Kamis, 26 Januari 2012

MENUJU SURGA LEWAT BERBAKTI KEPADA ORANG TUA (1) : Abu Fahmi dan Rahmat Abbas, wala' Press

BAGIAN KE-1 DARI 3 BAHASAN
“ Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari do’ayang tidak didengar, dari hati yang tidak khusyu’, dan dari jiwa yang tidak pernah kenyang.

DAFTAR ISI
MUQADDIMAH

BAB I. ASAS-ASAS BERBAKTI SEMASA IBU BAPAK HIDUP
Pahala Bakti Kepada Ibu-Bapak
Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Dunia
Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Akhirat
Menghapus Dosa
Masuk Surga
Utamaan Bakti dari Kewajiban Kifayah
Dahulukan Bakti dari Jihad
Dahulukan Bakti dari Istri dan teman
Dahulukan Bakti dari Ibadah Haji
Dahulukan Bakti dari Mengunjungi Rasulullah
Dahulukan Bakti dari Mencintai Anak
Dahulukan Bakti dari Ibadah Sunah
Dahulukan Bakti dari Hijrah di Jalan Allah
Bakti rasulullah kepada Orang Tua Susunya da Bakti Fatimah kepada Beliau
Tolak perintah dari Ibu-Bapak untuk Maksiat kepada Allah,Namun tetap berlaku Baik terhadapnya
Ibu-Bapak, Manusia yang Paling Berhak Dipergauli dengan Sebaik-baiknya
Dahulukan Bakti kepada Ibu, Bila Ibu-Bapak Berselisih
Anda dan Harta Anda Milik Ayah Anda
Bebaskan Jiwa Ibu-Bapak dengan Harta
Anak dan Ibu-Bapak Saling Mendo’akan.
Jaga Nama Ibu-Bapak dari Caci Maki
Hubungkan Nasab epada ayah Kandung
Hajikan Ibu-Bapak yang Tidak Sanggup Karena Udzur
Tunaikan Nadzar Orang Tua
Durhaka kepada Ibu-Bapak Termasuk Dosa
Mendurhakai Ibu-Bapak, Terkutuk
Mendurhakai Ibu-Bapak, Haram Masuk Surga
Mendurhakai Ibu-Bapak, Balasannya Segera
Durhaka, Memelototi Ibu-Bapak
Durhaka, Memukul Ibu-Bapak
Durhaka, Merusak Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak

BAB 2. ASAS BERBAKTI SETELAH IBU-BAPAK WAFAT
2.1 Tunaikan Janji dan Wasiat Ibu Bapak
2.2 Do’akan dan Mohonkan Ampun untuk Ibu-Bapak
2.3 Peliharalah Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak
2.4 Shadaqah untuk Ibu-Bapak
2.5 Haji untuk Ibu-Bapak
2.6 Bergegas Melakukan Amal Shalih demi Menyenangkan Orang Tua
2.7 Ziarahi Kubur Ibu-Bapak
2.8 Tunaikan Sumpah Ibu Bapak
2.9 Shaum (Puasa) untuk Ibu-Bapak

PENUTUP

MUQADDIMAH
Segala pui bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga, sahabat da pengikutnya hingga akhir zaman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu.” (Al-Isra’: 23)
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapakmu.”(An-Nisa’: 36)
Mentarbiyah(mendidik) anak agar berbakti kepada orang tuanya merupakan perkaran yagn sangat penting. Keindahan serta kedamaian sebuah rumah tangga yang islami, hanya akan terwujud melalui keharmonisan hubungan antara suami-istri, keharmonisan hubungan orang tua dan anak-anak mereka, dan tunduk kepada wasiat-wasiat Al-Qur’an serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang membicarakan tentang birrul-walidain (berbakti kepada orang tua). Begitu tingginya kedudukan perintah birrul walidain sehingga perintah ini disejajarkan dengan perintah beribadah kepada Allah semata, seperti tersebut pada ayat diatas.
Diantara hadits yang membicarakan perkara birrul walidain adalah sebuah hadits yang berasal dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Berbaktilah kamu kepada orang tuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Dan tahanlah untuk berbuat dosa terhadap wanita-wanita lain, niscaya wanita-wanitamu akan selamat dari perbuatan dosa orang lain.”
(H.R Thabrani, sanadnya hasan)
Jika kita mengingat penderitaan ibu tatkala mengandung selama sembilan bulan, dan pada saat menjelang melahirkan, sementara tiada penderitaan yang lebih berat bagi seorang wanita dari pada penderitaan ketika hendak melahirkan, maka wajar bila Allah berulang-ulang mewasiatkan kepada kita agar berbakti kepada ibu dengan bakti yang leih besar dibandingkan kepada ayah.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang sangat.” (Lukman :14)
Pembaca, kami susun risalah ini dari kitab rujukan utama : Manhaj At-Tarbiyyatin-Nabawwiyyah lith-Thifli bab At-Targhib fi Birril Walidain watTarhib min Uquqihima, karya Muhammad Nur bin Abdul hafidz Suwaid, yang kami lengkapi dari kitab Birrul Walidain, karya Al-Ustadz Ahmad Isa Asyur ditambah referensi lain yang berkaita dengan masalah ini.
Selanjutnya, kami ucapkan: Selamat membaca, semoga bermanfaat.

