ada kini.

Makna Hijrah

Dalam bahasa Arab, hijrah berarti berpindah tempat. Sedangkan, secara syar’iy para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai :

“Keluar dari darul kufur ke darul Islam”. (An Nabhani, Syakhsiyyah Al Islamiyyah Juz II/276).

Pengertian darul Islam dalam definisi itu adalah suatu daerah (negara) yang menerap-kan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan serta keamanannya berada di tangan kaum muslimin. Sebaliknya, wilayah yang tidak menerapkan hukum Islam atau keamanannya di tangan bukan muslim merupakan darul kufur sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat itu, Nabi dan para sahabatnya hijrah dari darul kufur Makkah, lalu membentuk darul Islam Madinah. Ketika kaum muslimin keluar dari kota Mekkah menuju kota Madinah, motivasi utama mereka adalah keimanan dan melaksanakan perintah Allah SWT. untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin Quraisy. Dan Kota Madinah sebagai negara baru –Daulah Islamiyyah– yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. memberikan keamanan bagi mereka bahkan mengembangkan kehidupan mereka sebagai umat baru dengan peradaban baru, umat Islam.

Oleh karena itu, ketika kota Mekkah telah ditaklukkan dan Quraisy sebagai lambang kekuasaan kufur telah runtuh dan umat manusia telah berbondong-bondong masuk Islam, hijrah dalam arti perpindahan kaum muslimin dari kota Mekkah ke kota Madinah telah ditutup karena Mekkah bukan lagi darul kufur, tetapi telah menjadi bagian dari Daulah Islamiyyah yang berpusat di kota Madinah. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Tidak ada pelaksanaan kewajiban hijrah setelah penaklukan kota Mekkah”. Ketika ditanya tentang Hijrah, istri Nabi A’isyah ummul mukminin r.a. menyatakan : “Sekarang sudah tak ada hijrah. Dulu orang mukmin lari mem-bawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam dan seorang mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia”. Dengan demikian jelaslah bahwa ketika kaum muslimin telah bisa menampakkan keislaman mereka dan dapat menegakkan hukum-hukum Islam dalam Daulah Islamiyyah, kewajiban hijrah dari negeri tempat mereka tinggal menjadi hilang.

Aktualisasi Hijrah

Mencermati kondisi kaum muslimin menjelang milenium ketiga ini, keadaan mereka di seluruh dunia Islam boleh dikatakan memprihatinkan. Di negeri-negeri di mana kaum muslimin minoritas, keadaan mereka tertindas. Moro, Pattani, Rohingya, Kasymir, Chechnya, Palestina, Bosnia, dan Kosovo merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan kaum muslimin di akhir abad 20 hanya karena satu alasan : mereka muslim ! Mereka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan memunculkan diri sebagai muslim. Sementara itu, mereka yang tinggal di negeri-negeri di mana kaum muslimin mayoritas, justru hukum-hukum Islam tak bisa ditegakkan. Orang-orang yang berpegang teguh kepada aturan Allah SWT disisihkan. Bahkan, orang-orang mukmin yang konsisten dalam perjuangan menegakkan dienul Islam difitnahi dengan berbagai cap yang menyudutkan seperti eksklusif, ekstrimis, radikal, fundamentalis, bahkan teroris! Akibatnya aspirasi Islam dibunuh, para pejuangnya pun diburu dan dijebloskan ke penjara, dan sebagian diperlakukan tanpa batas perikemanusiaan hingga dibunuh. Dan kaum muslimin pun hidup tertekan dalam penjara besar negeri mereka sendiri yang telah dikuasai sistem kekufuran yang dikontrol oleh negara-negara besar Barat sebagai gembong kekufuran.

Problematikanya, manakala kaum muslimin hendak berhijrah, kemana? Sebab seluruh dunia adalah darul kufur. Di negeri-negeri Barat yang demokratis tempat sebagian kaum muslimin bermukim, keadaannya tidak lebih baik dari negeri-negeri mereka sendiri. Oleh karena itu, bagaimana aktualisasi hijrah?

Pertama, hijrah dari keadaan yang sangat menindas dan atau merusak aqidah mereka menuju tempat-tempat di mana keberagamaan mereka diakui dan dilindungi. Dalam kasus ini dapat dicontohkan perpindahan kaum muslimin dari Palestina, Bosnia, Chechnya dan lain-lain ke negeri-negeri Islam seperti Yordania, Saudi Arabia, dan Pakistan. Contoh lain, kaum muslimin yang hidup di Eropa atau AS dimana distrik atau kota tempat mereka tinggal sangat mengganggu aqidah dan kepribadian mereka, maka mereka wajib untuk berhijrah ke tempat-tempat lain yang lebih baik dan aman bagi aqidah dan kepribadian kaum muslimin sekalipun itu masih di negeri kafir tersebut.

