TAFSIR AL FATIHAH BAG.5 (01/5), oleh mutawalli
TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (01/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.1 Memohon Petunjuk ke Jalan yang Lurus
Ketika pujian dan sanjungan dipersembahkan kepada Allah Ta’ala, memang sudah seharusnya pujian ditujukan sebelum permintaan diajukan sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi sebagai berikut: “Maka setengahnya untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku adalah apa-apa yang ia minta”. Ini merupakan kesempurnaan keadaan orang yang meminta agar ia menyanjung dan memuji Yang Dimintanya, baru kemudian meminta yang diperlukannya.
Adapun kebutuhan orang-orang yang beriman itu adalah sebagaimana yang difirmankanNya: “Tunjukilah kami ke jalan(Mu) yang lurus”. Dalam ayat ini terdapat dalil yang menganjurkan kita ber-tawassul melalui sifat-sifat Allah dan melalui amal shalih.
Sebelum seseorang meminta jalan yang lurus (Shiratul Mustaqim), ia terlebih dahulu memuji Allah dan menyanjung-Nya serta memuliakan sifat-sifatNya, Rabbil ‘Alamin’ Ar Rahman, Ar Rahim, Maliki Yaumididin, kemudian mengesakan-Nya dengan ibadah dan Isti’anah (dalam beribadah dan memohon pertolongan). Realisasi pernyataan Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’iin melalui ketaatan dan amal shalih serta mensyukuri segala anugerah dan kenikmatanNya menjadi tawassul yang disyariatkan dalam meminta petunjuk ke jalan yang lurus dari Allah yang kesempurnaanNya terncermin dalam Rububiyah dan asma serta sifatNya. Shiratul Mustaqim (Jalan Lurus) yang diminta orang-orang mukmin kepada Allah itu tidak lain Al Islam yang terbebas dari tambahan dan kekurangan, bersih dari setiap bid’ah dan hurafat.[1]
Jalan ini jalan terdekat (pintas) menuju kecintaan Allah dan ridla-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintahkan kepada hambaNya.
Shiratal Mustaqim adalah jalan satu-satunya yang ditempuh oleh seluruh rasul Allah. Jalan-jalan lainnya di luar itu adalah menyimpang, sesat dan menyesatkan. Mengingat pentingnya jalan ini, banyak ayat yang menyifati jalan itu dengan sifat yang terpuji, yaitu Istiqamah (lurus), seperti firmanNya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al Fatihah: 6). Sifat istiqamah ini membuahkan hasil sebagai cahaya yang mampu mengenali seluruh jalan yang ada (selainnya).
Di dalam hadis Ibnu Mas’ud ra dikatakan:
“Rasulullah SAW menggoreskan dengan tangannya sebuah garis, lalu dia mengatakan:’Ini adalah jalan Allah yang lurus’. Dan kemudian dia menggoreskan lagi beberapa garis pada sebelah kanannya dan kirinya, lalu dia berkata: ‘Jalan-jalan ini adalah jalan yang ditempuh syaitan dan kepadanyalah syaitan itu mengajak’. Kemudian dia membaca ayat:
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa’ (Al An’am: 153)”.[2]
Telah disebutkan bahwa permohonan memperoleh jalan yang lurus, yang didahului dengan pujian, sanjungan, dan pengagungan kepada Dzat Yang Diminta, juga didahului oleh amal saleh yang tercermin dalam ayat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin hingga ayat Iyyaaka Na’budu Wa Iyyaaka Nasta’iin, menjadi dalil yang membolehkan seorang mukmin bertawasul melalui keimanan dan amal salehnya.
Kita perhatikan, misalnya, ketika Nabi Yunus ditelan seekor ikan Hut (hiu?). Nabi Yunus tidak memperoleh tawasul dari Allah kecuali dengan mentauhidkan-Nya, mensucikan-Nya, dan mengakui kesalahan dan dosa yang disebutkannya sebagai ‘menzalimi dirinya sendiri’. Oleh karena itu, pernyataan dosa dan penyesalan terhadap apa yang diperbuatnya adalah untuk memperoleh pengampunan dari-Nya. Sementara, dia tahu bahwa taubat merupakan induk dari amal saleh yang diterima Allah sebagai sarana menuju maghfirah (ampunan). Perhatikan apa yang dilakukan Nabi Yunus dalam bertawasul untuk memperoleh keselamatan dan ampunan dari Allah: “Tidak ada Ilah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang menzalimi” ( ).
Begitu pula Adam dan Hawa ketika melakukan kesalahan dan dosa. Mereka berdua, ketika mengharap ampunan dari Allah, mendahulukan pengakuan dosa dan penyesalannya atas kezaliman pada dirinya. Pernyataan ini mereka jadikan sebagai wasilah memperoleh pengampunan-Nya. Allah berfirman:
“Mereka berdua berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, tentu kami akan tergolong orang-orang yang merugi’” ( ).
Tidak diragukan lagi bahwa iman kepada Allah dan Rasulullah merupakan inti amal saleh. Setelah itu, mereka menyampaikan (menyebutkan) amal saleh yang pernah diperbuatnya kepada Allah. Segeralah mereka menyebutkan segala yang menjadi hajat mereka untuk meminta ampunan. Lalu mereka berdoa: “…Ya Rabb kami, maka ampunilah kami atasd dosa-dosa kami, dan hapuskanlah kejelekan-kejelekan kami,dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik”( ).
5.2 Tawasul Masyru’ dan Tawasul Bid’ah
Sebelumnya telah disebutkan beberapa contoh tawasul Masyru’ (tawasul yang disyariatkan), yaitu melalui keimanan kepada Allah dan RasulNya, amal saleh, dan pernyataan kesalahan dan penyesalannya, sebelum menyampaikan hajatnya (misalnya, memohon ampunan) kepada Allah SWT).
Untuk lebih jelasnya, kami ingin menukil keterangan tentang tawasul ini dari salah seorang pakar aqidah dari ulama Ahlus Sunah Wal Jama’ah, yaitu Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Buraikan, penulis kitab Al Madkhal Lidirasah al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau mengatakan bahwa kata ‘tawasul’ dalam bahasa Arab berarti taqarrub atau mendekatkan diri. Misalnya yang difirmankan Allah:
“…Mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka…” (Al Isra: 57).
Maksudnya, jalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Rabb mereka. Dengan pengertian ini, tawasul dibagi dua, yaitu
Pertama, tawasul masyru’ (disyariatkan), yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridlai Allah, misalnya dengan ibadah-wajib dan sunat, baik berupa perkataan maupun perbuatan atau keyakinan.
Kedua, tawasul ghair masyru’ (tidak disyariatkan), yaitu taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridlai, baik dengan perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Inilah yang disebut dengan tawasul bid’ah.
Yang dimaksud di sini adalah taqarrub kepada Allah dengan serangkaian doa yang dapat dikabulkan. Dengan batasan ini, tawasul bid’ah mempunyai beberapa jenis, yaitu:
1. Tawasul kepada Allah dengan berdoa dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau gaib atau semacamnya. Ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentangan dengan tauhid, dan menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
2. Tawasul kepada Allah dengan melakukan berbagai ketaatan pada kuburan orang yang telah mati, misalnya, mendirikan bangunan di atas kuburan itu, atau menutupnya (sejenis tenda?), atau berdoa di atasnya, atau semacamnya. Ini digolongkan ke dalam syirik kecil.
3. Tawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan orang-orang tertentu yang saleh di sisi Allah. Ini diharamkan oleh ajaran Islam sebab perbuatan seseorang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah. Allah berfirman: “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh apa-apa selain dari apa yang telah diusahakannya” (An Najm: 39). Rasulullah bersabda: “Bila anak cucu Adam telah mati maka terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dapat dimanfaatkan, anak saleh yang selalu mendoakannya” (Muttafaq ‘alaih).
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat baginya sendiri, tidak bagi orang lain. Kesalahan besar menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperoleh sang objek atau sang perantara, kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridlaan Allah, seorang hanba tidak perlu menggunakan jasa perantara. Sebaliknya, seorang perantara tidak akan berguna untuk mencegah kemurkaan Allah SWT.
Itulah sebabnya para sahabat tidak pernah bertawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan Rasulullah di sisi-Nya. Mereka justru memohon kepada Al Abbas untuk mendoakan mereka – dalam suatu musibah – kepada Allah. Andaikan tawasul setelah wafatnya beliau dibolehkan, tentulah tawasul melalui beliau – karena kedudukannya yang tinggi dan mulia – lebih patut untuk diperbolehkan. Diperbolehkannya tawasul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan terhormat orang-orang saleh di sisi Allah, seperti yang banyak dilakukan orang-orang, biasanya dilegitimasi oleh kecenderungan menganalogikan Allah dengan mahluk lain.
Adapun mengenai hadis tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah: “Ya Allah, aku bertawasul denganmu, wahai Muhammad, kepada Rabbmu” adalah hadis yang berisi permohonan kepada Rasulullah untuk mendoakannya. Itulah sebabnya Rasulullah berkata kepada orang tersebut: “Allahumma syaffi’hu fii… (Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku). Ini pun dengan asumsi bahwa hadis tersebut adalah shahih sebab sebenarnya sanad hadis ini munqathi’ (terputus). Selain itu, riwayat berikut ini juga maudlu’:
“Bertawasullah kamu dengan kedudukanku karena kedudukanku di sisi Allah amatlah besar “ (Hadis Maudlu’).
Perkara tersebut dinyatakan oleh Ibnu Jauzi, Ibnu Taimiyah, dan Asy Syaukani, serta para ulama Ahlus Sunnah. Jadi, jelaslah haram hukumnya berdoa dengan berkata: “Aku bermohon kepadaMu, ya Allah, dengan kedudukan si Fulan…”.
4. Tawasul dengan Dzat orang-orang saleh. Misalnya, ungkapan sebagian mereka: “Aku bermohon kepadaMu, ya Allah, dengan Muhammad.” Lafaz ini jelas bid’ah, dan karenanya haram. Ia mengandung banyak makna yang semuanya batil dan bertentangan dengan syariat:
a. Tawasul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah.
b. Dengan lafaz itu ia ingin bersumpah kepada Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah haram dan dan termasuk syirik kecil.
c. Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya dalam mendatangkan manfaat atau menolak mudlarat. Ini adalah syirik besar yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Allah berfirman tentang kaum musyrik:
“Tiadalah kami menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (Az Zumar: 3).
d. Dengan lafaz ini, dia bermaksud memohon berkah, Ini juga hukumnya haram karena selain mengandung ketiga unsur sebelumnya, ia juga tidak diperintahkan oleh syariat Islam (laisa masyru’) . Para sahabat dan tabi’in serta generasi setelah mereka juga tidak pernah melakukannya. Ini semua menunjukkan bahwa perbuatan ini adalah bid’ah (perbuatan yang diada- adakan tanpa contoh dari sunnah sebelumnya atau perintah syariat). Perhatikan sabda Rasulullah:
“Barangsiapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak bersumber darinya maka itu pasti tertolak.” (Muttafaq ‘Alaih)
“Jauhilah menciptakan sesuatu yang baru (urusan agama) karena semua yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Muttafaq ‘Alaih)
Setelah mengetahui hukum-hukum yang terkait dengan tawasul bid’ah, wajib bagi kita mengetahui tawasul masyru’ (disyariatkan). Ada beberapa jenis tawasul masyru’ ini, yaitu:
1. Tawasul kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah berfirman:
“Dan kepunyaan Allahlah nama-nama yang baik, maka serulah Ia dengan nama-nama itu” (Al A’raf: 180).
(Misalnya, ketika memohon rezeki, sebelum kita menyampaikan keinginan kita, sebutlah salah satu asma Allah, “Ya, Razzaq…”, “Ya Ghaniyyu…” pent.).
Jadi, waktu berdoa, seorang hamba menyebut terlebih dahulu nama-nama Allah yang sesuai dengan permintaannya. Misalnya, menyebut nama Ar Rahman saat memohon rahmat-Nya, menyebut Al Ghaffar saat memohon ampunan, dan seterusnya.
2. Tawasul kepada Allah dengan iman dan tauhid. FirmanNya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman pada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)” (Al Imran: 53).
Maka dia misalkan mengatakan: “Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan keimananku…”
3. Tawasul kepada Allah dengan amal saleh di mana seorang hamba memohon kepada Allah dengan menyebutkan amalnya yang paling baik, seperti shalat, puasa, membaca Al Quran, meninggalkan yang haram, dan semacamnya. Dalilnya adalah kisah tiga pemuda yang mengadakan perjalanan jauh lalu kemalaman di sebuah gua, sehingga terpaksa bermalam di sana. Namun batu besar menutup pintu gua itu, sehingga ketiga pemuda dari petunjuknya.
Seorang Muslim juga harus lebih memperhatikan doa-doa yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah karena doa-doa itu akan lebih mudah dikabulkan, lebih jauh dari haram, dan –tentu saja-mendapatkan pahala dari Allah. Doa-doa itu telah dihimpun oleh para ulama dalam berbagai kitab mereka. Misalnya mengenai kitab Al Adzkar (Al Nawawi), Tuhfafudz Dzakirin (Asy Syaukani), Al Wabilush shaeb (Ibnul Qayyim), Al Kalimuth Thayib (Ibnu Taimiyah), Nazlul Abrar (Shiddiq Hasan Khan), dan masih banyak lagi. Selain itu, seorang Muslim juga harus memperhatikan riwayat yang shahih dari doa-doa Rasulullah SAW.
Tentang tawassul ini disarankan kiranya pembaca bisa membaca buku Tawassul karya Syaikh Nashiruddin Al Abani, lalu Tabarruk Masyru wa Ghairu Masyru’ karya Dr. Ali Nafayyi’ Al ‘Alyani. Keduanya diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Al Kautsar, Jakarta.
5.3 Jalan yang Lurus itu adalah Islam
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi di dalam kitab tafsirnya, Aisarut Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabir, mengatakan:
Makna Ash shirath adalah jalan yang menghubungkan kepada keridlaan-Mu dan surga-Mu, yaitu Islam untuk-Mu. Sedang makna al Mustaqim adalah yang tiada condong di dalamnya dari alhaq dan tidak pula menyimpang dari petunjuk.
Hidayah itu ada dua: Pertama, Hidayah Bayan dan Irsyad, yaitu yang dituntut dari pemilik ilmu (ulama) sehingga mereka menerangkan bagi penanyanya jalan-jalan kebaikan dan membimbing serta mengarahkan kepada jalan tersebut. Kedua adalah hidayah taufiq kepada I’tiqadul Haq (keyakinan yang benar), komitmen padanya dalam keyakinan, perkataan dan perbuatan. Hal ini tentu tidak bisa dituntut kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah permintaan (doa) ini, ihdinash shirathal mustaqim, dan membenarkan hidayah pertama, yaitu hidayah Al Bayan, sebagaimana firman Allah: “Wa innaka Latahdi ila shirathim mustaqim”. Adapun membenarkan hidayah kedua adalah firman Allah: “Innaka la tahdi man ahbabta”. Allah menetapkan hidayah al Bayan bagi Nabi SAW dan meniadakan hidayah taufiq baginya, yaitu hidayah qalbiyah al-bathiniyah.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:
Shirathal Mustaqim ialah mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Juga bisa bermakna kitab Allah sebagaimana diriwayatkan Ali ra yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “As Shiratahl Mustaqim. Kitabullah”. Juga berarti Islam sebagai agama Allah yang tidak akan diterima selain darinya.
An Nuwas bin Sam’an ra mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Allah memberikan perumpamaan suatu jalan yang lurus, sedang di kanan-kirinya terdapat dinding (pagar) dan di pagar itu terdapat pintu-pintu terbuka, pada tiap pintu terdapat tabir yang menutupi pintu tersebut, sedang di depan jalan ada suara yang menyeru, “Hai manusia, masuklah ke jalan ini dan jangan berbelok dan di atas jalan ada seruan, bila ada orang yang akan membukan pintu diperingatkan: Celaka Anda, jangan membuka, sungguh jika Anda membuka pasti akan masuk. Shirath adalah Islam, dan pagar itu batas-batas hukum Allah, sedangkan pintu yang terbuka itu adalah (perkara-perkara) yang diharamkan Allah. Dan seruan di depan jalan itu ialah Kitab Allah; adapun seruan di atas shirath itu adalah seruan nasihat dalam hati setiap orang muslim.[3]
Jika seorang ditanya, mengapa seorang mukmin harus meminta hidayah, padahal dia bershalat itu artinya hidayat? Jawabnya, “seorang membutuhkan hidayat itu pada setiap saat dan dalam segala kondisi kepada Allah untuk bisa terus terpimpin oleh hidayah Allah itu karena itulah Allah menunjukkan jalan kepadanya supaya memohon kepada Allah untuk mendapatkan hidayat taufiq dan pimpinan-Nya. Maka seorang yang bahagia hanyalah orang yang selalu mendapat taufiq hidayat.