BAB I. ASAS-ASAS BERBAKTI SEMASA IBU BAPAK HIDUP

Pahala Bakti Kepada Ibu-Bapak
Mengingat betapa pentingnya berbakti kepada ibu-bapak, sehingga banyak kita dapati nasihat dan petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bakti kepada keduanya. Bakti kepada ibu-bapak dapat memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Berbakti kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban. Abu Dawud meriwayatkan dari Kulaib bin Manfa’ah, dari kakeknya ra. , bahwa ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “ Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Nabi menjawab,”Kepada ibumu dan bapakmu, saudara perempuanmu dan laki-lakimu, dan kerabat dekatmu, sebagai suatu kewajiban yang harus ditunaikan dan rahim yang harus disambung.”
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyebutkan dari Miqdam bin Ma’diyakrib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah berwasiat kepadamu(agar berbakti)kepada ibu-ibumu,” disebut sampai tiga kali, lalu nabi melanjutkan, “Sungguh, Allah berwasiat kepadamu (agar berbakti) kepada bapak-bapakmu,” lalu Nabi melanjutkan, “Sungguh, Allah berwasiat kepadamu (agar berbakti) kepada karib kerabatmu.” (Shahilhul- Jami’, nomor 1249)
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Umamah radliyallahu’anhu bahwa seorang berkata,” Ya Rasulullah, apa hak kedua orang tua terhadap anaknya?” Rasulullah menjawab, “ keduanya (menentukan) surgamu dan nerakamu.”
Dalam riwayat lain, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ridla Allah (tergantung) pada ridla orang tua, dan murka Allah (tergantung) pada murka orang tua.” (H.R Tarmidzi;Ibnu Hibban, lihat: Silsilatul-Ahaditsish-Shahihah, nomor 516; Imam Hakim, Al-Mustadrak, IV:125)
Imam Ahmad dan Nasa’i meriwayatkan dari Jahimah (bahwa Rasulullah bersabda):
“Penuhilah hak ibu (dengan berbakti kepadanya), sebab surga itu berada dibawah telapak kakinya.” (Shahilhul- Jami’, nomor 1924. Diriwayatkan juga oleh Bukhari, kitab Adab; Thabarani; dan Al-Hakim)

Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Dunia
Berbakti kepada ibu-bapak dapat menambah umur dan rezeki.
Dari Anas bin Malik radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambah rezeknya, maka hendaklah berbakti kepada ibu-bapaknya dan menghubungkan tali persaudaraan(mempererat silaturahmi).” (HR.Ahmad)

Dari Mu’adz bin Anas radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang berbakti kepada ibu-bapaknya, maka berbahagialah (sebab) Allah akan memperpanjang umurnya.” (H.R Abu Ya’la; Thabrani; Hakim, shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahabi; dan Al-Ashbahani)

Dari Tsauban radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh, seseorang bisa terhalang dari rezekinya karena dosa yang diperbuatnya, dan tidaklah bisa menolak taqdir kecuali do’a, dan tidak bisa memperpanjang umur kecuali bakti kepada ibu bapak.” (H.R ibnu Majah; Ibnu Hiblan, di dalam Shahihnya; dan Hakim dengan sanad yang shahih)

Dari Salman radliyallahu’anhu, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak bisa menolak taqdir kecuali do’a, dan tidak bisa menambah umur kecuali bakti kepada orang tua,” (H.R Tirmidzi, hasan gharib menurut beliau

Manfaat Bakti Kepada Ibu-Bapak di Akhirat
Jika di dunia, bekti kepada orang tua dapat menambah umur a rezeki, maka di akhirat berdampak sebagai berikut:

Menghapus Dosa
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata:

“Ya Rasulullah, sungguh aku telah melakukan dosa besar; apakah aku bisa bertaubat? “ Rasulullah menjawab, “ Apakah kamu masih punya ibu?” Jawabnya, “ Tidak” Nabi bertanya lagi, “ Apakah kamu masi punya bibi (dari pihak ibu)?” Dia menjawab, “Ya, masih.” Nabi berkata, “ Kalau begitu, berbaktilah kamu kepadanya.” (H.R Tirmidzi dan Hakim, sanadnya shahih menurut beliau)

Masuk Surga
Dari Aisyah radliyallahu’anha, (ia berkata) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku masuk surga, dan mendengar bacaan. Aku pun bertanya, ‘Siapa itu?’ Lalu dikatakan,’Haritsah bin An-Nu’man.’ (Kata Aisyah), selanjutnya Rasulullah menyatakan, ‘itulah pahala orang yang berbakti kepada orang tua.’ Dia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya.” (H.R Nasa’i)

Menurut riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang shahih, bahwa Haritsah bin An-Nu’man adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya.

Utamaan Bakti dari Kewajiban Kifayah
Berbakti kepada ibu-bapak adalah wajib (‘ain) bagi setiap muslim. Perkara-perkara yang hukumnya wajib ‘ain, hanya bisa disejajarkan dengan perkara yang memiliki hukum yang sama. Berbakti kepada ibu-bapak adalah wajib ‘ain, maka kewajiban ini sejajar dengan kewajiban shalat fardhu, shaum Ramadlan, dan jihad khusus (yaitu ketika diserbu musuh oleh diperintah oleh imam/komandan islam), sedangkan jihad yang sifatnya umum, dalam pelaksanannnya, dapat dikalahkan oleh bakti kepada ibu bapak.

Dahulukan Bakti dari Jihad
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata kepadanya, “ Aku ingin berangkat perang, dan aku datang untuk meminta nasihat Anda.” Lalu Nabi bertanya, “Apakah anda masih punya ibu?” Jawabnya, “Ya, masih.” Nabi berkata, “(Kalau begitu) pergilah, penuhilah kewajiban Anda untuk berbakti kepadanya, sebab surga itu berada di antara kedua kakinya.” (H.R Hakim, shahih menurut beliau dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ibnu Mas’udradliyallahu’anhu berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi, ‘Amalan apa yang paling Allah cintai?’ Nabi menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu aku pun bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Berbakti kepada ibu bapak.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Jihad fi sabilillah.’” (H.R Bukhari dan Muslim)
Ketika mensyarah hadits ini Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
“Ibnu At-Tin berkata, ‘Mendahulukan bakti kepada ibu bapak dari pada jihad mengandung dua aspek: Pertama, manfaat kebaikannya lebih besar daripada jihad di jalan Allah. Kedua, orang yang berbakti kepada orang tua beranggapan, apa yang dilakukan oleh orang lain lebih baik daripada perbuatannya. Kemudian dijelaskan kepadanya bahwa berbakti kepada orang tua itu lebih utama.’
Saya (Ibnu Hajar) menyatakan, bahwa aspek pertama tidak jelas. Namun, alasan yang mungkn dikemukakan tentang pengutamaan bakti kepada ibu bapak dari pada jihad di jalan Allah ialah, adanya keharusan mohon izin kepada keduanya dalam berjihad, Sebab terdapat dalil yang menyatakan, bahwa berjihad tanpa izin keduanya dilarang.” (Fat-hul-Bari IV:13)
Dalam aspek perizinan inilah, letak kelebihan birrul walidain dari pada jihad di jalan Allah. Sebab, keabsahan jihad itu sendiri terletak pada perizinan kepada orangtuanya atau salah satunya yang masih hidup.Wallahu A’lam.
Kewajiban jihad juga hilang bagi orang yang udzur, seperti Ummi Maktum yang buta. Ketika turun ayat dan surat An-Nisa’, “Tidak sama antara orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang turut perang fi sabilillah,” Ummi Maktum mengadu bahwa ia tidak dapat ikut perang karena buta. Lalu turunlah surat An-Nisa’:95 “Tidak sama antara orang-orang mu’min yang duduk (tidak ikut perang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang-orang yang berjihad fi sabilillah.
Dari Abdullah bin ‘Amru Ibnul-Ash radliyallahu’anhu ia berkata, “Ada seorang laki-laki menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk hijrah dan berjihad mengharap pahala dari Allah S....Lalu Nabi bertanya, ‘Apakah salah seorang diantara ibu bapakmu masih hidup?’ Jawabnya, ‘Ya, masih, bahkan kedua-duanya.’ Lalu Nabi berkata, ‘Benarkah anda berharap pahala dari Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya, benar.’ Nabi berkata, ‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu, lalu perlakukanlah mereka berdua dengan sebaik-baiknya.’” (H.R Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang lain dinyatakan, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Nabi untuk berjihad, lalu Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Jawabnya, “Ya.” Nabi berkata, “Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”
Ketika mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar mengatakan, “Maksudnya, jika kamu masih memiliki kedua orang tua, maka upayakan secara optimal dalam berbakti kepada keduanya, yang demikian itu sama nilainya dengan memerangi musuh.” (Fat-hul-Bari,VI:19?
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa seorang anak sepatutnya tidak keluar berjiihad tana seizin kedua orang tuanya, atau salah satu dari mereka jika salah satunya telah meninggal, sebab birrul-walidain hukumnya fardlu’ain (kewajiban individu), dan fardlu’ain harus didahulukan dari fardlu kifayah.