Kedua, jika di suatu negeri Islam tegak pemerintahan Khi-lafah ‘ala minhajin nubuwwah –dalam waktu yang tidak lama lagi insyaallah– sehingga darul Islam dimana kaum musllimin bisa menampilkan Islam dengan sem-purna dan hukum-hukum Allah SWT bisa ditegakkan dalam kehidupan, maka hukum hijrah sebagaimana hukum perpindahan kaum muslimin dari kota Mekah ke kota Madinah sebelum ditaklukkannya kota Mekkah (Fathu Makkah) berlaku kembali. Kaum muslimin di berbagai penjuru dunia yang terancam dirinya oleh lingkungannya lantaran keislamannya sedangkan dia mampu berhijrah, maka dia wajib berhijrah ke negara Khilafah Islamiyyah tersebut. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. (QS. An Nisa 97).

Namun bagi mereka yang mampu berhijrah, tapi dalam kondisi tidak terancam, yakni masih bisa menampilkan diri sebagai muslim dan melaksanakan hukum-hukum Islam yang dituntut kepadanya, maka tidak wajib baginya berhijrah ke negara Khilafah Islamiyyah, melainkan hanya mandub (sunnah) saja hukumnya. Kesimpulan hukum mandub ini oleh Taqiyuddin An Nabhani (idem) difahami dari adanya dorongan dan mobilisasi yang dilakukan oleh Rasulullah saw. agar kaum muslimin berhijrah dari Mekkah ke kota Madinah. Dorongan itu juga tampak dalam sejumlah firman Allah SWT diantaranya :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah 218).

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS. At Taubah 20).

Namun demikian Rasulullah saw. membiarkan sebagian orang mukmin tetap tinggal di kota Mekkah seperti Nu’aim an Nuhham r.a. yang ketika mau berhijrah dicegah oleh kaumnya. Mereka meminta agar Nu’aim tetap tinggal di antara mereka –lantaran beliau biasa menanggung kehidupan para janda dan anak yatim– dan menjamin keamanannya dan membiarkan dia menampilkan agamanya.

Selanjutnya, bagi kaum muslimin yang tidak terancam dan tidak diganggu keberadaannya di negeri-negeri di luar Khilafah Islamiyyah — baik negeri Islam maupun negeri kufur– dan mampu melakukan perubahan keadaan negeri tersebut dari darul kufur menjadi darul Islam, yakni menggabungkan negeri tersebut dengan negeri Khilafah Islamiyah sehingga wujud negara khilafah Islamiyyah itu secara riil merupakan negara internasional, maka hukumnya justru haram bagi dia meninggalkan negeri tersebut sekalipun untuk menuju negeri khilafah. Sebab, tempat itu merupakan medan perjuangan baginya bagaikan dia berada di perbatasan dengan negeri kufur dan siap bertemu dengan tentara kufur yang siap memerangi mereka, maka haram baginya meninggalkan medan pertempuran sekalipun dia kembali ke ibukota Khilafah Islamiyyah.

Ketiga, hijrah dalam arti berpindah dari darul kufur ke darul Islam baru akan dapat terlaksana bila ada Khilafah Islamiyyah. Oleh sebab itu, tegaknya Khilafah tersebut tidak dapat ditawar-tawar.

Khilafah, Solusi Problematika Kaum Muslimin

Segala macam krisis yang menimpa kaum muslimin di berbagai negeri Islam, krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis keamanan, dan lain-lain, tak akan bisa dipecahkan tanpa mengembalikan hukum-hukum Islam sebagai pengatur kehidupan dan pemecahan masalah umat manusia. Sebagai penguasa, seorang muslim dituntut terikat dengan firman Allah:

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS. Al-Maaidah 48).

Sebagai rakyat, mereka dituntut bertahkim (meminta keputusan hukum) kepada hukum yang diputuskan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa’ 65).

Bahkan kaum muslimin dituntut untuk meninggalkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT yang disebut oleh Al Qur’an sebagai hukum Thaghut. Allah SWT berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa 60).

Padahal, semua itu baru akan terlaksana dengan adanya Khilafah Islamiyyah ‘ala minhajin nubuwwah. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah syara’: “Sesuatu yang suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengannya maka sesuatu itu hukumnya wajib”, menegakkan negara Khilafah Islamiyyah yang bersifat internasional merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, penguasa ataupun rakyat.

Khatimah

Hijrah Nabi Muhammad saw. adalah peristiwa historis sekaligus hukum yang telah mengubah keadaan kaum muslimin dari kondisi tertindas menjadi kondisi sentausa dengan tegaknya suatu masyarakat baru yang didasari hukum-hukum Islam sebagai pemecah problematikanya. Untuk itu, momentum hijrah adalah momentum kembalinya hukum Islam dalam negara Khilafah Islamiyyah yang menaungi kaum muslimin di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An Nuur 55).