Allah Taala berfirman,
Hai orang yang beriman, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (An Nisa: 136)
Orang yang beriman diperintahkan Allah untuk beriman, tentu ini dimaksudkan agar terus tetap memelihara keimanannya dan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan, jangan terputus di tengah jalan, yakni istaqamah hingga ajal menjemputnya.
5.4 Istiqamah dalam Menetapi Jalan Lurus (Islam)
Jalan lurus (Islam) adalah jalan yang apabila ditempuh oleh setiap kaum muslimin akan membawanya kepada Persatuan (ijtima’) dan kesatuan (i’tilaf) karena komitmennya terhadap manhaj Allah yang berdiri tegak di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah berikut ini,
Inilah jalan-Ku (Din-Ku) yang lurus. Maka ikutilah ia, dan jangan mengikuti jalan0jalan yang lain, niscaya kalian akan terpisah jauh dari jalan-Nya. Demikianlah diperintahkan Allah kepadamu supaya kamu bertaqwa. (Al An’am: 153)
Aban bin Utsman berkata, seseorang bertanya kepada Ibnu Mas’ud ra: Apakah shiratahal Mustaqim itu? Ibnu Mas’ud menjawab, Rasulullah telah meninggalkan kita di atas jalan ini, sedang ujungnya di surga. Sedangkan di sebelah kanan dan kirinya ada jalan-jalan lain, padanya terdapat orang-orang yang menyeru kepada jalan tersebut, maka siapa yang mengikuti jalan yang di sebelah kanan atau kiri masuklah ia ke neraka, dan siapa yang tetap di atas jalan yang lurus sampailah ia ke surga. Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat surat Al An’am ini.
Ibnu Abbas ra berkata bahwa ayat ini (Al An’am 153) dan ayat An Aqimuddina walas tatafarraqu fihi adalah perintah Allah kepada kaum muslimin (mukminin) untuk bersatu (berjamaah) dan jangan bercerai-berai, dan menerangkan bahwa umat-umat dahulu telah binasa karena perselisihan, pertentangan dalam agama Allah.
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR ALFATIHAH BAG.6 (02/6), oleh mutawalli
6.2 Dominasi Yahudi di Pentas International
Allah berfirman:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (Din) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang kafir benci”. (Ash Shaff:8)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Allah tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolong kamu”. (Al Baqarah: 120)
Al Quran banyak mengungkapkan makar Yahudi, walau dalam waktu lama mereka sendiri menyembunyikan makar-makar jahat mereka. Satu-satunya alasan mereka menyembunyikan makar tersebut adalah kekhawatiran bahwa mereka akan mengalami kegagalan dalam melancarkan misinya.
Namun, kini setelah berhasil dengan gemilang, berhasil memegang tumpuk kekuasaan internasional, yang memantapkan pelaksanaan makar jahatnya, mereka tidak perlu memiliki rasa ketakutan lagi akan tersingkapnya makar-makar jahat itu. Bahkan, mereka dengan lantangnya berani dan selalu berusaha membentuk opini dunia bahwa setiap rencana Yahudi akan dapat diwujudkan. Dengan harapan agar tidak ada seorang pun yang berani menghalangi seluruh rencana dan usaha makar mereka.
Kini mereka sengaja menyebarkan buku-buku (yang tadinya) rahasia tentang makar-makar Yahudi, terutama protokolat Yahudi, seperti buku Al Hukumah al Khafiyyah (Pemerintah Tersembunyi), dan buku Al Ahjar ‘ala Riq’atisy Syathranj (Bidak-Bidak di Atas Papan Catur).
Ada dua sumber inspirasi yang mendorong Yahudi begitu sungguh-sungguh dalam mewujudkan impiannya, yaitu ‘Taurat’ dan ‘Talmud’. Jika Taurat, misalnya, adalah kitab suci yang diturunkan Nabi Musa as., kemudian mereka dengan sengaja mengubahnya disana-sini menurut selera hawa nafsu mereka, Talmud merupakan kitab buatan orang Yahudi sendiri. Namun, kitab Talmud lebih dikuduskan oleh Yahudi daripada kitab Taurat. Kedua kitab inilah yang membentuk karakter, pemikiran, dan rencana-rencana Yahudi.
Di antara ajaran (doktrin) yang paling menonjol yang membentuk karakter Yahudi adalah pernyataan Taurat (palsu) yang berbunyi:
”Dan Tuhan akan bicara kepada bangsa Israel. Wahai Israel, Aku akan turun untuk menyerahkan pedang ke tanganmu dan aku akan memotong leher-leher bangsa-bangsa serta mmenghinakan mereka di hadapanmu”. Dan ucapan Talmud yang berbunyi; “Bangsa-bangsa Umamiyyun adalah setiap bangsa selain bangsa Yahudi. Mereka adalah keledai ciptaan Tuhan untuk ditunggangi oleh bangsa pilihan Tuhan (Yahudi) dan jika keledai habis, kita akan menunggangi keledai lain.” 2
Allah SWT. Sama sekali tidak pernah mengatakan, bahwa Bani Israel itu bangsa pilihan yang diistimewakan di atas bangsa lain. Memang benar Allah telah memilih Bani Israel untuk memikul risalah-Nya dan mengutamakannya atas alam semesta. Namun, hal ini semata kehendak Allah yang diberikan kepada siapa saja, Rasul siapa saja, termasuk dalam pemberian kerajaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Hanya Allah saja yang mengetahui rahasia ini, sebagaimana firman-Nya:
“Allah telah mengetahui di mana Dia menjadikan Risalah-Nya”.
(Al-An’am:124)
“Dan Allah akan memberikan kerajaan-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki”. (Al-Baqarah: 247)
“Dan Allah mengkhususkan siapa saja yang Ia kehendaki dengan rahmat-Nya”. (Ali Imran: 74)
Sesuatu yang menjadi persoalan besar bagi Yahudi, adanya klaim bahwa sebagai bangsa pilihan Tuhan, mereka berhak membantai dan menebas leher setiap bangsa selain Yahudi. Bukankah hal ini merupakan legalisasi atas sebutan teroris bagi diri Yahudi? Lalu, mengapa mereka sering menuduh bangsa lain sebagai teroris?
Padahal di dalam Taurat yang asli, terdapat banyak nash yang melancarkan kutukan keras atas bangsa Yahudi. Lebih banyak lagi di dalam Injil dan Al-Quran. Seperti kata-kata, “betapa sangat murka Rabb kepada bangsa-Nya”. Di dalam Injil terdapat pernyataan senada dengan itu yang diulang-ulang, misalnya, “Hai anak ular”.
Al-Quran sebagai kitab suci yang tiada kebatilan sedikit pun di dalamnya, karena Allah sendiri telah menjamin keterpeliharaannya, memang menyebutkan dalam beberapa ayat yang mnerangkan keadaan Bani Israel secara rinci. Mereka pernah mengalami masa kejayaan ketika mereka masih memelihara kesucian dan kemurnian kitabnya. Namun, kemudian Allah menurunkan azabnya manakala mereka mencampakkan kitabnya. Dia mencabut kekuasaan-Nya dan menghinakan mereka, sehingga dikuasai oleh musuh mereka.
Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya telah Kami selamatkan Bani Israel dari siksaan yang menghinakan, (yaitu) dari Fir’aun. Sesungguhnya dia sombong lagi berlebihan. Sesungguhnya Kami telah memilih mereka (Bani Israel) dengan ilmu kami di atas sekalian alam. Dan kami berikan kepada mereka ayat (keterangan) yang di dalamnya terdapat cobaan (ujian) yang nyata”.
(Ad-Dukhan: 30-33)
“Hai, Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan sesungguhnya Aku melebihkan kamu atas sekalian alam semesta”. (Al-Baqarah: 47)
“Dan Kami telah mewariskan kepada kamu yang lemah itu bumi belahan Timur dan belahan Barat yang telah kami berkati di dalamnya. Dan tamatlah kalimat Rabbmu yang baik atas Bani Israel, karena kesabaran mereka. Dan Kami runtuhkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya, serta mahligai mereka yang mereka dirikan”. (Al-A’raf: 137)
Namun ketika mereka berbalik menjadi kufur, Allah pun banyak menyebut ayat-ayat yang mengancam dan memurkai mereka, di antaranya adalah:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan Rasul-Rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa, putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (tiupan Ruhul Qudus oleh Jibril As). Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? Dan mereka berkata, ‘hati kami tertutup’. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka, karena keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang beriman. Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada diri mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Maka, mereka mendapat kemurkaan setelah kemurkaan (pertama). Bagi kuffar itu azab yang menghinakan”.
(Al-Baqarah: 87-90)
Dalam ayat lain Allah menjelaskan kehinaan Yahudi, bangsa Israel:
“.... Dan mereka ditimpa kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal ini (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan (oleh mereka). Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah: 61)
Masih banyak ayat lain dalam Al-Quran yang mengutuk perilaku bangsa Yahudi yang hingga saat ini mereka tetap saja mmengklaim diri sebagai bangsa pilihan Tuhan.
Lembaran sejarah hitam kehidupan bangsa Yahudi ditunjukkan Al-Quran mulai dari membunuh para nabi, mengaku membunuh Al-Masih, putra Maryam (padahal yang mereka salib adalah orang yang diserupakan dengannya), memakan riba, beragama dengan agama yang tidak benar, mengubah ayat-ayat Allah, dan perbuatan tidak benar lainnya. Secara global disebutkan dalam ayat 155-161 surat An-Nisa’, lalu di hampir semua ayat surat At-Taubah.
Yahudi seperti keledai karena diamanati Taurat, tetapi tidak dipikulnya, seperti firman-Nya:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”. (Al-Jumu’ah: 5)
“Mengapakah mereka lari (berpaling) dari peringatan (Allah) ? Seolah-olah mereka keledai yang lari. Lari daripada singa. (Al-Muddatstsir: 49-51)
Mereka adalah golongan yang mencampakkan amal karena mengetahui kebenaran, tetapi tiada beramal dengannya. Sehingga, mereka disebut Allah sebagai Al-Maghdlub. Di samping itu, mereka tidak mempergunakan mata, telinga, dan hati mereka sebagaimana mestinya, sesuai dengan fungsinya masing-masing seperti tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi”.
(Al-A’raf: 179)
Yahudi disebut Al-Fasad dalam Al-Quran, karena karakter buruk mereka.
“Dan mereka berusaha di muka bumi membuat kerusakan. Dan Allah tidak suka orang-orang yang merusak”. (Al-Maidah: 64)
“Dan Engkau lihat kebanyakan mereka (orang-orang Yahudi) amat bergegas berbuat dosa dan permusuhan dan memakan harta haram. Sungguh sejahat-jahat apa yang mereka perbuat”. (Al-Maidah: 62)
“Orang-orang kafir dari Bani Israel telah dilaknat di atas lisan Daud dan Isa bin Maryam. Demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (zalim). Mereka tidak melarang kemungkaran yang mereka perbuat. Sejahat-jahat apa yang mereka perbuat”. (Al-Maidah: 78-79)
Lepas dari itu, mengapa mereka menonjol dalam beberapa aspek dan dominan peranannya di dunia international? Muhammad Quthb menyebutkan tiga faktor utama yang membuat mereka menonjol, yaitu:
1. Mereka menjadi minoritas yang tidak ada pangkal akhirnya,
2. Mereka menjadi minoritas yang tertindas setelah Allah menentukan mereka sebagai siksaan atas perilaku buruk dan sebagai konsekuensinya atas perbuatannya yang melampaui batas,
3. Takdir Allah telah menentukan minoritas mereka tetap ada.
Allah letakkan pada jiwa mereka keinginan untuk tetap eksis dan berkemauan keras mempertahankan kelompoknya guna melawan kepunahan.3
Yahudi sangat mengerti semua hakikat yang dijelaskan dalam ayat tersebut. Sementara salah satu tujuan eksistensi bangsa Yahudi adalah menjadikan bangsa lain sebagai “keledai-keledai tunggangan”, mereka menyeleweng dan kafir. Orang-orang Yahudi bekerja keras merusakkan aqidah umat manusia dan meruntuhkan moral dengan berbagai cara dan sarana yang dapat mencapai maksud dan tujuan syaitaniyahnya yang buruk itu. Pantas jika kemudian Allah menyebut mereka Al-Fasad dan Al-Ifsad.
Benarkah Yahudi merupakan bangsa terkutuk sepanjang sejarah dan mengapa mereka tertindas?
Muhammad Quthb memberikan jawaban untuk kita: anggapan bahwa bangsa Yahudi menjadi bangsa tertindas semata-mata etnis Yahudi dan tanpa dosa, itu jelas suatu kedustaan yang sama sekali tidak didukung oleh fakta-fakta sejarah. Sejarah selalu membuktikan, semua manusia membenci mereka karena perangai dan perilaku mereka yang sangat buruk itu.
Kebencian itu bukan karena mereka orang Semit dan bukan tanpa alasan atau karena semata-mata mereka Yahudi. Semua orang mengetahui bahwa Yahudi terkenal sebagai pemakan riba, pemakan harta orang lain secara batil, paling bergegas dalam melakukan perbuatan dosa dan permusuhan, penyebr kekejian di muka bumi, pelaku kriminal yang selalu menyakiti umat manusia (teroris) walaupun menusia itu berbuat ihsan kepadanya, dan pembuat keonaran di mana-mana, dan sejumlah perilaku tak terpuji lainnya yang membuat orang lain menjauhi dan muak melihat mereka.
Orang Nasrani telah menindas dan menyiksa mereka di Eropa, karena berkeyakinan bahwa orang Yahudilah yang menyalib Isa Al-Masih. Mereka lari dari Eropa ke dunia Islam, mencari perlindungan ke Andalusia (Spanyol). Di sanalah mereka merasakan perlindungan, keamanan, dan kedamaian serta kebebasan. Di sana pula mereka melakukan rencana-rencana busuknya dengan leluasa tanpa ada gangguan.
Tatkala terjadi perang Salib yang menyebabkan kekalahan kaum muslim di Andalusia, kaum muslim diusir dan hijrah ke Maroko. Untuk menghindari pembantaian dan peninddasa gereja, orang Yahudi pun turut hijrah ke Maroko. Mencari ketenangan, kedamaian, dan kebebasan hidup di bawah naungan Islam.
Begitu pula ketika di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah. Mereka hidup di negeri Islam yang tunduk kepada Daulah Utsmaniyyah, selamat dari pembantaian Eropa. Namun, apa yang mereka lakukan setelah itu? Apa balasan Yahudi terhadap pemerintahan Islam?.
Mereka berusaha meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah dan melenyapkan hukum Islam dari muka bumi. Perilakunya di Palestina sungguh keji. Mereka membantai dan membunuh umat Islam, termasuk anak-anak dan kaum wanita serta orang tua. Mereka dengan biadab memperlakukan tempat-tempat suci Islam serta memerangi Masjid Aqsha.
Kemudian peristiwa empat orang Yahudi kanibal yang menyembelih salah seorang selain bangsa Yahudi pada zaman Muhammad Ali untuk dijadikan kue dalam perayaan Passover cukup populer kisahnya. Mereka tidak mengakui dosanya dan tak tahu malu, walaupun beritanya tersebar ke seluruh dunia.4
Jadi, sebenarnya klaim-klaim yang selau mereka lontarkan hanyalah mitos dan khayalan belaka. Sebab, semua orang tahu betapa jeleknya perilaku Yahudi. Ini terbukti dengan makar-makar jahatnya, terutama di dunia Islam, juga terhadap bangsa lain di luar Yahudi.