Dahulukan Bakti dari Istri dan teman
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika umatku melakukan lima belas perkara maka akan selalu dirundung bala’, yaitu:...(bila) seorang suami menaati istrinya, namun mendurhakai ibunya; dan berbuat baik pada teman-temannya tetapi berlaku kasar terhadap ayahnya....” (H.R Tirmidzi)

Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, ia berkata: “Saya mempunyai seorang istri yang menjadi jantung hati ku, namun ‘Umar membencinya. Dia kemudian berkata kepadaku, ‘Ceraikanlah ia.’ Namun aku menolaknya. Kemudian Umar datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjelaskan perkaranya kepada Nabi. Lalu Nabi berkata, ‘Ceraikanlah ia’.” (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dari Aisyah radliyallahu’anha, ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapakah yang paling besar haknya atas wanita?’ Nabi menjawab, ‘Suaminya.’ Saya bertanya lagi, ‘Dan siapa yang lebih berhak atas seorang laki-laki?’ Nabi menjawab, ‘ibunya.’” (H.R Ahmad; An-Nasai; dan Shahih menurut Al-Hakim)

Dari Abdullah bin Abu Aufa radliyallahu’anhu, ia berkata, “Ketika saya dengan Nabi di Majlisnya, datang seseorang dan mengatakan, ‘Ada seorang pemuda hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir.’ Lalu disarankan kepada orang itu agar menuntun pemuda tersebut mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Namun, pemuda itu tidak dapat melafazkannya. Lalu Nabi bertanya kepadanya, ‘Apakah pemuda ini shalat?’ Jawabnya, ‘Ya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit, dan kami pun bangkit bersama beliau. Kemudian kami mendatangi pemuda itu. Nabi berkata kepadanya, ‘Katakanlah Laa ilaaha illallaah, ‘Pemuda itu menjawab(dengan isyarat), ‘saya tidak bisa.’ Nabi bertanya, ‘Mengapa?’ Dikatakan kepada beiau bahwa dia durhaka kepada ibunya. Lalu Nabi bertanya, ‘Apakah ibunya masih hidup”’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian Nabi berkata kepada ibunya, ‘Bagaimana menurutmu jika aku nyalakan api yang besarlalu dikatakan kepadamu: Jika engkau memaafkan maka kami akan membebaskannya; kalau tidak maka kami akan membakarnya dengan api ini. Apakah kiranya engkau sudi memaafkannya?’ Ibu itu menjawab, ‘Wahai Rasulullah, kalau begitu aku memaafkannya.’ Rasulullah berkata, ‘Bersaksilah engkau kepada Allah dan bersaksilah kepadaku, bahwa engkau telah ridla atasnya.’ Lalu sang ibu berkata, ‘Ya Allah, aku bersaksi kepada-Mu, dan aku bersaksi kepada Rasul-Mu, bahwa aku telah ridla atas (perbuatan) anakku.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada si pemuda, ‘Wahai pemuda,katakanlah Laa ilaaha illallaah wahdahuu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh.’ Pemuda itu pun akhirnya mampu mengucapkan syahadatain. Llu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan pemuda ini dari neraka,’” (H.R. Ahmad dan Thabrani)

Dahulukan Bakti dari Ibadah Haji
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, ia berkata, “rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang hamba sahaya yang melakukan (da’wah) perbaikan memiliki dua pahala. Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada di tangan-Nya, andaikan tidak karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kapada ibuku, tentu aku suka mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.” (H.R. Bukhari; Muslim dan Tirmidzi)
Oleh karena itu, Abu Hurairah, dalam upaya mengoptimalkan pemuliaan terhadap ibunya dan mempergaulinya dengan baik, tidak menunaikan ibadah haji sampai ibunya wafat.