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR AL FATIHAH BAG.5 (03/5), oleh mutawalli
TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (03/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.7 Kebencian Ulama Salaf terhadap Bid’ah dan Pelakunya
Sufyan Ats Tsauri ra berkata bahwa iblis lebih menyukai perbuatan bid’ah daripada maksiat sebab maksiat lebih bisa diharapkan taubatnya, sedangkan bid’ah sulit diharapkan taubatnya.
Imam As Suyuthi mengatakan, Abdullah bin Muhairiz pernah berkata bahwa agama itu hilang se sunnah demi sunnah sebagimana seuatas tali hilang kekukatannya sedikit demi sedikit karena perbuatan bid’ah.
Mu’adz bin Jabal pernah berkata,
“Sesungguhnya sepeninggalku nanti banyak sekali terjadi fitnah pada saat harta benda melimpah, Al Quran dibuka bagi seluruh manusia sehingga baik wanita, anak-anak maupun lelaki membacanya. Lalu ada seorang yang berkata, “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Demi Allah, aku akan melaksanakan al Quran di lingkungan mereka. Semoga aku mengikutinya. Kemudian ia berkata, Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Dan aku telah melaksanakan al Quran di lingkungan mereka, tetapi aku tidak mampu mengikutinya. Sungguh aku akan hadir ke tempat shalat di rumahku. Kemudian orang itu hadir di tempat shalat di rumahnya, tetapi dia tidak mampu juga mengikutinya (segala perkara yang telah di tentukan Al Quran).” Kemudian dia berkata lagi: , “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya. Dan aku telah datang ke tempat shalat di rumahku, tetapi juga tak mampu aku mengikutinya. Demi Allah, aku akan mendatangkan sesuatu yang baru yang tidak mereka dapati di dalam Al Quran dan tidak pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW. Semoga kau dapat mengikutinya.” Oleh karena itu berhati-hatilah dengan apa yang dibawanya karena apa yang dibawanya itu merupakan kesesatan”.
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata,
“sederhana dalam sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam masalah bid’ah.”
Al Auza’i berkata,
“Tabahlah hatimu atas as Sunnah. Tegaklah kamu di mana kaum itu tegak. Berkatalah dengan kata apa yang mereka katakan. Tahanlah dirimu terhadap apa yang mereka menahan diri terhadapnya, dan berjalanlah di atas jalan para ulama salaf yang saleh. Sebab segala yang dapat mereka jalani, kamu pun akan dapat menjalaninya.”
Imam Syafi’i rahimullah berkata,
“Siapa saja yang mengadakan kebagusan (perkara baru dalam agama) maka dia telah membuat syariat.”
5.8 Setiap Bid’ah itu Kesesatan Sekalipun Manusia Menganggapnya sebagai Hasanah
Salim Al Hilali, dalam bukunya Al Bid’ah Wa Atsaruhas Sayyi’ Fil Ummah, mengatakan, “Pembagian bid’ah kepada hasanah dan qabihah atau mahmudah dan madzmumah adalah pembagian yang tidak memiliki sandaran dalam syariat. Sebagaimana hal ini memiliki asal sandaran jika kenyataannya ketegasan Al Quran dan hadis-hadis shahih ditolak. Keterangan ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Allah telah membimbingmu bahwa yang termasuk ushul din haruslah diyakini dan tidak sah iman seseorang kecuali dengannya. Din ini telah lengkap dan sempurna, serta tugas manusia hanya menerapkan dan melaksanakannya.[1]
2. Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi alam, untuk menegakkan risalah. Dia pun telah menyampaikan risalah itu tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia telah mengerjakan itu semua secara sempurna karena mengharap ridla dariNya. Allah menyaksikan kebenaran baginya. Begitu pula orang-orang mukmin, cukuplah Allah menjadi saksi.
Rasulullah bersabda:
“Aku tidak meninggalkan sedikit pun dari apa yang Allah perintahkan kecuali benar-benar aku telah memerintahkan kepadamu dengannya, dan tidak sedikit pun apa yang Allah larang kepadamu kecuali benar-benar aku melarangnya.”
3. Musuh-musuh pun telah bersaksi atas kesempurnaan risalah Islam ini. Mereka tidak dapat menyembunyikan kesaksian ini, kesempurnaan nizham Islam (nizham rabbani), syamil, dan kamil, tidak meninggalkan perkara kecil dan besar dalam seluruh aspek kehidupan. Seorang Yahudi berkata kepada Salman ra, “Sungguh nabimu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga masalah kotoran.” Lalu Salman ra berkata, “Benar, kami dilarang buang hajat menghadap kiblat, hajat besar maupun kecil, kami dilarang cebok dengan tangan kanan, dilarang menggunakan batu kurang dari tiga kali, dan dilarang cebok dengan sobekan kain (tumbuh-tumbuhan) atau tulang.” (HR Muslim dan Ashhabus Sunan dan Ahmad).
4. Sesungguhnya membuat hukum itu adalah hak Allah dan tidak ada hak manusia sedikitpun. Dan tentu apabila dibolehkan menambah di dalam Islam, boleh juga mengurangi. Oleh karena itu, Rasulullah melarang kita menambah-nambah dalam perkara agama. Dia bersabda:
“Jika aku telah mengeluarkan sebuah hadis, janganlah kamu sekali-kali menambahkan kepadaku.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani, silsilah hadis shahih, 346).
5. Pelaku bid’ah telah mengangkat dirinya setingkat dengan pembuat syari’at Al Hakim (Allah SWT). Imam Ahmad berkata, “Pokok As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang dilakukan para sahabat, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah dan bid’ah itu kesesatan”. Selain itu Imam Darul Hijrah, Imam ilmu dan petunjuk, berkata, “Siapa yang membuat bid’ah, satu bid’ah pun, karena menganggapnya sebagai hasanah, dia benar-benar telah mendakwakan Muhammad SAW telah mengkhianati risalah, sebab Allah dalam Surat Al Maidah ayat 3.”[1]
Ibnu Mas’ud berkata:
Jadilah kamu pengikut As Sunnah dan janganlah kamu melakukan bid’ah sebab kamu telah cukup (dengan As Sunnah). (HR Thabrani)
Di samping itu,
1. Allah SWT disembah hanya dengan apa yang disyari’atkan, tidak dengan hawa nafsu, tradisi, dan bid’ah.
2. Bid’ah dapat mematikan sunnah.
3. Bid’ah adalah penyebab malapetaka (Al Halak)
4. Bid’ah mengantarkan kita kepada kekafiran sebab pelakunya mengangkat dirinya sebagai pembuat hukum, sedangkan Allah dianggap sebagai tandingannya.
5. Bid’ah membuka pintu perselisihan dan permusuhan serta kebencian yang merupakan pintu kesesatan. Mereka yang merintis satu jalan keburukan (terlebih lagi bid’ah), baginya dosa hingga hari kiamat tanpa dikurangi sedikitpun.
6. Menyedikitkan perkara bid’ah saja dapat mengantarkan kita kepada fasik dan maksiat. Contoh ketika Khawarij melawan Ahlus Sunnah, para sahabat di bawah pimpinan Ali ra. memerangi mereka.
7. Amal saleh hanya benar jika diikuti dengan niat baik pula. Niat baik saja tidak bisa mengubah kebatilan menjadi kebenaran.
8. Menambahkan kebaikan bukanlah kebaikan sebab kebaikan yang ditambah-tambah berakibat keburukan. Sebuah perkara yang ditambah-tambah akan overdosis, lalu akan berbalik menjadi lawan. Sikap berani yang berlebihan akan menjadikan kita beringas dan jika dikurangi akan menjadi pengecut. Sifat derma jika dilebih-lebihkan bisa menjadi israf dan ibdzar, dan jika dikurangi bisa menjadi kikir dan bakhil. Sebab itu, Ibnu Umar ra. mengingkari seorang bid’ah ketika ada seorang bersin, lalu mengucapkan, Alhamdulillah wash shalatu was salam ‘ala Rasulillah. Segera Ibnu Umar berkata, jika seseorang bersin, bacalah Alhamdulillah. Tidak perlu berkata: “Bershalawatlah kepada Rasul” (HR Tirmidzi dan Hakim).
Lalu bagaimana ahlu bid’ah yang menjadi makmum dalam shalat berjama’ah tidak mengucapkan Amin bersama imam sebelum dia membaca rabbigfirli? Tentu ini lebih bid’ah daripada mengucapkan shalawat kepada Nabi ketika ia bersin. Ini termasuk bid’ah haqiqiyah karena tak ada asal perintahnya dan pelaksanaannya (dalam menambah rabbighfirli). Perintah membaca amin ada, tetapi jika dibaca tidak pada waktu setelah imam usai membaca wa ladl dlallin, ini termasuk bid’ah idlafiyyah.[1] Wallahu a’lam.
5.9 Bantahan Terhadap Orang yang Menyebutkan Adanya Bid’ah Hasanah
Sebagian besar kaum Muslimin yang mengakui adanya bid’ah hasanah paling tidak berdasarkan beberapa hadits atau atsar sahabat, dan yang paling masyhur dijadikan sandaran antara lain:
1. Perkataan Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan:
Apa-apa yang menurut kaum Muslimin bagus, menurut Allah juga bagus, dan apa-apa yang menurut kaum muslimin jelek, menurut Allah jelek juga.
Hadits ini tidak sah untuk dikatakan marfu’ (sampai pada Nabi), tetapi merupakan perkataan Ibnu Mas’ud ra. Menurut Al ‘Ajalwani, sanadnya jatuh dan lebih tepat mauquf pada Ibnu Mas’ud.[2]
Berkata As Sakhawi di dalam Al Maqashidul Hasanah, ia berderajat mauquf hasan. Ia juga berpendapat bahwa hadits itu tidak bisa dikatakan marfu’, tetapi hanya berderajat mauquf pada Ibnu Mas’ud ra. Oleh karena itu, hadits yang tidak sah derajat marfu’nya tidak boleh dijadikan hujjah karena bertentangan dengan hadits-hadits shahih tentangnya yang berderajat qath’i, yaitu hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah: Kullu Bid’ah dlalalah.
2. Perkataan Umar Ibnu Khaththab ra:
Senikmat-nikmat bid’ah adalah ini (maksudnya shalat tarawih berjama’ah di masjid)
Ucapan Umar ini membuat kekhususan dalil umum dari hadits Nabi SAW: Kullu bid’atin dlalah. Hujjah ini tertolak sebab shalat tarawih malan ramadlan itu masyru’ah berdasarkan nash Nabi SAW. Antara lain riwayat Jabir bin Abdillah ra. yang menyatakan Rasulullah SAW shalat malam ramadhan delapan raka’at dan witir satu raka’at.. Juga hadis-hadis lainnya yang sejenis dalam bab shalat malam dan witir. Dan shalat berjama’ah juga masyuru’ah, sebab Rasulullah SAW melakukan shalat malam tarawih bersama sahabat sampai tiga malam. Adapun beliau meninggalkannya pada malam berikutnya dikarenakan takut dianggap wajib oleh para sahabat. Dan ini didukung oleh riwayat dari Aisyah ra. yang dikeluarkan oleh Asy Syaikhan (Bukhari-Muslim).[3]
Tentang perkataan Umar ra. ini, maka Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al Buraikan mengatakan bahwa makna bid’ah yang terdapat di dalam perkataan Umar ra. dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ucapan itu ditujukan kepada mereka yang mengingkari atau menolak sunah tarawih yang sudah ada sejak Rasulullah di mana beliau melakukannya lalu meninggalkannya karena khawatir akan menjadi kewajiban. Ucapan Umar ini sama dengan ucapan Anda terhadap seseorang yang berbeda dengan Anda, lalu Anda mengatakan, “Kalau ini dianggap munkar maka saya adalah pelaku munkar ini”. Yang ingin Anda katakan adalah bahwa Anda akan tetap berpegang teguh dengan hal itu.
2. Ucapan ini bisa diberlakukan untuk shalat sunat tarawih karena ia pernah ditinggalkan lalu dilaksanakan kembali. Ia dianggap sesuatu yang baru kaena ia belum pernah dilaksanakan secara berjama’ah setelah Rasulullah wafat. Dengan demikian, ucapan Umar Ibnu Khattab ra berlaku untuk makna bahasa bid’ah secara harfiah dan bukan dalam makna syariat. Sedangkan yang tercela adalah bid’ah dalam pengrtian syariat. Atas dasar penjelasan ini, pembagian bid’ah menjadi bid’h hasanah dan bid’ah sayyi’ah, atau bid’ah mubah, haram, wajib, makruh, sunah, menjadi batal hukumnya.
Bahaya bid’ah sesungguhnya terletak pada peluang merubah wajah agama. Oleh karena itu, membuka pintu bid’ah merupakan isyarat datangnya bahaya perubahan dan penggantian syariat Islam. Dalam bahaya inilah orang-orang Yahudi dan Nsrani terjebak di mana mereka mengubah, mengganti, dan menyimpangkan agama mereka.[4]
Atas dasar itu, kaum salaf memperingatkan kita dari bahaya bid’ah dan para pelakunya dengan berbagai cara, antara lain:
a. Larangan mendengarkan bid’ah. Abdur Razaq menceritakan dari Mu’ammar bahwa beliau berkata, “Suatu ketika Thawus sedang duduk dan di sisinya anaknya duduk bersamanya, lalu datanglah seorang laki-laki dari Mu’tazilah dan berbicara tentang suatu masalah. Thawus segera memasukkan jari-jari tangannya ke telinga serta berkata,’Wahai anakku, masukkan pula kedua jari telunjuk ke telingamu agar kamu tidak mendengar sedikit pun perkataannya karena sesungguhnya hati itu lemah. Wahai anakku, bersikap benarlah.’ Ia terus mengulang-ulang perkataan itu sampai laki-laki dari Mu’tazilah itu pergi.”
b. Meninggalkan pelaku bid’ah dan tidak bergaul dengan mereka. Isa bin Ali Adl Adlbi berkata, “Ada seorang yang duduk bersama kami dan berbeda pendapat dengan Ibrahim An Nakha’i, kemudian sampailah berita pada Ibrahim bahwa orang tersebut dari golongan Murji’ah. Lalu Ibrahim berkata kepadanya, “Jika engkau nanti meninggalkan kami, janganlah engkau kembali lagi.”
c. Menyebarkan hal ihwal pelaku bid’ah kepada orang banyak agar mereka meninggalkannya. Muhammad bin Dawud Al Haddai berkata, “Saya berkata kepada Sufyan bin Uyainah, sesungguhnya orang ini (Ibrahim bin Abi Yahya) telah berbicara tentang qadla dan qadar. Lalu Sufyan berkata, “Terangkanlah ihwal orang ini kepada orang banyak dan bermohonlah kepada Allah agar Ia menjadikanmu dalam keadaan baik.”
d. Menjelaskan bahaya bid’ah kepada kaum muslim, Sufyan Ats Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah daripada maksiat karena orang bisa bertobat dari maksiat tetapi dari bid’ah tidak.”
e. Tidak menshalati jenazah pelaku bid’ah. Mu’amal bin Ismail berkata, “Ketika Abdul Azis meninggal, aku ikut mengantar jenazahnya sampai pintu Shafa. Orang-orang pun berdiri bershaf-shaf, kemudian Sufyan Ats Tsauri datang untuk membubarkan shaf-shaf. Sementara orang-orang hanya tercengang menyaksikan jenazah itu tidak dishalati. Ia dituduh menganut kepercayaan kaum Murji’ah.”
f. Dibolehkan mengumpat pelaku bid’ah. Dari Al A’masy dari Ibrahim berkata, “Tiada yang dianggap ghibah bagi pelaku bid’ah.” Katsir bin Abi Sahal berkata, “Dikatakan, tiada kehormatan bagi pelaku hawa nafsu.” Al Fudlail berkata, “Siapa yang masuk ke rumah pelaku bid’ah, tiada kehormatan baginya.”[5]
3. Menggunakan dalil Man sanna fil Islam sunnatan hasanatan... tanpa diteruskan hingga akhir hadis (HR Muslim, Nasa’i, Ahmad, dan Darimi, serta lainnya). Padahal yang dimaksud sunnatan hasanatan ialah jalan yang masyru’ah yang mendapat pahala baginya dan pahala dari orang yang mengikuti setelahnya. Sebenarnya yang dimaksud sunnatan hasanatan bagi pelaku bid’ah justru sunnnatan sayyi’atan, baik dari segi haqiqiyahnya maupun idlafiyahnya. Sama halnya mereka membaca wailun lil mushallin tidak diteruskan pada ayat berikutnya atau ayat laa taqrabush shalaah tidak berlanjut sampai wa antum sukara.
Dari keterangan diatas, jelaslah bagi kita, khususnya kaum muslim yang menyalahgunakan Al-Fatihah. Maksud Shiratun Mustaqiim adalah Islam dan jalan yang ditempuh Rasulullah SAW serta para sahabatnya dan salafush shalih. Kita wajib mengikuti mereka walau harus bersusah payah. Mereka itu Al-Jama’ah.
Rasulullah bersabda:
“Siapa yang ingin mencium bau surga hendaklah ia mengikuti jama’ah. Karena sesungguhnya, syaithan itu bersama orang yang menyendiri. Dan syaithan itu menjauh dari dua orang”. (HR. Tirmidzi)
“Tangan Allah bersama jama’ah dan syaithan itu bersama-sama orang yang menyelisihi jamaah”. (HR Thabrani dari ‘Arfajah)
Firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Shaad: 26)
“Apa yang datang padamu dari Rasul, terimalah. Dan apa yang dilarangnya, tinggalkanlah”. (Al-Hasyr:7)
“Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan lain, karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (Al-An’am: 153)
“Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. (Ali Imran: 31)
Rasulullah bersabda:
Aku nasihatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, dengarkanlah dan taatilah pemimpinmu meskipun dia seorang budak Habasyah. Sebab, sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku akan banyak melihat perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku sekuat-kuatnya. Waspadalah kalian dari perkara baru. Sebab setiap perkara baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari ‘Irbadl bin sariyah)
Semoga kiranya kaum Muslim yang rajin menegakkan shalat menjadi sadar dan hendaknya mau memahami secara baik kandungan Al-Fatihah.
* * *
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR AL FATIHAH BAG.4 (02/4), oleh mutawalli
4.4 Iyyaka Na’budu Sebagai Konsekuensi Pemahaman Kalimat Tauhid
Laa Ilaha Illallah
Kita mesti memahami, bahwa dalam kalimat Laa Ilaha Illallah terdapat pe-nafian dan penetapan (nafyan wa itsbatan), juga loyalitas dan pelepasan diri (wala’an wa bara’an).
Orang yang bertauhid uluhiyah sudah pasti bertauhid kepa rububiyah dan asma’ul wash shifat-Nya.
Dalam kalimat tauhid terkandung makna wala’ (Loyal, cinta, kemauan membela, tolong menolong, dan ikatan persaudaraan) kepada Allah, din-Nya, kitab-Nya, sunnah Nabi-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tidak ada artinya apabila seorang menampakkan wala’-Nya jika tidak disertai sikap Bara’.
Kepada siapa kita melakukan Bara’? Bara’ adalah berlepas diri, membenci, dan memusuhi semua makna thaghut dan yang disembah selain Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Karena itu barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh dengan ikatan yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa manusia tidak menjadi seorang mukmin dan beriman kepada Allah (secara benar) kecuali dengan kufur kepada thaghut. Dalilnya adalah ayat di atas.
Kalimat tauhid itu artinya wala’ kepada syariat Allah. Seperti firman-Nya:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Al-A’raaf: 3)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
Setiap Mukmin yang mentauhidkan uluhiyah Allah semestinya berlepas diri dari hukum jahiliyah. Sebagaimana firman-Nya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Dia juga seharusnya bara’ (berlepas diri) dari seluruh agama selain Dinul Islam. Sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang rugi.” (Ali Imran: 85)
Kemudian selain dari menampakkan wala’ dan bara’-nya, maka setiap Mukmin yang bertauhidkan kepada uluhiyah Allah semestinya menampak-kan empat pe-nafian dan sekaligus menyertainya dengan empat penetapan.
Empat penafikan tersebut adalah:
1. Al-Ilah (tuhan-tuhan), yaitu setiap tujuan yang bermaksud terhadap sesuatu yang mendatngkan kebaikan atau menolak mudlarat, lalu menjadikannya sebagaai Ilah. Misalnya ketika seseorang menganggap bahwa nafsu, akal, dan intuisinya bisa mendatangkan manfaat atau menolak madlarat, maka ia telah menjadikan nafsu, akal, dan intuisinya sebagai tuhan.
2. Thawaghit (jamak dari thaghut), yaitu siapa saja yang disembah dan rela untuk disembah, dipuja, dan diikuti aturan-aturan yang bertentangan dengan syariat samawi.
3. Andad (tandingan Allah), yaitu sesuatu yang menjauhkan seseorang dari agama Islam. Baik berupa keluarga (anggota-anggotanya), tempat tinggal, jabatan, maupun harta yang menjadi tandingan Allah. Sebagaimana Allah berfirmah:
“Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, di mana mereka mencintainya seperti mereka mencintai Allah ....”
(Al-Baqarah: 165)
4. Arbab, yaitu siapa saja yang berfatwa kepadamu dengan menyalahi Al-Haq dan kamu menaatinya. Seperti firman-Nya:
“Mereka itu menjadikan ulama-ulama mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb-Rabb (menduduki posisi rububiyah) selain Allah.”
(At-Taubah: 31)
Maksudnya, ketika para ulama, pendeta, ataupun kyai-kyai mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hanya berdasarkan nafsu, akal, dan intuisinya atau membuat hukum dan undang-undang selain syariat Allah, menjadi mizan dalam menghukumi manusia, menghalalkan yang diharamkan Allah, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, maka mereka itu telah merampas hak rububiyah Allah dan mendudukan mereka pada posisi ma’budul mutha’ (Yang Disembah dan ditaati hukumnya).
Selain menafikan keempat unsur yang merampas hak rububiyah dan uluhiyah Allah, maka setiap Mukmin semestinya menetapkan empat perkara yang diyakininya, yaitu:
1. Mengarahkan niat dan maksud hanya kepada Allah
2. Ta’zhim dan mahabbah (pengagungan dan kecintaan) kepada Allah.
3. Takut akan siksanya, menjauhi perbuatan maksiat, hanya mengharap ridla dan pahala-Nya, serta memotivasi diri untuk melakukan berbagai ketaatan. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamaba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
4. Taqwa, yaitu membentengi diri dari murka Allah dan hukuman-Nya dengan jalan meninggalkan syirik dan kemaksiatan, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, serta mengikuti perintah-Nya sesuai dengan syariat. Sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud rahimahullah: ‘Anda mengamalkan ketaatan kepada Allah atas dasar nur minallah, mengharapkan pahala Allah. Dan meninggalkan maksiat kepada Allah atas dasar nur minallah, karena takut akan hukuman Allah.’[1]
Melepaskan umat dari belenggu kemusyrikan bukanlah perkara mudah dan tidak bisa dilakukan dengan kerja sambilan atau dengan jalan pintas. Sebab, hal ini tidak pernah terjadi pada perjalanan sejarah pendahulu kita.
Tanpa kerja keras, Muslimin tidak akan mampu menampilkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya di tengah-tengah umat manusia, dalam menegakkan keadilan Rabbani di muka bumi, interaksi sosial yang bersih, setia memegang ikatan janji, keberanian diri, dan kepahlawanan yang handal di medan pertempuran, maupun pada kondisi damai.
Selain itu, umat Islam tidak akan mampu membangun kekuatan ilmu pengetahuan dan peradabannya tanpa disertai kerja keras,serta tidak akan terwujud jika dalam diri umat tidak tertanam suatu keyakinan yang teguh bahwa semua yang dilakukannya adalah ibadah dan merupakan tujuan penciptaannya sebagai mahluk Allah.
Sehingga timbul pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan setiap Muslim dalam beribadah agar dirinya pantas disebut hamba Allah, yang memang untuk itulah Allah menciptakannya?
Ibadah harus dimulai dengan semangat ketauhidan dengan mengikrarkan Laa Ilaha Illallah, meyakininya secara uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat, maupun af’al-Nya, sebab Dia-lah satu-satunya yang berhak mengandung sifat kesempurnaan itu. Sebagaimana firman-Nya:
“Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah.” (Muhammad: 19)
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” (An-Nisaa’: 36)
Mengucapkan Laa Ilaha Illallah--sebagaiman telah kita maklumi--bukan sekedart talaffuzh, akan tetapi mengandung konsekuensi untuk membendung setiap bentuk penghianatan dan agar tidak mengikuti keyakinan Murji’ah yang bertindak tidak selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam.
Konsekuensi Laa Ilaha Illallah adalah menerima Islam secara utuh dengan tingkatan komitmen masing-masing. Di antara konsekuensi itu adalah yang berkaitan dengan pokok-pokok keimanan, seperti meyakini sifat Wahdaniyyah Allah, ikhlas semata-mata karena Allah dalam melaksanakan ritual ibadah tanpa riya’, dan berhukum dengan syariat Allah. Seorang hamba dikatakan telah beriman apabila telah menegakkan ahlak-ahlak Laa Ilaha Illallah dan kewajiban-kewajiban lain yang diperintah-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sempurnalah iman seseorang apabila telah melaksanakan hal tersebut.
Syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah) adalah kewajiban yang datang setelah ikrar Laa Ilaha Illallah. Seperti telah dipaparkan di atas, yaitu dengan mengikrarkan seluruh apa yang datang dari Allah dan ber-iltizam dengannya.[2]
4.5 Target dari Komitmen Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
Ketika seorang Mukmin membaca ikrar:
“Sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin, tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)
maka dia memahami bahwa shalat dan nusuk (ritual) yang merupakan syiar ta’abudi adalah titik tolak bagi hamba untuk melakukan ibadah lainnya di dalam kehidupan, termasuk perkara kematian.
Mati di sini bukanlah semata pengertian lafzhiyah, sebab mati dalam pengertian ini adalah tidak bisa melakukan ibadah dan tidak ada lagi kesempatan untuk memilih. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan kematian di sini--sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas--adalah matinya seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
Jadi, kematian seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun adalah ‘kematian minimal’ baginya. Adapun ‘kematian maksimal’ adalah harus bisa mencapai puncak ibadah, seperti mati syahid di jalan Allah untuk membela Dinullah.
Hanya dengan cara melaksanakan ibadah secara sempurna dan menyeluruh, yang meliputi hidup dan mati, maka tujuan penciptaan manusia akan terwujud dan sesuai dengan tuntutan Allah.
Pemahaman ibadah semacam ini telah menjadi asing bagi kalangan generasi sekarang yang selalu mempredikatkan diri sebagai generasi modern atau Muslim kontemporer. Mereka menganggap syiar-syiar ta’abbudi yang biasa mereka kerjakan sudah merupakan keseluruhan ibadah yang dituntut dari seorang Muslim.
Seharusnya, petunjuk dalam mendefinisikan pemahaman-pemahaman Islami adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta gambaran prakteknya yang benar sebagaimana dilakukan oleh generasi awal umat ini (ridlwanullah ajma’in) berdasarkan contoh langsung dari Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam. Merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Sebaik-baiknya generasi adalah pada masaku, kemudian generasi berikutnya ....” (Asy-Syaikhan)
Muhammad Quthb dalam bagian lainnya mengatakan:
“Pada awalnya, pemahaman kaum muslimin bahwa ibadah itu hanya terbatas pada syi’ar-syi’ar ta’abudi saja tidak membahayakan, sebab mereka tetap tidak melakukan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar syahadatain. Namun kenyataannya kini telah berbeda. Dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini terlihat, masalah ini telah sampai kepada tingkat yang membahayakan. Akibatnya tatkala diberikan konsepsi yang benar tentang ibadah, yaitu dimulai dengan ikrar syhadatain dengan menghambakan sepenuhnya kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya, sebelum datangnya rukun shalat, shaum, zakat, dan haji, menjadi sulit di tegakkan dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini. Hal ini disebabkan adanya anggapan umum, bahwa siapa yang telah melakukan syiar-syiar ta’abudi, maka ia dianggap sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya sekalipun kenyataannya ia tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka beranggapan pelaksanaan hukum terpisah total dari ibadah, yang berarti pula terpisah dari konteks iman. Mereka berdalih bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam telah bersabda:
“Jika kalian melihat seorang terbiasa keluar masuk masjid (melakukan shalat), maka ketahuilah bahwa ia mukmin.”[3]
Dalam hadist ini disebutkan ‘membiasakan diri ke masjid’ dan tidak disebutkan berhukum kepada syariat Allah.
Disinilah letaknya, membahas keimanan dengan hadist tertentu tanpa memperhatikan hadist-hadist lain yang membahas tentang hakikat iman, atu hal-hal yang membatalkan iman, tidak akam memberikan gambaran pengertian yang tepat dan benar yang bisa dipertanggungjawab-kan.
Bisa jadi orang yang membiasakan diri ke masjid, ternyata ia pelaku kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat yang bisa membatalkan syahadat, membatalkan kalimat Laa ilaaha illallah, bahkan bisa mencabut akar iman itu sendiri. Karena berhukum kepada syariat Allah itu merupakan salah satu konsekuensi ikrar Laa ilaaha illallah, sebelum seseorang melakukan shalat dan keluar masuk masjid, sekalipun hal itu tak disebutkan dalama hadits tadi.
Barangkali kita masih ingat ketika Abu Bakar rahimahullah orang-orang murtad, padahal mereka masih mendirikan shalat dan terbiasa ke masjid, namun tak seorang pun dapat memberikan kesaksian tentang keimanan mereka. Mereka di perangi dan di bunuh karena berpaling dari salah satu hukum dari sekian banyak hukum Allah, walaupun mereka melaksanakan hukum yang lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang secara terang-terangan berpaling dari semua hukum Allah dan rela menerima hukum selain hukum Allah?[4]
Lebih aneh lagi, kini di antara kaum muslimin ada yang beranggapan zikir dengan cara khalwat ta’abbudiyah--yaitu menyepi dan menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya--adalah jalan terbaik, padahal hal ini yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Tentu, hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Jilul Faridl--generasi unik, salafush shalih tiga generasi abad pertama Islam.
Seharusnya kita berzikir melalui berbagai macam taklif. Ketika datang taklif berjuang menghadapi musuh, maka zikir kita adalah berjihad di jalan-Nya. Ketika datang taklif agar kita menggauli istri dengan baik, maka zikir kita adalah mu’syarah bil ma’ruf. Ketika datang taklif mendidik keluarga, maka kita pun mendidik mereka agar dijauhkan dari api neraka.
Begitu pula ketika datang taklif mencari karunia Allah, maka zikir kita adalah bertebaran di muka bumi untuk memperoleh sebagian rezeki-Nya dan demikian halnya ketika datang taklif untuk memakmurkan bumi, maka kita pun membekali diri dengan ilmu yang bisa mengambil manfaat dan mengeksploitasi alam bagi pemakmuran bumi, pemberdayaan manusia dan peradabannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“.... Dia-lah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah), dan menjadikanmu pemakmurnya,...” (Huud: 61)
4.6 Aspek Politik dalam Bingkai Ibadah
Di antara kesimpulan penting dari kajian tentang konsep ibadah adalah menjalankan berbagai jenis aktivitas dalam segala aspek kehidupan, di samping syiar-syiar ta’abbudi. Dimulai dari kegiatan politik yang merupakan pengawasan umat atas penguasa (pemerintah), menyampaikan nasihat kepadanya, dan menegakkan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar.
Semua ini dalam rangka menegakkan pemerintahan yang bersih dan sesuai dengan perintah Allah dan Syari’at-Nya. Juga menegakkan keadilan Rabbani, sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, umat dapat merasakan nikmatnya kehidupan di bawah naungan Islam yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya.