Dahulukan Bakti dari Mengunjungi Rasulullah
Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa Uwais Al-Qarni adalah seorang hamba Allah yang zuhud, taat beribadah dan sibuk melayani (berbakti) kepada ibunya, sehingga tidak semput berkunjung kepada Nabi walau hanya sekali, karena begitu besar hajat ibunya kepadanya. Semoga Allah menganugrahiku dan Anda seperti kesempurnaan baktinya kepada orang tua.
Dari Usair bin Jabir rahimahulullah, ia berkata, “Ketika datang sekelompok penduduk Yaman kepada ‘Umar ibnul-Khathab, beliau bertanya kepada mereka, ‘Apakah diantara kalian terapat Uwais bin’Amir?’ ‘Umar mendekati orang yang dicari, lalu bertanya, ‘Apakah Anda yang bernama Uwais bin ‘Amir?’ Uwais menjawab, ‘Ya.Benar.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Anda berasal dari Murad, tepatnya dari Qarn?’ Uwais menjawab, ‘Ya.Benar.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Anda pernah punya penyakit kusta, dan telah sembuh kecuali tinggal sebagian sebesar dirham?’ Uwais pun menjawab, ‘Ya.’ ‘Umar bertanya lagi, ‘Apakah anda mempunyai seorang ibu?’ Jawabnya, ‘Ya. Benar.’ ‘Umar berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
‘Akan datangkepadamu Uwais bin ‘Amir bersama serombongan penduduk Yaman, berasal dari Murad, dan tepatnya dari Qarn. Dia pernah menderita penyakit kusta, kemudian sembuh kecuali tinggal sebesar dirham. Ia masih mempunyai seorang ibu, dan ia sangat berbakti kepadanya, Seandainya dia bersumpah kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, pasti dikabulkan. Jika kamu bisa membuat Uwais bersedia memohonkan ampun untukmu, lakukanlah,’
Sekarang mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais pun menuruti permintaan ‘Umar. Selanjutnya ‘Umar bertanya, ‘Andan mau kemana?’ Ia menjawab, ‘Mau ke Kuffah.’ ‘Umar mengajukan tawaran, ‘Bolehkah aku berkirim surat kepada penguasa Kuffah untuk menyambutmu?’ Uwais menjawab, ‘Tidak perlu, aku lebih suka berbaur dengan orang banyak.’”
Pada musim haji berikutnya, salah seorang tokoh penduduk Yaman menunaikan ibadah haji. Ketika bertemu dengan ‘Umar, ia ditanya tentang Uwais. Ia mejawab, ‘Uwais adalah seorang yang miskin. ‘Umar berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Akan datan gkepadamu Uwais bin ‘Amir bersama rombongan penduduk Yaman, berasal dari Murad, tepatnya dari Qarn. Ia pernah menderita penyakit kusta, kini telah sembuh kecuali tinggal sebagian kecil sebesar dirham. Ia masih mempunyai seorang ibu, da sangat berbakti kepadanya. Andaikan ia bersumpah kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, pasti dikabulkan. Apabila kamu bisa membuat Uwais bersedia memohonkan ampun untukmu, maka lakukanlah.’
Orang Yaman itu lalu menemui Uwais, ‘Mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais berkata, ‘Anda tentu baru usai melakukan perjalanan yang baik, sehingga anda berkata seperti itu.’ Orang Yaman itu berkata lagi, ‘Mohonkanlah ampun untukku. ‘Uwais bertanya lagi, ‘Anda bertemu dengan Umar?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Uwais lalu memohonkan ampun untuknya. Saat itulah orang banyak baru mengerti siapa Uwais sebenarnya. Dan Uwais pun akhirnya menjadi perhatian mereka.”
Aku memakaikan kain burdah padanya. Setiap orang yang melihatnya bertanya-tanya, darimana Uwais mendapat kain burdah itu?” (H.R. Muslim)
Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa ‘Umar Ibnul-Khatab mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in ialah seorang yang bernama Uwais. Ia mempunyai seorang ibu. Ia sendiri menderita penyakit kusta. Temuilah ia, dan mintalah kepadanya agar ia bersedia memohonkan ampun buat kalian.” (H.R Musim)