Inilah makna dari ayat berikut:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, Kucukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Kuridlai Islam menjadi agamamu.” (Al-Maidah: 3)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, juga ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus Nabi kepada umat sebelumku, kecuali terdapat pendukung dan sahabat yang melaksanakan Sunnahnya dan menuruti perintahnya. Setelah mereka tiada, muncullah generasi berikutnya yang menyalahi mereka, mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad melawannya dengan tangannya, berarti ia beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan lisannya (hujjah dan bayan), maka ia beriman. Dan barangsiapaa yang berjihad dengan hatinya, maka ia pun beriman. Namun, di luar itu semua (tidak berjihad melawan mereka), maka ia tidak memiliki iman.”[5]
Ayat di atas menegaskan bahwa sumber kekuasaan mutlak di dalam masyarakat Muslim adalah Allah dan Rasul-Nya. Kemudian memerintahkan menaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak dalam segala hal, baik itu berupa larangan maupun perintah yang datng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Selanjutnya perintah untuk menaati Ulil Amri dari kalanganmu, selama perintah itu sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab tak ada ketaatan bagi mahluk dalam hal kemaksiatan. Rasulullah bersabda:
“Taat itu hanya pada hal yang ma’ruf.” (Asy-Syaikhani)
Adapun hadits di atas menunjukkan bagaimana sikap umat bila terjadi penyimpangan terhadap hukum Allah. Setiap penyimpangan harus diperangi dengan tangan, lisan, ataupun hati untuk meluruskan kembali ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Serta mengaitkan langsung tindakan ini dengan keimanan.
Tingkatan minimal dalam memerangi penyimpangan di atas adalah dengan kebencian hati. Sebab jika tidak, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan secara tegas mengatakan bahwa iman tiada lagi dalam hati kita.
Dengan demikian, aktivitas politik--seperti telah dijelaskan di atas-- juga merupakan bagian dari aqidah dan ibadah, sebagaimana dipahami oleh generasi pertama umat ini. Berikut ini kisah menarik di masa khalifah Umar bin Khaththab rahimahullah berkuasa:
Suatu saat ketika ia sedang berkhotbah, ada seorang sahabat (rakyatnya) mengajukan protes seraya berkata: “Hari ini kami tidak akan taat dan patuh kepadamu, kecuali jika Anda berkenan menjelaskan kepada kami perihal baju yang Anda pakai dari mana asalnya?”
Kisah lain menyebutkan ketika Umar Ibnu Khaththab rahimahullah memerintahkan seorang wanita agar tidak memberatkan mahar (emas kawin), maka wanita itu berkata: “Engkau benar-benar telah membatasi kelonggaran, padahal Allah berfirman: ‘Kalian memberi harta yang banyak kepada salah seorang di antara wanita itu’. Apakah Anda hendak menyulitkan orang?” Umar pun menjawab: “Umar bersalah dan perempuan itu benar”.
Tekanan politis yang dilakukan sejak awal dinasti Umayyah dalam kehidupan umat Islam, kemudian umat secara bertahap melalaikan kewajibannya dan faham tasawwuf yang timbul akibat tatanan dalam kehidupan umat, serta Murji’ah yang membatasi makna iman dengan hanya tashdiq (membenarkan dengan hati) dan ikrar semata sebagai jaminan masuk surga adalah merupakan faktor-faktor yang mempersempit makna ibadah--makna yang tersirat dan tersurat dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in--sebagai syiar-syiar ta’abbudi semata. Selanjutnya, Islam dianggap sebagai agama pribadi, aktivitas individual. Pada saat itulah manusia menjauhkan diri dari aktivitas politik Islami. Namun, Jama’ah Muslimin tetap melakukannya, sehingga merekalah yang berhak mendapatkan predikat Khaira Ummah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah:
“Kalian adalah Khaira ummah yang dilahirkan bagi manusia, kamu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran serta beriman kepada Allah....” (Ali Imran: 110)
Ketika aktivitas politik dikeluarkan dari konteks ibadah, maka lepaslah ikatan Islam yang pertama, yaitu ikatan hukum. Pada awalnya hal ini tidak merupakan perkara yang merusak, sebab manusia yang hidup dalam masyarakat Islam tetap berhukum kepada syariat Allah. Mereka merasa tidak perlu mengambil hukum selain hukum-Nya sebagai undang-undang yang wajib ditaati dan dilaksanaakan. Tetapi selanjutnya berhukum kepada syariat Allah itu diiringi dengan berbagai penyimpangan dan tindak kezaliman yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan hukum tidak sempurna, tidak lagi berjalan sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang pernah dilaksanakan salafush shalih. Maka waktu pun berjalan seiring dengan pelaksanaan hukum yang diwarnai dengan penyimpangan dan kezaliman, hingga sampai pada zaman modern ini ikatan Islam itu telah benar-benar hancur. Bahkan, syariat-syariat Islam telah disingkirkan dan diganti dengan undang-undang buatan manusia. Jelaslah bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan berikut ini:
“Ikatan-ikatan Islam akan dilepaskan satu-satu. Yang pertama dilepaskan adalah ikatan hukum dan yang terakhir adalah ikatan shalat.” (HR Imam Ahmad)
Melepaskan aktivitas politik dari konteks ibadah tidak hanya membawa bencana dalam hal sempitnya pemahaman aqidah dan ibadah saja, akan tetapi lebih parah lagi, secara berangsur-angsur krisis pemahaman ini melanda segi-segi lain yang lebih luas. Sedikit demi sedikit, namun pasti setiap amalan (di luar syariat) dilepaskan dari ikatan iman dan ibadah. Padahal Allah telah memperingatkan:
“Hai manusia, sungguh kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabmu, maka kamu pasti akan menemuinya” (Al Insyaqaq: 6)
Aktivitas seseorang dikatakan lepas dari kaitan iman ketika pengertian iman dibatasi pada tasdiq dan ikrar semata. Aktivitas seseorang juga telah lepas dari konteks ibadah. saat pengertian ibadah dibatasi pada syiar ta’abbudi saja.
Jika hal itu terjadi pada diri seseorang, setiap amalnya tidak lagi berorientasi pada ibadah. Amal itu dilakukan mungkin dengan tujuan sekadar mendapat penghasilan, kepuasan, dan kepemilikan, atau mencari kemenangan dan kesuksesan, atau sekadar kesenangan untuk memenuhi kepuasan indrawi atau kegemaran, atau sekadar kegemaran, atau tujuan lain yang tidak berkaitan dengan iman dan ibadah kepada Allah SWT. Akibatnya terjadilah pemisahan antara ibadah di satu pihak dan amalan di pihak lain. Manusia pun membagi waktunya untuk beribadah dan beramal, serta yang tak termasuk keduanya, yaitu sekadar mengisi waktu luang, bersenang-senang, atau rekreasi. Ketiga hal itu tidak mempunyai kaitan sama sekali. Jika seseorang melakukan yang satu, terlepaslah kedua lainnya.
Dr. Fahmi Huwaidy mengatakan:
Telah menjadi kesepakatan kita bahwa sekularisme merupakan suatu pandangan yang tertolak dari konsepsi Islam. Sebab, Islam merupakan asas risalah yang mengatur segala urusan umat manusia (masyarakat) yang meliputi berbagai ragam tingkat hubungan, baik hubungan antara manusia dan manusia, atau antara pemerintah dan rakyatnya. Namun, dengan penolakan ini bukan berarti persoalan itu telah selesai. Sebab, kita akan dihadapkan pada pertanyaan berikut, yakni: apa dan bagaimana formula pemerintah tersebut?
Pertanyaan seperti itu selalu saja muncul, terutama setelah terjadi revolusi Iran yang menampilkan wajahnya secara khas (Negara Islam versi Syiah dengan Imamahnya) dan setelah para ulama berperan dalam kancah politik (hukum) atau urusan kenegaraan yang sering disebut wilayatul faqih (di Iran). Inilah persoalan yang dianggap lebih rumit mengenai hubungan antara agama dan poltik.
Sikap dan pemikiran “pemilahan” antara agama dan dunia telah diketahui sejak sembilan abad yang lalu. Namun, kalaulah boleh saya katakan bahwa orang yang meletakkan teori tentang agama dan negara adalah seorang pakar hukum Islam terkenal dari Bagdad, yaitu Abul Hasan Al Mawardi (364-450). Dengan karya-karyanya, terutama Al Ahkamus Sulthaniyah, Al Mawardi selalu dikenang oleh peneliti Islam dari mancanegara. Bahkan menurut saya, ada karyanya yang lebih prinsipil, yaitu Adab Ad Dien wa Dunya.
Saya mengenal buku tersebut tidak secara langsung, tetapi melalui buku Taqaddum ‘Inda Mufakkiril Islam fil ‘Alamil Arabil Hadits (Kemajuan Menurut Pandangan Pemikir Islam di Dunia Arab Modern). Buku ini ditulis oleh seorang dosen filsafat dan pemikiran Arab di Universitas Yordan, Dr. Fahmi Jad’an, pada 1979.
Dalam buku tersebut, Fahmi Jad’an mengatakan bahwa teori Al Mawardi bergerak di antara dua kutub, yakni Allah dan manusia, dunia dan akhirat, serta bumi dan langit. Al Mawardi tidak melahirkan suatu pemikiran, tetapi hanya mengungkapkan unsur keadilan (Anashirul Mu’adalah) dan keseimbangan (tawazun). Penjelasan tersebut selaras dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah.
Dalam bukunya, Mawardi mengatakan:
Dengan menegakkan agama (baca Al Islam), kebahagiaan akan terwujud.
Untuk memperbaiki dunia, menurutnya ada enam syarat yang diperlukan, yaitu:
1. Agama dan keyakinan yang benar-benar diamalkan.
2. Kekuasaan yang kuat , yakni kekuasaan Ad Dien, yang tidak akan sirna, kecuali jika hukum-hukumnya diubah atau panji-panjinya dimusnahkan.
3. Undang-undang yang berfungsi menciptakan keadilan.
4. Hak sipil yang berfungsi menciptakan keamanan.
5. Sistem ekonomi yang berfungsi memeratakan kesejahteraan materi.
6. Sumber daya manusia yang berwawasan (Insaniyah Mustaqbaliyah) yang berfungsi membuka pintu harapan dan cita-cita di masa datang.
Uraian tersebut diperkuat oleh dalil Alquran dan Assunnah, antara lain:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi… (Al Qashash: 77).
Firman Allah SWT:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain) dan hanya kepada Rabmulah hendaknya kamu berharap” (Al Insyirah: 7-8).
Sabda Rasulullah SAW:
”Bukanlah yang terbaik di antara kamu orang yang meninggalkan dunia untuk akhirat atau akhirat untuk dunia. Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengambil ini dan ini (dunia dan akhirat)”
[1] Al-Wala’ wal Bara’ Fil Islam. Hal. 23-25
[2] Mafhumul Ibadah. Muhammad Quthb. Hal. 192-193
[3] HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi. Menurut Syaikh Al-Albani hadist ini sanadnya lemah. Lihat Dlaiful Jami’ Ash-Shagir, I: 84.
[4] Mafhumul Ibadah. Halaman 196-197
[5] HR Muslim
TAFSIR ALFATIHAH BAG.6 (03/6), oleh mutawalli
6.3 Mengusai Media Massa Guna Menghapus Citra Buruk Yahudi
Sejarah umat manusia telah menjadikan Yahudi sebagai simbol kebencian, kesialan, kejahatan, dan kelicikan. Wajar jika para sastrawan meminjam objek Yahudi dalam karyanya untuk melukiskan kebencian. Bahkan, seorang pujangga Inggris terkemuka, Willian Shakespeare, dalam salah satu puisinya menampilkan Scheiloc sebagai tokoh Yahudi puritan yang rakus,licik, busuk, dan pendendam.
Dengan apa mereka menghapus segala simbol kejelekan yang dialamtkan kepada mereka di hadapan umat manusia seluruh dunia? Bagaimana bangsa Yahudi mencuci mencuci otak masyarakat internasional, khususnya Ameerika dan Eropa—kecuali Islam yang tidak dapat dibohongi karena sifat mereka itu tergambar jelas di Al-Quran—hingga gambaran-gambaran tercela bangsa Yahudi yang kikir, jelek, busuk, haus darah,egois,dan pengecut dapat berubah menjadi sosok yang cerdas, pemberani, jenius, tekun, kreatif, intelek, dan penuh cita-cita dan ide masa depannya? Itulah kondisi yang mesti diwaspadai oleh setiap orang di dunia manapun, oleh bangsa apapun.
Melalui perjuangan panjang dan kerja keras tiada lelah, Yahudi terus bangkit mengubah wajahnya dengan menyandarkan hukum kausalitas yang hanya ingin mencapai kemapanan dan kekuasaan di dunia internasional, tentu melalui makar-makar jahatnya, yang terselubung maupun yang terang-terangan. Sebenarnya apapun yang mereka perbuat sehingga sukses dan mampu mengubah opini dunia tentang sifat dan karakter jeleknya, kalaupun tampak sebaliknya, hanyalah ibarat film kartun Casper, hantu yang baik. Semua orang tahu, tidak ada satu pun hantu di dunia ini yang baik, kecuali dalam rangka Mudahanah (berbuat baik untuk sementara guna menutupi makar jahatnya), guna menipu orang dan mengubah opini dunia.
Wasilah yang paling efektif adalah penguasaan media massa, mngusai dunia informasi. Dengan menguasai informasi, dunia bisa digenggam tangannya.
Fuad bin Sayyid Abdurrahman Ar-Rifa’i mengatakan,
“Kerja keras Yahudi belum menghasilkan target yang diinginkan, terutama pada dekade 40 tahun pertama abad dua puluh. Citra buruk Yahudi sangat sulit dihapus. Namun, ada juga hal yang menandai keberhasilan mereka kerika Nazi jerman atas prakarsa Hitler mengadakan propaganda besar-besaran untuk mengusir bangsa Yahudi. Akibatnya, media massa yang didominasi Yahudi segera mengekspos berbagai versi pembantaian masal atas kaum Yahudi. Mereka segera menyebarluaskan foto-foto wanita dan anak-anak dalam ekspresi gelisah, penuh cemas dan ketakutan guna menarik simpati dunia. Selain itu, mereka pun menuduh Hitler sebagai anti-Semit. Pengusiran Yahudi oleh Nazi dipublikasikan sebagai tragedi holocaus agar masyarakat dunia menaruh simpati dan iba yang selanjutnya berubah menjadi perasaan bersalah dari masyarakat dunia, terutama bangsa Jerman. Selain itu, ini dilakukan juga untuk mengumpulkan materi ganti rugi dan bantuan kemanusiaan. Ahli sejarah di Los Angeles menyediakan hadiah sebesar 50 ribu dollar untuk pihak yang membuktikan secara baik kebenaran peristiwa tersebut. Hingga detik ini, ahli sejarah terutama Wills Carto masih menunggu orang yang mampu membuktikan tragedi tersebut (1987 ketika artikel ini ditulis).
Semit adalah keturunan Sam, salah seorang putra Nuh as yang di dalamnya termasuk bangsa Arab, Yahudi, dll. Pihak-pihak yang berhasil membongkar skandal-skandal Yahudi dianggap sebagai anti-Semit.
Di satu sisi provokasi yang digulirkan Hitler dapat menciptakan penderitaan bangsa Yahudi. Namun, di sisi lain, dengan berubahnya opini dunia, mereka mengeruk keuntungan yang sangat besar.5
Dengan kelicikannya, Eropa dan Amerika tercuci otaknya dan kemudian berbalik opininya, yang tadinya menganggap Yahudi itu sebagai simbol kerakusan, pengkhianat, dan pengecut, kini menjadi sosok yang teladan, tekun, kreatif,intelek, dan pemberani. Melalui dominasi media massa international yang mereka cetuskan dalam konferensi international di Swiss (tahun 1897), mereka telah berhasil mewujudkan sebagai impiannya.
Propaganda Yahudi biasanya ditujukan untuk:
1. Mengungkapkan kembali kekalahan kaum Nasrani pada perang Salib, terutama kekalahan di daerah Hittin ketika umat Islam berhasil mengusir mereka dari Palestina. Melalui cara ini, kebencian umat Nasrani terhadap Islam akan terungkit kembali.
2. Menggambarkan bangsa Arab (Islam, maksudnya) sebagai bangsa terbelakang, primitif, terkukung, hedonis, pemabuk, penjudi, pemuas syahwat, dan kebiasaan primitif lainnya.
Kita masih ingat Yahudi terusir dari Madinah. Mereka mencari celah-celah untuk menjatukan umat Islam. Sistem kekerasan militer sangat mereka hindarkan karena hanya akan memicu persatuan ke arah kekuatan yang dasyat dari umat Islam. Mereka gunakan politik pecah belah dan penurunan kualitas umat dalam tubuh umat Islam. Oleh karena itu, cara yan gterbaik bagi kita adalah kembali kepada manhaj Islam yang lurus guna menghadapi makar jahat mereka yang penuh kelicikan itu.
6.4 Strategi Global Yahudi dalam Mendominasi Dunia International
Melalui prakarsa seorang Yahudi Inggris, Rothschild, pada tahun 1788, terbitlah untuk pertama kali di Inggris sebuah majalah yang kini sangat populer, The Times. Melalui prakarsanya, Zionis Internasional menanamkan investasi besar-besaran agar majalah itu dapat sepenuhnya mereka kuasai.
The Times menjadi majalah Yahudi tulen setelah dibeli seorang milyuner berbangsa Australia, yang bernama Robert Murdoch yang disebut-sebut penyelamat The Times dari krisis ekonomi. Tidak hanya itu, banyak majalah yang dikuasainya, seperti The Sunday Times, The Fleet Street, Sun News of the World, City Magazine. Majalah mingguan ini adalah majalah vulgar yang beroplah lebih dari 4 juta eksemplar per minggu. Selain itu, bangsa Yahudi juga menguasai media massa lain di Inggris, seperti The Daily Exspress, Sunday Exspress, The Daily Mail, Evening News, The Sunday Bible, dll.
Di Amerika terdapat sejumlah media massa yang tidak kalah bergengsi, antara lain, New York Times, yang terbit sejak 1841. Pada 1896, surat kabar tersebut dikuasai oleh Adlf Osh, warga Yahudi, sebagai penyelamat dari krisis dan mengambil alih dari tangan pemiliknya, Henry Ranmond. Kemudian, surat kabar bergengsi lainnya yang juga dikuasai oleh Yahudi adalah The Washington Post. Zionis juga menguasai surat kabar besar lainnya, seperti The Daily News dan The New York Post. Lalu majalah mingguan keluarga paling populer, Good House Keeping. Di bidang seni, terdapat majalah seni dan film yang turut ditandatangani oleh 171 insan perfilman yang mendukung kampanye anggota Kongres Amerika simpatisan Yahudi lewat bantuan materi dan moril. Pernyataan berbentuk iklan sehalaman penuh itu berisi antara lain,
“Dukungan terhadap calon-calon yang mempercayai Israel bukan untuk kepentingan Israel belaka, melainkan juga demi kepentingan bangsa dan warga negara Amerika. Cara paling efektif untk melindungi kepentingan Amerika di Timur Tengah cukup memilih 50 anggota kongres yang benar-benar yakin akan perlunya eksistensi dan kelangsungan israel. Kepercayaan terhadap Israel akan memperkuat Amerika Serikat”. [1]
Seperti halnya di Inggris dan Amerika, di Prancir pun terdapat sejumlah majalah dan harian bergengsi dan beroplah besar yang dikuasai Yahudi, Zionis Internasional. Harian Massa adalah salah satu harian yang paling menonjol warna dan dominasi Zionisnya. Dalam harian tersebut, warga Yahudi memperleh kebebasan untuk mengungkapkan ide dan keinginannya. Max Nordaw dalam tulisannya yang dimuat dalam salah satu terbitan harian tersebut mengatakan,
Kami bukan bangsa Jerman, Inggris, atau Prancis. Identitas kami jelas dan masyhur, yaitu bangsa Yahudi. Keyakinan mereka yang Masehi berbeda dengan keyakinan kami. Kami bangsa yang mandiri. Hertzl telah menjelaskannya kepada mereka. Untuk kami, kami keberatan jika mesti menyelam dalam cangkir kecil mereka.
Kenyataan sekarang menunjukkan, masyarakat dunia telah kecanduan menerima media massa yang disebarkan Yahudi yang mengeksploitasi artis Hollywood. Sementara, jika disodori berita-berita yang menyangkut Islam, media massa tersebut akan bungkam dan pura-pura tidak tahu walaupun ratusan, bahkan ribuan, kaum muslim dibantai.
Memang benar, orang-orang Yahudi bersekutu dengan kaum Atheis, Komunis, dan Nasrani untuk memusuhi Islam. Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman, yaitu orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al-Maidah: 82)
Contoh aktual adalah tragedi yang menimpa kaum Muslim di Bosnia-Hergezovina, mulai dari anak-anak hingga wanita lanjut usia. Begitu juga di Myanmar, Thailand, Pattani, Eritria, Ethiopia, Cyprus, Kashmir, Chad, Madagaskar, Nigeria, Senegal, dan lain-lain. Warga Muslim di sana sudah tidak dihargai lagi.
Allah berfirman:
“Mereka merencanakan makar (jahatnya), dan Allah pun mempunyai rencana makar (atas mereka). Dan, Allah-lah sebagai (pemilik) makar yang terbaik.” (Al-Anfal: 30)
Tidak hanya media massa yang dikuasai oleh Zionis Internasional, tapi juga dalam dunia perfilman, drama, dan periklanan.
Semuanya sudah jelas, tidak perlu dipaparkan lagi di sini. Hal ini merupakan cermin karakter dan kepribadian asli yahudi yang tidak akan bisa berubah sepanjang zaman. Allah menegaskan perilaku mereka dengan firman-Nya:
“Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (Ali Imran: 118)
Semakin jelas bagi kita, setelah terpilihnya Benyamin Nettanyahu sebagai orang nomor satu di Israel, yang menampakkan secara terang-terangan apa yang disebut Allah dalam ayat di atas. Di balik yang tidak tampak, tentu tidak hanya jauh lebih membahayakan perdamaian di Timur-Tengah, tetapi bagi kaum Muslim di belahan bumi mana pun. Dikuasainya PBB dan Dewan Keamanan PBB, lalu petinggi-petinggi sejumlah negara Amerika dan Eropa, semakin mengukuhkan sepak terjang Israel dalam mewujudkan klaim dan keangkaramurkaannya.
Sehubungan dengan pentingnya menguasai ini, Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq memasukkan penguasaan informasi bagi dunia Islam. Memiliki kantor berita sendiri yang berkaliber internasional merupakan bagian dari jihad fi sabilillah, yang disebutnya dengan istilah jihadul i’lam. Di samping jihad yang lain, seperti I’dad dan Tarbiyyah (mempersiapkan dan mendidik) generasi penyongsong zaman, serta jihad qital (di medan laga). Pernyataan ini disebutkan dalam karyanya Fushul minas Siyasah Asy-syari’ah.
Ujung dari semua makar Yahudi itu tidak lain adalah menurunkan kualitas iman kaum Muslim dan menjerumuskannya kepada dekadensi moral dan kerusakan di muka bumi. Sebagaimana firman Allah:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusakkan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Al-Baqarah: 205)
Sebutan ‘ia’ dalam ayat ini, pada beberapa riwayat shahih adalah ‘orang munafik’.
Namun, kita harus sadar bahwa sifat nifak itu telah menjadi karakter Yahudi. Mereka adalah orang paling munafik di muka bumi.
Pada zaman kita sekarang ini, setidaknya terdapat tiga tokoh utama Yahudi yang menjadi sutradara berbagai malapetaka dan kerusakan di muka bumi ini, yaitu Marx, Freud, dan Durkheim. Ketiga tokoh ini, dengan berbagai pernyataan dan teori-teorinya, cukup menjadi alasan bagi Muhammad Quthb untuk membuktikan hal tersebut di atas. Tokoh pertama, Karl Marx, melahirkan teori ekonomi sosial dan filsafat politik yang dikenal dengan ‘dialektika materialisme’. Teori ini meluncurkan paham Historical Materialism, yang kemudian muncul menjadi komunis.
Tokoh kedua, Sigmund Freud, melahirkan teori psikologi yang dikenal dengan paham ‘Libido Seksual’ bagi perilaku manusia.
Sedangkan tokoh yang ketiga, Durkheim, melahirkan teori sosiologi. Di antara teorinya yang paling menonjol adalah paham ‘Logika Kolektif’ yang menggerakkan individu dari luar eksistensinya dalam bentuk pasti yang dalam waktu sama terus menerus berubah.
Jika ada pertanyaan, apakah teori ini tidak ada manfaatnya buat manusia dalam kehidupan? Jawabannya, tentu ada manfaatnya. Namun, madlaratnya jauh lebih besar daripada maslahat dan manfaatnya.
Misalnya, Freud berkata:
“Seks yang lahir bersama kelahiran bayi adalah kekuatan pokok bagi potensi kehidupan manusia. Karena itu, segala perilaku bayi, seperti menyusui, mengisap ibu jarinya, menggerakkan anggota badannya, kencing, dan buang air besar disertai dengan kenikmatan seksual. Kemudian, dengan keasyikan seksnya, anak tersebut timbul rasa malu kepada ibunya. Namun, ia menahannya karena takut kepada bapaknya. Sehingga, karena penahanannya itu, pada diri anak itu tumbuh agama, akhlak, dan tradisi menjadi sumber hati nurani. Sedangkan, bagi anak-anak perempuan timbul kebalikannya yang disebut dengan istilah ‘elektra kompleks’. Keduanya merupakan belenggu terhadap seks remaja yang menyebabkan berbagai penyakit kejiwaan dan saraf. Obatnya adalah melepaskan diri dari belenggu agama, akhlak, dan tradisi religius serta hati nurani.”
Teori yang tidak bersandar pada studi ilmiah ini sudah jelas arahnya. Namun, andaikan masih ada kesamaran bagi kita, masih bisa kita tengok dalam protokolat Yahudi. Misalnya, yang tertera dalam protokolat keempat, “Freud dari komunitas kita. Ia akan senantiasa mengetengahkan persoalan-persoalan seks segamblang mungkin sehingga remaja muda-mudi menjadi tidak malu dan tidak canggung melakukan kegiatan seks.”7
Selanjutnya Muhammad Quthb mengatakan, “Barangkali jika ada seorang yang mengatakan bahwa teori itu sebagai suatu kerusakan yang tidak layak bagi alam kemanusiaan, penganut Marxis akan mengatakan ‘Itu bukan kerusakan, tetapi suatu kemajuan’; kemajuan (tathawwur), determinise (hatmiyyun).”
Mereka menambahkan, “Sesungguhnya suprastruktur yang terdiri dari seperangkat ideologi, fikrah, peraturan-peraturan, lembaga-lembaga, dan yayasan-yayasan tidak lain adalah refleksi dari perkembangan materi itu sendiri dimana manusia termasuk didalamnya, secara determinan pula. Dari situ, jelas suprastruktur itu berubah mengikuti materi. Maka, ideologi dan keyakinan, pemikiran dan nilai-nilai moral serta berbagai tradisi religius pun berubah digantikan oleh yang cocok dengan perkembangan baru.”
Kemudian, mereka memberi tekanan terhadap moralitas seksual itu sendiri dengan mengatakan, “Pada masa agraris terakhir, menjaga kesucian diri merupakan perkara paling penting. Karena, masa itu masa dominasi pria, yakni dia berusaha mencari nafkah dan memberi nafkah. Kini, wanita telah diberi kebebasan berekonomi sehingga nilai-nilai penjagaan kesucian diri yang pernah eksis pada masa agraris akan sirna dengan sendirinya. Mengapa? Karena laki-laki tidak lagi mendominasi wanita dan wanita pun, setelah terjadi liberalisasi ekonomi berhak menyerahkan dirinya kepada siapa pun yang ia sukai. Akibatnya, akan lahir new morality yang sesuai dengan era industrialisasi yang maju dan berkembang. Sebuah moral yang tegak di atas hubungan bebas (Alaqat hurrah) antara lelaki dan perempuan.8
Menyusul kemudian Durkheim, mendukung teori-teori tersebut dari sisi lain. Dalam sebuah karyanya Qawa’idul Manhaj fi ‘Ilimil Ijtima’ (Dasar-Dasar Metode dalam Ilmu Sosial), ia mengatakan,”Dari arah sini (sifat fitrah perilaku manusia), sebagai ilmuwan mengatakan adanya rasa keagamaan yang fitri bagi manusia, dan bahwa yang terakhir ini dibekali dengan batas paling rendah dari kecenderungan seksual dan berbakti kepada orang tua serta mencintai putra-putri serta perasaan-perasaan lainnya. Sebagiannya lagi mengatakan, bahwa hal ini tumbuh dari agama, perkawinan, dan keluarga. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa kecenderungan-kecenderungan tersebut pada manusia bukanlah bersifat fitri.”
Begitulah, tiga teori bertemu dan saling menguatkan. Ketiganya bertemu ketika bangsa Yahudi dengan tekadnya yang keras ingin menghancurkan musuh abadinya yang menghalangi rencana keji mereka, yaitu Ad-Dien, akhlak, dan tradisi religius yang di dalamnya tercakup pula perkara perkawinan, keluarga, dan moralitas seksual.9
Ketika pemikiran Gereja mendominasi Eropa, yang sebelumnya ingin menetapkan sesuatu, semuanya tetap (tidak berubah-ubah), baik nilai-nilai, sistem, tradisi, moral, kondisi politik, ekonomi, sosial serta pemikiran, mereka pun mengalami kegagalan karena dalam kehidupan ini ternyata ada hal yang tetap dan ada yang berubah-ubah.
Bangsa Yahudi datang untuk memanfaatkan teori Darwin, yang menyatakan segala sesuatu itu berubah-ubah, meliputi dasar dan esensinya, bukan sekadar bentuk dan rupanya. Tentu saja ini kesalahan yang lebih parah daripada kesalahan pertama. Kesalahan pertama menjadikan kehidupan ini statis, beku, dan rusak. Dalam kesalahan kedua, fondasi kehidupan menjadi hancur sejadi-jadinya.
Namun justru inilah yang menjadi niat asli Yahudi, yaitu untuk menghancurkan bangsa-bangsa lain dari dasarnya dan menghancurkan kemanusiaan yang menjadi benteng kokoh dalam menghindari niat Yahudi untuk menjadikan mereka keledai tunggangannya.
Melalui media ketiga revolusi, yaitu revolusi Prancis, revolusi Industri, dan revolusi Darwin, bangsa Yahudi secara gigih ingin mewujudkan impiannya mendominasi dunia. Kini, terwujudlah impian itu. Lebih jauh dari itu, mereka mampu menetapkan siapa saja yang akan memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat. Mereka pula yang mendorong anggota politbiro Komunis di Rusia, Komite Sentral Komunis Uni Sovyet untuk menduduki kursi pemerintahan. Melalui kedua negara adikuasa inilah, Yahudi dapat mengendalikan dan mendominasi bangsa lain di dunia ini.
Dari uraian global tentang strategi Yahudi untuk mendominasi dunia internasional, diharapkan tidak timbul lagi rasa keheran-heranan orang-orang beriman yang bertanya-tanya, ”Mana janji Allah yang hendak menghinakan dan menghancurkan Yahudi? Apakah sunnah Rabbaniyah ini telah berubah?” Tidak, wahai Saudaraku.
Ini semata hanyalah perbandingan mizan antara kita dan mereka. Kita mengatakan bahwa dunia ini tidak bernilai dan hina jika dibandingkan akhirat. Namun, untuk menuju akhirat, tidak ada jalan lain kecuali melalui dunia ini. Hal ini bisa dalam arti memanfaatkan kehidupan dunia dan akhirat yang bahagia; atau dengan mencampakkan akhirat dengan menjadikan dunia ini segala-galanya.
Kita berpegang pada kaidah hukum kausalitas, disertai kepercayaan kepada masyi’atillah. Akan tetapi, Yahudi dan umumnya orang Kafir, hanya mengandalkan hukum kausalitas. Jika begini, hasilnya akan begitu.
Kejayaan dan keteguhan serta kekuasaan yang Allah berikan kepada mereka (Yahudi dkk.) hanyalah istidraj, hanyalah penangguhan waktu yang memiliki batas. Kelak mereka akan mengalami adzab yang tidak berkesudahan. Namun, bagi kita memakmurkan bumi ini merupakan bagian dari manhaj ibadah yang syamil, sebagai tugas kekhalifahan di muka bumi yang juga harus tunduk kepada manhaj ibadah dalam makna yang luas.