Dahulukan Bakti dari Mencintai Anak
Ada sebuah kisah menark dalam shahihain dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhuma, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pada zaman dahulu, ada tiga orang sekawan mengadakan perjalanan. Dan mereka kemalaman dijalan, lalu memutuskan untuk bermalam di sebuah gua yang tidak jauh dari situ. Setelah mereka masuk kedalam gua, tiba-tiba jatuhlah batu besar dari puncak gunung, menggelinding dan berhenti tepat di mulut gua itu. Mereka tidak dapat meneruskan perjalanan karena terhalang oleh batu tersebut. Salah seorang dari mereka berkata lirih penuh kesedihan, ‘Kita tidak akan dapat keluar dengan selamat dari gua ini, kecuali memohon keselamatan kepada Allah dengan perantaraan amal kebaikan yang pernah kita perbuat.’
Salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, sungguh aku mempunyai ibu-bapak yang telah lanjut usia. Setiap hari aku menggembala kambing dan memeras susunya untuk keduanya. Setelah mereka puas barulah aku beri minum sanak saudaraku. Suatu hari saya terlambat datang, keduanya telah tertidur lelap. Saya tak ingin mengganggu mereka berdua, dan kubiarkan mereka tertidur pulas. Sementara itu anak-anakku merintih di kakiku meminta minum karena kehausan. Dengan sedih aku memandangi mereka, danaku tetap menunggu sampai ibu-bapakku bangun, hingga fajar tiba. Ya Allah, jika amalan itu aku lakukan demi mengharap ridla-Mu, maka keluarkan kami dari gua ini dengan selamat.’ Tiba-tiba batu pun bergeser sedikit, langit pun mulai bisa mereka lihat, namun bisa untuk keluar.
Lalu yang kedua berdo’a dengan suara lirih pula, ‘Ya Allah, saya mencintai seorang gadis anak pamanku. Cintaku amat menggebu, lazimnya seorang laki-laki yang mencintai pujaannya. Ia berkata kepadaku, ‘Kamu tak bisa menyuntingku sebelum memberi uang sebesar 100 dinar,’ Dengan susah payah, aku pun mengusahakannya dan kuberikan padanya. Namun, setelah itu sang gadis berkata lagi kepadaku, ‘Kamu takkan bisa menggauliku sebelum memenuhi persyaratan yang kupinta.’ Dengan sedih aku meninggalkannya. Ya Allah, kalau amalan itu aku lakukan demi mengharap ridlamu, maka keluarkanlah kami dari dalam gua ini.’ Lalu batu itu pun bergeser lebih lebar lagi, namun tetap belum bisa memberi jalan keluar.
Kemudian orang yang ketiga berdo’a, ‘Ya Allah, saya memakai tenaga buruh, dan semuanya telah saya bayar dengan cukup. Kecuali bagi orang yang pergi begitu saja tanpa pamit. Lalu uang gajinya itu saya masukkan ke dalam penyertaan modal agar berkembang. Pada suatu hari ia datang dan meminta upah kerjanya yang dahulu, katanya, ‘Wahai hamba Allah, penuhilah permintaan gajiku.’ Lalu aku katakan kepadanya, 'Semua apa yang kau lihat disini, termasuk onta, sai, kambing, dan budak, semuanya itu dari hasil dari kerjamu dulu. Ambillah, untukmu.’ Ia termangu seakan-akan tek percaya, lalu berkata, ‘Wahai hamba Allah, kamu jangan memperlok-olokku.’ Saya pun meyakinkannya, ‘Sungguh saya tidak memerolok-olokmu. Ambillah semuanya, ini serius.’ Demikianlah, ia bawa semuanya, tanpa meningalkan seekor pun untukku. Ya Allah, kalau aa yan gaku perbuat itu demi mengharap ridla-Mu, lepaskanlah kami dari dalam gua ini.’
Akhirnya, batu besar yang menutupi gua itubergeser lagi sehingga mereka bisa keluar dan meneruskan perjalanannya, setelah tertunda beberapa saat oleh batu besar yang menutupi gua tempat mereka bermalam.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Dahulukan Bakti dari Ibadah Sunah
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu (dan berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata:
“Ada seorang ahli ibadah bernama juraij, penghuni sebuah biara tempat ia beribadah. Suatu ketika ibunya memanggilnya, padahal ia sedang shalat. Ibunya berkata, ‘Wahai Juraij!’ Juraij pun berkata (dalam hatinya), Ya Allah, ibuku atau shalatku.’ Dia pun mementingkan shalatnya. Ibunya mengulangi seruannya, ‘Wahai Juraij!’ Namun, Juraij masih dalam kondisi ragu antara menjawab panggilan ibunya dan tetap shalat. Dia tetap mementingkan shalatnya.
Ibunya semakin marah karena panggilannya tak dihiraukan, lalu sekali lagi memanggilnya dengan teriakan yang lebih keras. Namun, masih juga tidak dihiraukan karena bimbang memutuskannya.
Merasa dilecehkan panggilannya, maka ibunya mengutuk dengan kata-kata kasar, lalu mengadu kepada Allah , ‘Ya Allah, Juraij adalah anakku; aku telah memanggilnya samai tiga kali, namun dia tak menghiraukanku dengan tetap meneruskan shalatnya.’ Akhirnya dalam kekecewaan yang berat, dia berkata, ‘Ya Allah, jangan engau cabut nyawanya sebelum dia mendapat fitnah besar yang disebabkan oleh perbuatan seorang wanita pelacur.’
Suatu hari seorang pengembala berteduh di biara Juraij yang letaknya jauh terpencil dari keramaian. Tiba-tiba datang seorang wanita dari sebuah dusun dan berteduh ditempat itu juga. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga membuahkan seorang bayi. Ketika ditanya oleh orang-orang tentang bapak dari anak tersebut, pelacur itu mengatakan, ‘Hasil hubungannya dengan Juraij; dialah bapaknya.’ Lalu orang-oran gberamai-ramai mendatangi Juraij, dan menyerbu biaranya, sementara Juraij sedang shalat. Ada yang membawa kampak, linggis, dan lainnya. Mereka berteriak-teriak memanggil Juraij yang sedang shalat itu. Tentu saja Juraij tidak meladeni mereka. Mereka pun menghancurkan biaranya. Lalu Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij, ‘Tanyalah bayi ini,’ Juraij tersenyum sambil mengusap kepala bayi tersebt, lalu bertanya kepadanya, ‘Siapa bapakmu yang sebenarnya?’ Tiba-tiba bayi itu menjawab (ajaib sekali), ‘Bapakku adalah si penggembala kambing.’ Mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, masyarakat rama terlihat menyesal. Mereka lalu berkata, ‘Kami akan membangun kembali biaramu yang kami robohkan dengan emas dan perak.’ Namun Jurai berkata, ‘Tidak perlu, kembalikan saja bangunan itu sebagaimana semula.’ Kemudian juraij meninggalkan sekerumunan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ketika mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Ibnu Baththal berkata, ‘Penyebab ibu Juraij mendo’akan anaknya adalah, karena Juraij tetap saja melanjutkan shalatnya, dan sang ibu merasa diabaikan haknya. Padahal, menyahut seruhan dalam shalat, dibolehkan menurut syari’at mereka.’
Al-Hasan bin Sufyan dari Jalan Al-Laits dari Yazid bin Hausyab dari ayahnya, ia berkata, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Andaikan Juraij mengetahui (hukum tentnag bolehnya menyahut seruan dalam shalah) tentu dia memenuhi panggilan ibunya, karena hal itu lebih utama dia lakukan sebagai hamba Allah.”


MENUJU SURGA LEWAT BERBAKTI KEPADA ORANGTUA (KE-3, TERAKHIR).
BAB 2. ASAS BERBAKTI SETELAH IBU-BAPAK WAFAT

Pada bagian pertama, telah kami jelaskan asas-asas birrul-walidain pada saat mereka masih hidup di tengah anak-anaknya, yaitu tiga belas.
Asas yang menjadi pijakan bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Semua asas tersebut diambil dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersumber dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, maupun peristiwa yang terjadi dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Kami berharap, kiranya ibu-ibu dan bapak-bapak, yang setiap harinya disibukkan oleh berbagai pekerjaan duniawiyah, menyisihkan waktunya secara rutin untuk mendengar fatwa-fatwa ulama’ atau untuk membaca buku-buku keislaman umumnya, dan khususnya tentang hidup berumah tangga menurut islam, tentang bagaimana membentuk kepribadian anak-anak menurut tarbiyah Rasulullah dan manhaj terbawi rabbani, agar kita berbahagia di dunia dan akhirat, dan dijauhkan dari api neraka, lalu dimasukkan ke surga-Nya bersama anggota keluarga, para Nabi, para Rasul, syuhada’ dan shalihin.
Pada pembahasan berikut ini, kami akan menguraikan asas-asas birul-walidain setelah kedua orang tua kita, atau salah satu dari mereka mendahului kita, berpulang ke rahmatullah. Ada sembilan asas yang peru diperhatikan, yaitu:

2.1 Tunaikan Janji dan Wasiat Ibu Bapak
Ketika orang tua masih hidup atau ketika dalam pembaringan (sakit), ada kalanya memberkan wasiat atau janji-jani, baik untuk anak-anaknya atauupun untuk orang lain. Namun, sebelum janji itu dilaksanakan, ajal telah menjemputnya. Dalam kondisi demikian, maka ahli warisnya sepatutnya melaksanakan jani atau wasiat tersebut.
Dari Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafi radliyallahu’anhu radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa ibunya berwasiat kepadanya agar membebaskan budak mu’minah. Ia pun datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, ibuku telah berwasiat agar aku membebaskan budak mu’minah; dan aku memiliki seorang budak wanita hitam Nubiyyah (Sudan), apakah aku boleh membebaskannya (untuk memenuhi wasiat ibuku)?” Lalu Nabi bersabda, “Panggillah dia.” Ia pun memanggilnya, kemudian budak itu datang menghadap Nabi. Lalu Nabi bertanya kepadanya, “Siapa Rabbmu?” Ia menjawab, “Allah.” Rasul bertanya lagi, “Siapakah aku ini?” Jawabnya, “Rasulullah.” Kemudian Nabi bersabda, “”Bebaskanlah dia, sesungguhnya dia adalah mu’minah.” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dari Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi radliyallahu’anhu, ia berkata, “Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datang seorang laki-laki dari Bani Salamah, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, adakah sesuatu yang dapat kulakukan untuk berbakti kepada ibu-bapakku setelah mereka meninggal dunia?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
‘Ya, ada, yaitu: mendo’akan keduanya, memohonkan ampun untuk keduanya, menunaikan janji keduanya (yang belum mereka laksanakan), menghubungkan tali rahim yang tidak bisa terhubung kecuali melalui keduanya, serta memuliakan teman-teman keduanya.’ (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

2.2 Do’akan dan Mohonkan Ampun untuk Ibu-Bapak
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh, Allah ‘Azza wa Jalla menaikkan peringkat hamba yang shalih di surga. Lalu ia berkata (keheranan), Ya Rabbku, bagaimana saya bisa mendapatkan tempat ini?’ Allah menjawab, ‘Karena permohonan ampun anakmu untuk dirimu.’” (H.R. Ahmad dan Thabrani dalam Al-Ausath)
Dari Anas bin Malik radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, seorang hamba ditinggal oleh salah satu atau kedua orang tuanya, sedang dia dalam keadaan durhaka. Namun, sang anak senantiasa berdo’a dan memohon ampun untuk keduanya, sehingga Allah menetapkan sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.” (H.R. Baihaqi dalam Syu’abul-Iman)
Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu radliyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,”Apabila anak Adammeningga dunia, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga sumber (yaitu): shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (H.R. Bukhari; Muslim; dan Abu Dawud)

2.3 Peliharalah Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwasanya ada seorang badui yang dijumpainya di jalan menuju Mekah. ‘Abdullah (Ibnu ‘Umar) mengucapkan salam kepadanya, menyilakan orang badui tersebut menaiki keledai keledai yang dikendarainya, dan memberinya sorban yang dipakainya. (Melihat kejadian tersebut), Ibnu Dinar berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Mudah-mudahan Allah membalas budi baikmu itu. Mereka adalah orang-orang badui, dan mereka itu sudah senang dengan jasa yang sedikit.” Lalu Ibnu ‘Umar berkata, ‘Aku berbuat begitu karena ayah orang itu teman akrab (ayahku), Umar Ibnu Khaththab radliyallahu’anhu; dan saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya bakti terbaik (seorang anak kepada orang tuanya) adalah menjalin hubungan dengan keluarga teman baik ayahnya.” (H.R. Muslim; Ahmad; Bukhari; Abu Dawud; dan Tirmidzi)
Dari Abu Burdah, ia berkata, “Saya datang ke Madinah, lalu ‘Abdullah Ibnu ‘Umar datang kepadaku seraya berkata, ‘Tahukah Anda mengapa aku mendatangimu?’ ‘Tidak tahu,’ jawabku. Lalu Ibnu ‘Umar menjelaskan, ‘Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menjalin hubungan dengan ayahnya yang telah wafat, maka hendaklah ia menjalin hubungan dengan saudara-saudara/teman baik ayahnya, setelah ayahnya wafat. Kebetulan antara Umar Ibnul-Khathtab (ayahku) dan ayahmu telah terjalin persaudaraan, maka saya ingin melanjutkan hubungan persaudaraan yang baik ini.” (H.R. Abu Ya’la. Lihat Silsilatul-Ahaditsish-Shahihah, nomor 1433)
Di Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Peliharalah teman-teman akrab ayahmu dan janganlah engkau memutuskan hubungan itu, sehingga Allah memadamkan cahayamu.” (H.R. Thabrani, dalam Al-Ausath, Sanadnya hasan menurut Al-Haitsami di dalam Al-Majma, VIII:147)
Tentu, yang harus anda perhatikan dalam hal pentingnya menjalin hubungan baik dengan teman-teman akrab ayah adalah, harus tetap berdasarkan kadah syar’i. Misalnya, bukan teman-teman dalam mafia, atau persekongkolah politik untuk mempertahankan kedudukan/kekuasaan. Sebab, jalinan semacam ini termasuk persekogkolan dalam mendukung kezhaliman. Dan jika hal ini dilakukan secara sadar dan atas dasar pengetahuan, maka bisa menyebabkan kekufuran.
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang berjalan bersama orang zhalim, padahal dia mengetahui bahwa temannya itu zhalim, maka ia telah keluar dari Islam (H.R. Thabrani, lihat:Tafsir Ibnu Katsir,II:7)
Yang perlu diteladani adalah upaya “sahabat-sahabat kecil” (seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar sebagaimana tersebut pada hadits diatas) yang ditinggal ayah mereka, dalam menjalin hubungan denan teman-teman ayah mereka. Dan ini hanya akan terjadi jika prinsip-prinsip ukhuwah imaniah, atau kehidupan berjama’ah telah tertanam pada diri kita dan keluarga kita.