5 Yahudi dalam informasi dan Organisasi. GIP. Jakarta. 1995. h.13-15
[1] Fuad bin Sayyid Abdurrahman Ar-Rifa’i, GIP Jakarta, hal. 18-21
7 Ru’yah Islamiyyah li Ahwalil ‘Alamil Mu’ashir. Muhammad Quthb. Dar Al-Wathan Riyadl.
Hal. 105-106
8 Lihat Muhammad Quthb, Bab Komunisme dalam buku Madzahib Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah, h.106
9 Ibid. H. 106
TAFSIR ALFATIHAH BAG.6 (02/6), oleh mutawalli
6.2 Dominasi Yahudi di Pentas International
Allah berfirman:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (Din) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang kafir benci”. (Ash Shaff:8)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Allah tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolong kamu”. (Al Baqarah: 120)
Al Quran banyak mengungkapkan makar Yahudi, walau dalam waktu lama mereka sendiri menyembunyikan makar-makar jahat mereka. Satu-satunya alasan mereka menyembunyikan makar tersebut adalah kekhawatiran bahwa mereka akan mengalami kegagalan dalam melancarkan misinya.
Namun, kini setelah berhasil dengan gemilang, berhasil memegang tumpuk kekuasaan internasional, yang memantapkan pelaksanaan makar jahatnya, mereka tidak perlu memiliki rasa ketakutan lagi akan tersingkapnya makar-makar jahat itu. Bahkan, mereka dengan lantangnya berani dan selalu berusaha membentuk opini dunia bahwa setiap rencana Yahudi akan dapat diwujudkan. Dengan harapan agar tidak ada seorang pun yang berani menghalangi seluruh rencana dan usaha makar mereka.
Kini mereka sengaja menyebarkan buku-buku (yang tadinya) rahasia tentang makar-makar Yahudi, terutama protokolat Yahudi, seperti buku Al Hukumah al Khafiyyah (Pemerintah Tersembunyi), dan buku Al Ahjar ‘ala Riq’atisy Syathranj (Bidak-Bidak di Atas Papan Catur).
Ada dua sumber inspirasi yang mendorong Yahudi begitu sungguh-sungguh dalam mewujudkan impiannya, yaitu ‘Taurat’ dan ‘Talmud’. Jika Taurat, misalnya, adalah kitab suci yang diturunkan Nabi Musa as., kemudian mereka dengan sengaja mengubahnya disana-sini menurut selera hawa nafsu mereka, Talmud merupakan kitab buatan orang Yahudi sendiri. Namun, kitab Talmud lebih dikuduskan oleh Yahudi daripada kitab Taurat. Kedua kitab inilah yang membentuk karakter, pemikiran, dan rencana-rencana Yahudi.
Di antara ajaran (doktrin) yang paling menonjol yang membentuk karakter Yahudi adalah pernyataan Taurat (palsu) yang berbunyi:
”Dan Tuhan akan bicara kepada bangsa Israel. Wahai Israel, Aku akan turun untuk menyerahkan pedang ke tanganmu dan aku akan memotong leher-leher bangsa-bangsa serta mmenghinakan mereka di hadapanmu”. Dan ucapan Talmud yang berbunyi; “Bangsa-bangsa Umamiyyun adalah setiap bangsa selain bangsa Yahudi. Mereka adalah keledai ciptaan Tuhan untuk ditunggangi oleh bangsa pilihan Tuhan (Yahudi) dan jika keledai habis, kita akan menunggangi keledai lain.” 2
Allah SWT. Sama sekali tidak pernah mengatakan, bahwa Bani Israel itu bangsa pilihan yang diistimewakan di atas bangsa lain. Memang benar Allah telah memilih Bani Israel untuk memikul risalah-Nya dan mengutamakannya atas alam semesta. Namun, hal ini semata kehendak Allah yang diberikan kepada siapa saja, Rasul siapa saja, termasuk dalam pemberian kerajaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Hanya Allah saja yang mengetahui rahasia ini, sebagaimana firman-Nya:
“Allah telah mengetahui di mana Dia menjadikan Risalah-Nya”.
(Al-An’am:124)
“Dan Allah akan memberikan kerajaan-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki”. (Al-Baqarah: 247)
“Dan Allah mengkhususkan siapa saja yang Ia kehendaki dengan rahmat-Nya”. (Ali Imran: 74)
Sesuatu yang menjadi persoalan besar bagi Yahudi, adanya klaim bahwa sebagai bangsa pilihan Tuhan, mereka berhak membantai dan menebas leher setiap bangsa selain Yahudi. Bukankah hal ini merupakan legalisasi atas sebutan teroris bagi diri Yahudi? Lalu, mengapa mereka sering menuduh bangsa lain sebagai teroris?
Padahal di dalam Taurat yang asli, terdapat banyak nash yang melancarkan kutukan keras atas bangsa Yahudi. Lebih banyak lagi di dalam Injil dan Al-Quran. Seperti kata-kata, “betapa sangat murka Rabb kepada bangsa-Nya”. Di dalam Injil terdapat pernyataan senada dengan itu yang diulang-ulang, misalnya, “Hai anak ular”.
Al-Quran sebagai kitab suci yang tiada kebatilan sedikit pun di dalamnya, karena Allah sendiri telah menjamin keterpeliharaannya, memang menyebutkan dalam beberapa ayat yang mnerangkan keadaan Bani Israel secara rinci. Mereka pernah mengalami masa kejayaan ketika mereka masih memelihara kesucian dan kemurnian kitabnya. Namun, kemudian Allah menurunkan azabnya manakala mereka mencampakkan kitabnya. Dia mencabut kekuasaan-Nya dan menghinakan mereka, sehingga dikuasai oleh musuh mereka.
Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya telah Kami selamatkan Bani Israel dari siksaan yang menghinakan, (yaitu) dari Fir’aun. Sesungguhnya dia sombong lagi berlebihan. Sesungguhnya Kami telah memilih mereka (Bani Israel) dengan ilmu kami di atas sekalian alam. Dan kami berikan kepada mereka ayat (keterangan) yang di dalamnya terdapat cobaan (ujian) yang nyata”.
(Ad-Dukhan: 30-33)
“Hai, Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan sesungguhnya Aku melebihkan kamu atas sekalian alam semesta”. (Al-Baqarah: 47)
“Dan Kami telah mewariskan kepada kamu yang lemah itu bumi belahan Timur dan belahan Barat yang telah kami berkati di dalamnya. Dan tamatlah kalimat Rabbmu yang baik atas Bani Israel, karena kesabaran mereka. Dan Kami runtuhkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya, serta mahligai mereka yang mereka dirikan”. (Al-A’raf: 137)
Namun ketika mereka berbalik menjadi kufur, Allah pun banyak menyebut ayat-ayat yang mengancam dan memurkai mereka, di antaranya adalah:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan Rasul-Rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa, putra Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus (tiupan Ruhul Qudus oleh Jibril As). Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? Dan mereka berkata, ‘hati kami tertutup’. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka, karena keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang beriman. Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada diri mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Maka, mereka mendapat kemurkaan setelah kemurkaan (pertama). Bagi kuffar itu azab yang menghinakan”.
(Al-Baqarah: 87-90)
Dalam ayat lain Allah menjelaskan kehinaan Yahudi, bangsa Israel:
“.... Dan mereka ditimpa kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal ini (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan (oleh mereka). Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah: 61)
Masih banyak ayat lain dalam Al-Quran yang mengutuk perilaku bangsa Yahudi yang hingga saat ini mereka tetap saja mmengklaim diri sebagai bangsa pilihan Tuhan.
Lembaran sejarah hitam kehidupan bangsa Yahudi ditunjukkan Al-Quran mulai dari membunuh para nabi, mengaku membunuh Al-Masih, putra Maryam (padahal yang mereka salib adalah orang yang diserupakan dengannya), memakan riba, beragama dengan agama yang tidak benar, mengubah ayat-ayat Allah, dan perbuatan tidak benar lainnya. Secara global disebutkan dalam ayat 155-161 surat An-Nisa’, lalu di hampir semua ayat surat At-Taubah.
Yahudi seperti keledai karena diamanati Taurat, tetapi tidak dipikulnya, seperti firman-Nya:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”. (Al-Jumu’ah: 5)
“Mengapakah mereka lari (berpaling) dari peringatan (Allah) ? Seolah-olah mereka keledai yang lari. Lari daripada singa. (Al-Muddatstsir: 49-51)
Mereka adalah golongan yang mencampakkan amal karena mengetahui kebenaran, tetapi tiada beramal dengannya. Sehingga, mereka disebut Allah sebagai Al-Maghdlub. Di samping itu, mereka tidak mempergunakan mata, telinga, dan hati mereka sebagaimana mestinya, sesuai dengan fungsinya masing-masing seperti tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi”.
(Al-A’raf: 179)
Yahudi disebut Al-Fasad dalam Al-Quran, karena karakter buruk mereka.
“Dan mereka berusaha di muka bumi membuat kerusakan. Dan Allah tidak suka orang-orang yang merusak”. (Al-Maidah: 64)
“Dan Engkau lihat kebanyakan mereka (orang-orang Yahudi) amat bergegas berbuat dosa dan permusuhan dan memakan harta haram. Sungguh sejahat-jahat apa yang mereka perbuat”. (Al-Maidah: 62)
“Orang-orang kafir dari Bani Israel telah dilaknat di atas lisan Daud dan Isa bin Maryam. Demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas (zalim). Mereka tidak melarang kemungkaran yang mereka perbuat. Sejahat-jahat apa yang mereka perbuat”. (Al-Maidah: 78-79)
Lepas dari itu, mengapa mereka menonjol dalam beberapa aspek dan dominan peranannya di dunia international? Muhammad Quthb menyebutkan tiga faktor utama yang membuat mereka menonjol, yaitu:
1. Mereka menjadi minoritas yang tidak ada pangkal akhirnya,
2. Mereka menjadi minoritas yang tertindas setelah Allah menentukan mereka sebagai siksaan atas perilaku buruk dan sebagai konsekuensinya atas perbuatannya yang melampaui batas,
3. Takdir Allah telah menentukan minoritas mereka tetap ada.
Allah letakkan pada jiwa mereka keinginan untuk tetap eksis dan berkemauan keras mempertahankan kelompoknya guna melawan kepunahan.3
Yahudi sangat mengerti semua hakikat yang dijelaskan dalam ayat tersebut. Sementara salah satu tujuan eksistensi bangsa Yahudi adalah menjadikan bangsa lain sebagai “keledai-keledai tunggangan”, mereka menyeleweng dan kafir. Orang-orang Yahudi bekerja keras merusakkan aqidah umat manusia dan meruntuhkan moral dengan berbagai cara dan sarana yang dapat mencapai maksud dan tujuan syaitaniyahnya yang buruk itu. Pantas jika kemudian Allah menyebut mereka Al-Fasad dan Al-Ifsad.
Benarkah Yahudi merupakan bangsa terkutuk sepanjang sejarah dan mengapa mereka tertindas?
Muhammad Quthb memberikan jawaban untuk kita: anggapan bahwa bangsa Yahudi menjadi bangsa tertindas semata-mata etnis Yahudi dan tanpa dosa, itu jelas suatu kedustaan yang sama sekali tidak didukung oleh fakta-fakta sejarah. Sejarah selalu membuktikan, semua manusia membenci mereka karena perangai dan perilaku mereka yang sangat buruk itu.
Kebencian itu bukan karena mereka orang Semit dan bukan tanpa alasan atau karena semata-mata mereka Yahudi. Semua orang mengetahui bahwa Yahudi terkenal sebagai pemakan riba, pemakan harta orang lain secara batil, paling bergegas dalam melakukan perbuatan dosa dan permusuhan, penyebr kekejian di muka bumi, pelaku kriminal yang selalu menyakiti umat manusia (teroris) walaupun menusia itu berbuat ihsan kepadanya, dan pembuat keonaran di mana-mana, dan sejumlah perilaku tak terpuji lainnya yang membuat orang lain menjauhi dan muak melihat mereka.
Orang Nasrani telah menindas dan menyiksa mereka di Eropa, karena berkeyakinan bahwa orang Yahudilah yang menyalib Isa Al-Masih. Mereka lari dari Eropa ke dunia Islam, mencari perlindungan ke Andalusia (Spanyol). Di sanalah mereka merasakan perlindungan, keamanan, dan kedamaian serta kebebasan. Di sana pula mereka melakukan rencana-rencana busuknya dengan leluasa tanpa ada gangguan.
Tatkala terjadi perang Salib yang menyebabkan kekalahan kaum muslim di Andalusia, kaum muslim diusir dan hijrah ke Maroko. Untuk menghindari pembantaian dan peninddasa gereja, orang Yahudi pun turut hijrah ke Maroko. Mencari ketenangan, kedamaian, dan kebebasan hidup di bawah naungan Islam.
Begitu pula ketika di bawah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah. Mereka hidup di negeri Islam yang tunduk kepada Daulah Utsmaniyyah, selamat dari pembantaian Eropa. Namun, apa yang mereka lakukan setelah itu? Apa balasan Yahudi terhadap pemerintahan Islam?.
Mereka berusaha meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah dan melenyapkan hukum Islam dari muka bumi. Perilakunya di Palestina sungguh keji. Mereka membantai dan membunuh umat Islam, termasuk anak-anak dan kaum wanita serta orang tua. Mereka dengan biadab memperlakukan tempat-tempat suci Islam serta memerangi Masjid Aqsha.
Kemudian peristiwa empat orang Yahudi kanibal yang menyembelih salah seorang selain bangsa Yahudi pada zaman Muhammad Ali untuk dijadikan kue dalam perayaan Passover cukup populer kisahnya. Mereka tidak mengakui dosanya dan tak tahu malu, walaupun beritanya tersebar ke seluruh dunia.4
Jadi, sebenarnya klaim-klaim yang selau mereka lontarkan hanyalah mitos dan khayalan belaka. Sebab, semua orang tahu betapa jeleknya perilaku Yahudi. Ini terbukti dengan makar-makar jahatnya, terutama di dunia Islam, juga terhadap bangsa lain di luar Yahudi.
TAFSIR ALFATIHAH BAG.6 (01/6), oleh mutawalli
YAHUDI DAN NASRANI
Kesesatan dan Makar Jahat Mereka
6.1 Siapa Al-Maghdlub dan Adl-Dlallun itu?
Pada ayat sebelumnya, Allah menerangkan jalan lurus yaitu jalan yang ditempuh para pendahulu kita dari kalangan para Nabi, Shiddiqun, Syuhada, dan shalihun; orang-orang yang telah diberi anugerah kenikmataan besar oleh Allah. Salafush shalih termasuk golongan ini. Sangat tinggi ketaatan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya, komitmen mereka pada As Sunnah, serta kebencian mereka terhadap bid’ah dan pelaku-pelakunya. Hingga kiamat pun mereka tidak akan goyah. Salafiyyun, para penerus jejak Salafush shalih, begitu pula, senantiasa berada di atas Al Jama’ah dan menetapi jalan As Sunnah, serta berlepas diri dari segala bentuk bid’ah.
Jalan yang ditempuh kalangan Al Maghdlub dan Adl Dlallun adalah menyelisihi jalan lurus dan menyimpang dari Manhaj Rabbani. Pantas jika Allah memurkai mereka dan menganggap mereka sangat sesat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Al Maghdlub ‘alaihim adalah mereka yang rusak iradarnya sehingga sekalipun mereka mengetahui kebenaran (Al Haq), tetap saja mereka menyimpang dari itu. Adapun Adl Dlallun adalah mereka yang mencampakkan ilmu, lebih mementingkan kesesatan, tidak berhasrat mencari kebenaran. Kedua jalan inilah yang ditempuh oleh Yahudi dan Nasrani.
Sesungguhnya jalan yang ditempuh ahlul iman itu meliput ilmu dan amal. Artinya, perkataan dan tingkah laku perbuatan mereka senantiasa dilandasi ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang kebenaran dan mereka beramal dengan ilmu itu.