2.4 Shadaqah untuk Ibu-Bapak
Dari ‘Abdullah Ibnu Abbas radliyallahu’anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sungguh, ibuku telah meninggal, apakah bermanfaat sekiranya aku bershadaqah untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” Lalu orang taersebut berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai kebun; aku persaksikan kepadamu bahwa kebun itu aku shadaqahkan untuk ibuu.” (H.R. Bukhari; Abu Dawud; Nasa’i)
Dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh, ibuku telah meninggal mendadak, dan aku yakin, andaikan dia sempat berbicara (denganku), tentu akan bershadaqah. Apakah berpahala jika aku bershadaqah untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” (H.R. Jama’ah, kecuali Tirmidzi; Ibnu Khuzaimah, dalam Shahihnya, IV:124)
Ath-Thabrani, di dalam Al-Ausath meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seseorang ya gingin bershadaqah untuk kedua orang tuanya, bila kedua orang tuanya itu muslim, maka keduanya mendapat pahala, dan dia sendiri juga memperoleh pahala yang sama tanpa mengurangi pahala kedua orang tuanya sedikit pun.”
Dari Sa’id bin ‘Amru bin Syurahbilbin Sa’d bin ‘Amru bin Syurahbil bin Sa’d bin ‘Ubadah, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Sa’d bin Ubadah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah peperangan, sementara ibunya hampir meninggal (sekarat) di Madinah. Lalu dikatakan kepadanya, “Berwasiatlah.” Sang ibu berkata, “Apa yang mesti aku wasiatkan? (sedangkan) harta (ini) milik Sa’d.” Kemudian dia pun wafat sebelum Sa’d datang. Setelah Sa’d datang, disampaikanlah pesan wasiat tadi kepadanya. Lalu Sa’d berkata, “Ya Rasulullah, apakah bermanfaat bagi ibuku, bila aku bershadaqah untuknya?” “Ya,” jawab Nabi. Kemudian Sa’d berkata, “Kebun ini dan itu, aku shadaqahkan untuknya.” (H.R. Imam Malik dan Nasa’i)
Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa shadaqah teraik untuk kedua orang tua adalah air.
Dari Sa’d bin ‘Ubadah radliyallahu’anhu, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, ibuku telah meninggal, maka shadaqah apa yang paling utama?’ Nabi menjawab, ‘Air.’ Lalu dia menggali sumur, seraya berkata, “(Pahala dari) sumur ini untuk ummi (Ibu) Sa’d.’” (H.R. Abu Dawud dan Nasa’i)

2.5 Haji untuk Ibu-Bapak
Dari Anas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata:
‘Sesungguhnya ayahku meninggal, sedangkan dia belu menunaikan haji menurut Islam.’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu jika ayahmu punya hutang, apakah kamu akan melunasinya?’ Jawabnya, ‘Ya.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya (niat) haji itu adalah hutang dia (kepada Allah), maka tunaikanlah olehmu.’” (H.R. Al-Bazzar; Ath-Thabrani, dalam Al-Ausath dan Al-Kabir, sanadnya hasan menurut Al-Haitsami, dalam Al-Majma’, III:282)
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Fulan Al-Juhani berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku meninggal dan dia itu seorang yang tua usia (manula), belum menunaikan haji atau tidak mampu berhaji.’ Nabi berkata, ‘Tunaikan haji untuk ayahmu.’” (H.R. Ibnu Khuzaimah, dalam shahihnya, IV:343)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menunaikan haji untuk ayah dan ibunya, maka dia telah menunaikan (hutang) haji ayah dan ibunya, dan dia mendapatkan keutamaan sama dengan sepuluh kali menunaikan haji.” (H.R. Daruquthni, II:260)

2.6 Bergegas Melakukan Amal Shalih demi Menyenangkan Orang Tua
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah:105)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir rahimahulullah mengatakan, “Sesungguhnya peruatan orang hidup itu diperlihatkan kepada orang-orang mati dari kalangan kerabat dan keluarga mereka, di alam barzakh.” Kemudian beliau menyebutkan hadits berikut ini, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ath-Thayalisi berikut sanadnya:
Dari Jabir radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:
“Sesungguhnya amalan-amalan kamu diperlihatkan kepada karib kerabat dan keluargamu yang telah meninggal. Jika amalan itu baik, mereka pun gembira dengannya. Dan Jika tidak baik, maka mereka berkata (berdo’a), ‘Ya Allah berilah ilham kepada mereka agar mereka beramal dengan menaatimu.’”
Ibnu Katsir juga menytir hadits dari Imam Ahmad berikut sanadnya, yang berasal dari Anas radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:
“Sesungguhnya amalan-amalan kamu diperlihatkan kepada karib kerabat dankeluargamu yan gtelah meninggal, jika amalan itu baik, mereka pun gembira dengannya. Dan jika amalan itu tidak demikian (jelek), maka mereka berkata (berdo’a), ‘Ya Allah, janganlah mereka dicabut nyawanya sebelum engkau memberi hidayah kepada mereka, seperti yang engkau berikan kepada kami.’”
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Amalan seseorang itu diperlihatkan kepada Allah subhanahu wa Ta’ala pada hari Senin dan Kamis; sedangkan kepada para Nabi, bapak-bapak dan bu-ibu mereka, pada hari Jum’at. Dan mereka pun bergembira dengan amal kebaikan mereka (yang masih hidup), dan wajah-wajah mereka brtambah cerah serta bersinar. Maka, hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan jangan menyakiti (orang tua atau keuargamu) yang telah meninggal.” (H.R. Al-Hakim dan Tirmidzi, dari Walid ‘Abdul-Aziz)

2.7 Ziarahi Kubur Ibu-Bapak
Salah satu wujud bakti seorang anak terhadap kedua orang tuanya setelah mereka meninggal, baik kedua-duanya atau salah satu darinya, adalah menziarahi kubur mereka.
Ziarah ke kubur orang mu’min adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selamu bukan untuk tujuan pemujaan, kultus, berdo’a kepada si mayit, atau hal-hal yag bisa mengakibatkan kemusyrikan.
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubu ibunya, lalu menangis sehingga orang-orang yang ada di sekelilingnya ikut menangis. Kemudian beliau berkata:
Aku mohon izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, namun Allah tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, Dia pun mengizinkan. Oleh karena itu, berziarahlah kalian ke kubur-kubur, sebab ziarah kubur itu mengingatkan kematian.” (H.R. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. (Kini) Allah telah mengizinkan kepada Muhammad menziarahi kubur ibunya, maka silakan kalian menziarahinya, sebab ziarah kubur itu mengingatkan kepada akhirat.” (H.R. Tirmidzi, hadits hasan shahih)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya dengan kepala terbungkus kain, dan beliau belum pernah terlihat menangis melebihi tangisnya pada saat itu.”(H.R. Hakim, dalam Al-Mustadrak,II:375, shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

2.8 Laksanakan Sumpah Ibu Bapak
Sering kaita jumpai dalam kehidupan rumah tangga, orang tua bernadzar, namun sebelum nadzarnya dilaksanakan, dia meninggal. Atau orang tua bersumpah untuk melaksanakan amal shalih, namun tak kesampaian karena meninggal.
Dari ‘Abdurrahman bin Samurah, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa melaksanakan sumpah kedua orang tua dan melunasi hutang keduanya, serta tidak memaki-maki keduanya, maka dia tercatat sebagai orang yang berbakti, sekalipun dia itu durhaka ketika orang tuanya masih hidup. Dan barangsiapa tidak melaksanakan sumpah keduanya, tidak melunasi hutangnya, dan memaki-makinya, maka tercatat sebagai orang yang durhaka kepada orang tua, sekalipun dia itu berbakti kepadanya pada masa hidup mereka.” (H.R. Ath-Thabrani, dalam Al-Ausath, dan di dalam Al-Majma’, VIII:147, Al-Haitsami tidak berkomentar tentang sanadnya)

2.9 Shaum (Puasa) untuk Ibu-Bapak
Dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata, “Seseorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai tanggungan shaum dua bulan.’ Lalu Rasulullah berkata, ‘Laksanakan shaum untuknya.’ Wanita itu berkata, ‘Ibuku mempunyai hutang haji.’ Nabi menjawab, “Tunaikan haji untuknya.’ Wanita itu berkata lagi, ‘Sungguh, aku akan bershadaqah untuknya dengan seorang budak wanita.’ Nabi menjawab, ‘Allah telah memberi pahala untukmu dan kamulah yang berhak menggunakan harta waris.” (H.R. Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, IV:137; Muslim, Mengqagla’ Shaum Mayit)

PENUTUP
Anak sebagai buah dan permata hati atau qurratu’ain dalam rumah tangga muslim, tentu kehadirannya diharapkan menjadi penyejuk, menambah keindahan suasana rumah tangga, dan mendatangkan rezeki serta limpahan kasih sayang bagi kedua orang tuanya. Hanya ada satu jalan yang bisa mewujudkan suasana rumah tangga muslim seperti itu, yaitu mendidik anak-anak dengan manhaj tarbawi nabawi(sistim pendidikan Nabi).
Sangat dianjurkan, seorang calon suami mencari calon istri yang “subur” dan “penyayang” (al-waludul-wadud), dan setiap pasangan keluarga muslim memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dianugerahi anak keturunan.
Anak dapat membuat suasana keluarga muslim menjadi indah, walau kehadirannya merupakan amanat dan ujian bagi orang tuanya.
Allah berfirman:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia .”(Al-Kahfi:46)
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).”(Al-Furqan:74)
Jika orang tua berhasil mendidik dan mengasuh anak-anaknya menurut manhaj rabbani, kelak di akhirat anak-anak akan menjadi “tanaman wangi” bagi orang tuanya di surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Anak-anak merupakan ‘tanaman wangi’ surga.” (H.R. Tirmidzi, dari Khaula binti Hakim)
Bagi pasangan muda, hendaknya memohon kepada Allah untuk disegerakan memiliki anak keturunan, bukan sebaliknya, menunda-nunda datangnya keturunan. Memohonlah kepada Allah sebelum Dia murka kepadamu, lantaran sengaja menunda-nunda (kelahiran anak) dengan alat-alat kontrasepsi tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Bahkan, Allah mengabulkan do’a seorang shalih yang menginginkan keturunan, sekalipun istrinya seorang yang mandul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".
(Maryam:5-6)
Kita memang percaya adanya taqdir, namun kita tidak diberi tahu, taqdir yang bagaimana yang ditetapkan pada kita, apakah kita termasuk orangyang dianugerahi anak atau tidak. Oleh karena itu, orang tua tetap dianjurkan untuk berusaha dan berikhtiar guna mempertemukannya dengan taqdir yang tertulis di sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
Maka,campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.”(Al-Baqarah:187)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikirimi bantuan berupa malaikat gunung, yaitu tatkala beliau dianiaya oleh Bani Tsaqif, malaikat menawarkan bantuan kepada beliau berupa siksaan langsung dengan ditumbangkannya gunung-gunung, sehingga kaum musyrik penganiaya itu pun musnah. Namun Nabi menjawab, “Mereka jangan dimusnahkan. Barangkali, dengan tetap hidupnya mereka, akan lahir dari mereka generasi /keturunan yang mengadi kepada Allah dan tidak menyekutuan-Nya dengan sesuau apapun.”
Menikah dan melestarikan keturunan termasuksunnah Rasulullah yang mulia. Bahkan, tujuan esensi dari pernikahan adalah untuk melestarikan keturunan.
Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu berkata, “Andaikan aku tahu sepuluh hari lagi akan mati, tentu hari ini juga aku akan menikah. Sebab, aku tida ingin menemui Allah Ta’ala dalam keadaan membujang.”
Imam Ahmad, setelah istrinya meninggal dunia, dua hari kemudian segera menikah lagi. Katanya, “Saya tidak ingin menemui Allah kelak dalam keadaan membujang.”
Hanya orang bodohlah yang menikah tanpa menginginkan keturunan, atau membatasi keturunan, padahal mampu dari segi materi dan mental.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berabda, “Tidak seorang pun dari kalian yang memiliki tiga orang anak yang meninggal dunia, melainkan anak-anaknya itu menjadi hijab baginya dari api neraka.” Salah seorang dari mereka bertanya, “Bagaimana kalau hanya dua anak?” Maka beliau menjawab, “Meskipun hanya dua anak.”
Untuk itu, orang tua wajib mendidik anak-anaknya. Dan kesibukan duniawi yang menyita waktu banyak, tidak boleh dijadikan alasan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab mendidik anak.
Bahkan, pemberian terbaik oran gtua kepada anak adalah mendidik, membekali mereka untuk siap menghadapi kehidupan dunia dan akhirat.
Anas bin Malik radliyallahu’anhu berkata, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang menanggung (memelihara) dua orang wanita hingga aqil baligh, maka orang itu akan datang di hari kiamat, saya dan dia seperti ini, sambil merapatkan kedua jarinya, tanda dekatnya keduanya di dalam surga.” (H.R. Muslim)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radliyallahu’anhu, katanya, “Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mempunyai tida orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam mengasuh, memberi makan dan minum serta pakaian kepada mereka, baik dalam susah maupun keluasan, maka anak-anak itu akan menjadi dinding penyekatnya dari api neraka.” ((H.R. Ahmad, dalam Musnadnya)