Sebaliknya, kaum Yahudi mencampakan amal. Mereka mengetahui kebenaran (ilmu), tetapi tidak mau mengamalkannya. Sedangkan kaum Nasrani beramal dengan tidak menggunakan ilmu yang benar. Oleh karena itu, kaum Yahudi disebut ghadlab, kaum Nasrani dikatakan adl dhalal. Sebab berilmu, tetapi tidak beramal layak dimurkai. Beramal tanpa ilmu yang benar pantas menjadi sesat.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
“Orang yang dikutuk oleh Allah dan dimurkai sehingga dijadikan mereka kera dan babi”.
Begitulah Allah mengumpamakan Yahudi.
Adapun orang Nasrani disebut Allah sebagai berikut:
“Mereka yang telah sesat dahulu, dan menyesatkan orang banyak, dan tersesat dari jalan yang benar”. ( )
Diriwayatkan dari Hammad bin Salamah dari ‘Adi bin Hatim:
Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah, Ghairil Maghdlubi ‘alaihim. Rasul menjawab: Yahudi. Dan Wa ladl dlallun, dijawab Rasul: Nasrani itu sesat.
Begitu pula riwayat Sufyan bin ‘Uyainah dengan sanad dari ‘Adi bin Hatim ra. Juga riwayat Ibnu Mardawaih dari Abu Dzarr ra.
Yahudi dan nasrani yang disebut Allah sebagai Ahli Kitab, sebenarnya, jika kita teliti nash Al Quran, tidak lagi beragama dengan agama yang benar dan tidak beriman. Hal ini menunjukan kemukjizatan Al Quran Karim dengan menunjukkan sumbernya, yaitu bahwa Al Quran datang dari sisi yang Maha Mengetahui.
Allah juga menunjukkan hakikat kekafiran dan kemusyrikan yang ada dalam diri Ahli kitab secara jelas.
Firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar, (yaitu) yang diberi kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (At Taubah:29)
Orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah.” Dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putra Allah.” Itulah ucapan dari mulut mereka yang meniru perkataan orang kafir dulu. Allaj melaknat mereka.
Bagaimanakah mereka bisa berpaling? Kaum Yahudi menjadikan alim dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Nasrani pun demikian, menuhankan Al Masih, putra Maryam. Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Ilah yang Maha Esa. Tidak Ilah kecuali Dia. Maha Suci dia dari apa yang mereka persekutukan. Mereka hendak memadamkan cahaya (Din) Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, sekalipun orang kafir itu tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-nya dengan petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan atas semua agama walaupun orang musyrik tidak senang.
Firman Allah:
“Wahai orang-orang beriman. Susungguhnya sebagian besar orang alim Yahudi dan rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil. Mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Orang-orang menyimpan emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beri tahukanlah mereka bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka. Kemudian dikatakan kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Rasakanlah sekarang (akibat) dari yang kamu simpan itu”.
(At-Taubah: 34-35)
Ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana Allah hendak menentukan hukum final hubungan kita, kaum Muslim, dengan Ahli Kitab. Berbeda dengan ayat sebelumnya yang menerangkan hubungan kaum muslim dengan masyarakat musyrikin di jazirah Arab.
Sayyida Quhtb mengatakan:
Ayat-ayat itu hendak menentukan tabiat hubungan tersebut, maka ayat-ayat tadi juga menentukan bagaiman keadaan Ahli Kitab. Ayat-ayat itu menyatakan bahwa Ahli Kitab itu syirik, kufur, dan batil. Lalu ayat-ayat itu mengemukakan realitas yang menjadi dasar hukum ini, baik kepercayaan Ahli Kitab, kesucian, dan keserupaannya dengan kepercayaan orang-orang kafir dahulu, maupun perilaku dan tindakan mereka yang nyata.
Nash-nash di atas menetapkan bahwa:
1. Ahli Kitab tidak beriman depada Allah dan hari kiamat,
2. Ahli Kitab tidak mengharamkan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya,
3. Ahli Kitab tidak beragama dengan agama yang benar,
4. Yahudi mengatakan Uzair putra Allah. Dengan ucapan itu mereka telah meniru ucapan orang kafir sebelumnya, baik kaum kafir berhalaisme Yunani, kaum berhalaisme Romawi, kaum berhalaisme India, maupun kaum kafir lainnya.
5. Ahli Kitab menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereeka sebagai Tuhan. Mereka menjadikan Al Masih sebagai Tuhan. Dengan demikian, mereka telah menyalahi apa yang telah diperintahkan kepada mereka agar mereka mentauhidkan Allah dan hanya taat kepada-Nya. Mereka menjadi orang-orang yang musyrik.
6. Ahli Kitab memerangi jalan Allah karena ingin memadamkan cahaya-Nya dengan mulut mereka. Dengan ini, mereka menjadi ‘orang-orang kafir’.
7. Kebanyakan orang alim dan rahib mereka memperoleh benda dengan jalan yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.
Berdasarkan karakter-karakter Ahli Kitab ini ditetapkan hukum-hukum final yang mengatur hubungan antara mereka dan kaum beriman yang menjalankan manhaj-Nya.1
Di Makkah, ketika itu, komunitas Yahudi ataupun Nasrani tidaklah banyak. Mereka juga tidak mempunyai bobot dalam masyarakat. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran, disana masih terdapat individu yang menerima ajakan baru menuju Islam dengan senang hati, pembenaran, dan penerimaan yang baik. Mereka masuk Islam dan bersaksi bahwa Islam, juga Rasul-Nya, benar dan membenarkan apa yang ada di kawan mereka. Mereka tentu saja orang Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang yang masih terdapat sedikit sisa kitab-kitab yang diturunkan pada mereka. Keberadaan orang-orang seperti itu digambarkan dalam ayat berikut:
“Orang-orang yang telah kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Quran, mereka beriman pula dengan Al Quran itu. Jika dibacakan (Al Quran) kepada mereka, mereka berkata, ”Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al Quran itu adalah kebenaran dari Rabb kami. Sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkannya”.
Keterangan yang senada diperkuat pula oleh ayat-ayat 107-109 surat Al Isra’; ayat 10 Al Ahqaf; ayat 47 surat Al Ankabut; ayat 114 surat Al An’am.
“Dan orang-orang yang telah kami berikan kitab, mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu. Dan di antara golongan-golongan yang bersekutu (Yahudi dan Nasrani), ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: ‘sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan dia dengan sesuatu pun. Hanya kepada-Nya aku seru manusia dan hanya kepada-Nya aku kembali”. (Ar-Ra’d: 36)
Sambutan serupa juga dilakukan oleh sebagian Ahli Kitab di Madinah. Al Quran menceritakan berbagai sikap mereka dalam surat-surat Madaniyah yang sebagian besar orang Nasrani itu. Hal itu disebabkan orang-orang Yahudi telah mengambil sikap lain, yang berbeda dengan sikap yang diambil oleh beberapa Yahudi di Makkah ketika mereka merasakan bahaya Islam di Madinah.
“Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab itu ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah diri kepada Allah dan mereka tidak menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya”. (Ali Imran: 199)
Akan tetapi, sikap sebagian Ahli Kitab itu tidaklah mencerminkan sikap keseluruhan mereka di Jazirah, dan sikap-sikap orang-orang Yahudi secara khusus. Sebab, orang-orang Yahudi telah menyalakan api peperangan terhadap Islam sejak mereka merasakan bahaya Islam di Madinah. Dalam peperangan itu, mereka menggunakan berbagai cara yang dikisahkan Al Quran dalam banyak nash-nash-Nya.
Mereka menolak masuk Islam, dan mengingkari berita kedatangan Rasulullah SAW yang terdapat dalam Al Quran terhadap sisa-sisa dari kitab mereka yang benar berada dihadapan mereka.
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR AL FATIHAH BAG.5 (03/5), oleh mutawalli
TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (03/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.7 Kebencian Ulama Salaf terhadap Bid’ah dan Pelakunya
Sufyan Ats Tsauri ra berkata bahwa iblis lebih menyukai perbuatan bid’ah daripada maksiat sebab maksiat lebih bisa diharapkan taubatnya, sedangkan bid’ah sulit diharapkan taubatnya.
Imam As Suyuthi mengatakan, Abdullah bin Muhairiz pernah berkata bahwa agama itu hilang se sunnah demi sunnah sebagimana seuatas tali hilang kekukatannya sedikit demi sedikit karena perbuatan bid’ah.
Mu’adz bin Jabal pernah berkata,
“Sesungguhnya sepeninggalku nanti banyak sekali terjadi fitnah pada saat harta benda melimpah, Al Quran dibuka bagi seluruh manusia sehingga baik wanita, anak-anak maupun lelaki membacanya. Lalu ada seorang yang berkata, “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Demi Allah, aku akan melaksanakan al Quran di lingkungan mereka. Semoga aku mengikutinya. Kemudian ia berkata, Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya.” Dan aku telah melaksanakan al Quran di lingkungan mereka, tetapi aku tidak mampu mengikutinya. Sungguh aku akan hadir ke tempat shalat di rumahku. Kemudian orang itu hadir di tempat shalat di rumahnya, tetapi dia tidak mampu juga mengikutinya (segala perkara yang telah di tentukan Al Quran).” Kemudian dia berkata lagi: , “Aku telah membaca Al Quran, tetapi aku tidak dapat mengikutinya. Dan aku telah datang ke tempat shalat di rumahku, tetapi juga tak mampu aku mengikutinya. Demi Allah, aku akan mendatangkan sesuatu yang baru yang tidak mereka dapati di dalam Al Quran dan tidak pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW. Semoga kau dapat mengikutinya.” Oleh karena itu berhati-hatilah dengan apa yang dibawanya karena apa yang dibawanya itu merupakan kesesatan”.
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata,
“sederhana dalam sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam masalah bid’ah.”
Al Auza’i berkata,
“Tabahlah hatimu atas as Sunnah. Tegaklah kamu di mana kaum itu tegak. Berkatalah dengan kata apa yang mereka katakan. Tahanlah dirimu terhadap apa yang mereka menahan diri terhadapnya, dan berjalanlah di atas jalan para ulama salaf yang saleh. Sebab segala yang dapat mereka jalani, kamu pun akan dapat menjalaninya.”
Imam Syafi’i rahimullah berkata,
“Siapa saja yang mengadakan kebagusan (perkara baru dalam agama) maka dia telah membuat syariat.”
5.8 Setiap Bid’ah itu Kesesatan Sekalipun Manusia Menganggapnya sebagai Hasanah
Salim Al Hilali, dalam bukunya Al Bid’ah Wa Atsaruhas Sayyi’ Fil Ummah, mengatakan, “Pembagian bid’ah kepada hasanah dan qabihah atau mahmudah dan madzmumah adalah pembagian yang tidak memiliki sandaran dalam syariat. Sebagaimana hal ini memiliki asal sandaran jika kenyataannya ketegasan Al Quran dan hadis-hadis shahih ditolak. Keterangan ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Allah telah membimbingmu bahwa yang termasuk ushul din haruslah diyakini dan tidak sah iman seseorang kecuali dengannya. Din ini telah lengkap dan sempurna, serta tugas manusia hanya menerapkan dan melaksanakannya.[1]
2. Rasulullah diutus sebagai rahmat bagi alam, untuk menegakkan risalah. Dia pun telah menyampaikan risalah itu tanpa dikurangi atau dilebihkan. Dia telah mengerjakan itu semua secara sempurna karena mengharap ridla dariNya. Allah menyaksikan kebenaran baginya. Begitu pula orang-orang mukmin, cukuplah Allah menjadi saksi.
Rasulullah bersabda:
“Aku tidak meninggalkan sedikit pun dari apa yang Allah perintahkan kecuali benar-benar aku telah memerintahkan kepadamu dengannya, dan tidak sedikit pun apa yang Allah larang kepadamu kecuali benar-benar aku melarangnya.”
3. Musuh-musuh pun telah bersaksi atas kesempurnaan risalah Islam ini. Mereka tidak dapat menyembunyikan kesaksian ini, kesempurnaan nizham Islam (nizham rabbani), syamil, dan kamil, tidak meninggalkan perkara kecil dan besar dalam seluruh aspek kehidupan. Seorang Yahudi berkata kepada Salman ra, “Sungguh nabimu telah mengajarkan kepadamu segala sesuatu hingga masalah kotoran.” Lalu Salman ra berkata, “Benar, kami dilarang buang hajat menghadap kiblat, hajat besar maupun kecil, kami dilarang cebok dengan tangan kanan, dilarang menggunakan batu kurang dari tiga kali, dan dilarang cebok dengan sobekan kain (tumbuh-tumbuhan) atau tulang.” (HR Muslim dan Ashhabus Sunan dan Ahmad).
4. Sesungguhnya membuat hukum itu adalah hak Allah dan tidak ada hak manusia sedikitpun. Dan tentu apabila dibolehkan menambah di dalam Islam, boleh juga mengurangi. Oleh karena itu, Rasulullah melarang kita menambah-nambah dalam perkara agama. Dia bersabda:
“Jika aku telah mengeluarkan sebuah hadis, janganlah kamu sekali-kali menambahkan kepadaku.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani, silsilah hadis shahih, 346).
5. Pelaku bid’ah telah mengangkat dirinya setingkat dengan pembuat syari’at Al Hakim (Allah SWT). Imam Ahmad berkata, “Pokok As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan yang dilakukan para sahabat, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah dan bid’ah itu kesesatan”. Selain itu Imam Darul Hijrah, Imam ilmu dan petunjuk, berkata, “Siapa yang membuat bid’ah, satu bid’ah pun, karena menganggapnya sebagai hasanah, dia benar-benar telah mendakwakan Muhammad SAW telah mengkhianati risalah, sebab Allah dalam Surat Al Maidah ayat 3.”[1]
Ibnu Mas’ud berkata:
Jadilah kamu pengikut As Sunnah dan janganlah kamu melakukan bid’ah sebab kamu telah cukup (dengan As Sunnah). (HR Thabrani)
Di samping itu,
1. Allah SWT disembah hanya dengan apa yang disyari’atkan, tidak dengan hawa nafsu, tradisi, dan bid’ah.
2. Bid’ah dapat mematikan sunnah.
3. Bid’ah adalah penyebab malapetaka (Al Halak)
4. Bid’ah mengantarkan kita kepada kekafiran sebab pelakunya mengangkat dirinya sebagai pembuat hukum, sedangkan Allah dianggap sebagai tandingannya.
5. Bid’ah membuka pintu perselisihan dan permusuhan serta kebencian yang merupakan pintu kesesatan. Mereka yang merintis satu jalan keburukan (terlebih lagi bid’ah), baginya dosa hingga hari kiamat tanpa dikurangi sedikitpun.
6. Menyedikitkan perkara bid’ah saja dapat mengantarkan kita kepada fasik dan maksiat. Contoh ketika Khawarij melawan Ahlus Sunnah, para sahabat di bawah pimpinan Ali ra. memerangi mereka.
7. Amal saleh hanya benar jika diikuti dengan niat baik pula. Niat baik saja tidak bisa mengubah kebatilan menjadi kebenaran.
8. Menambahkan kebaikan bukanlah kebaikan sebab kebaikan yang ditambah-tambah berakibat keburukan. Sebuah perkara yang ditambah-tambah akan overdosis, lalu akan berbalik menjadi lawan. Sikap berani yang berlebihan akan menjadikan kita beringas dan jika dikurangi akan menjadi pengecut. Sifat derma jika dilebih-lebihkan bisa menjadi israf dan ibdzar, dan jika dikurangi bisa menjadi kikir dan bakhil. Sebab itu, Ibnu Umar ra. mengingkari seorang bid’ah ketika ada seorang bersin, lalu mengucapkan, Alhamdulillah wash shalatu was salam ‘ala Rasulillah. Segera Ibnu Umar berkata, jika seseorang bersin, bacalah Alhamdulillah. Tidak perlu berkata: “Bershalawatlah kepada Rasul” (HR Tirmidzi dan Hakim).
Lalu bagaimana ahlu bid’ah yang menjadi makmum dalam shalat berjama’ah tidak mengucapkan Amin bersama imam sebelum dia membaca rabbigfirli? Tentu ini lebih bid’ah daripada mengucapkan shalawat kepada Nabi ketika ia bersin. Ini termasuk bid’ah haqiqiyah karena tak ada asal perintahnya dan pelaksanaannya (dalam menambah rabbighfirli). Perintah membaca amin ada, tetapi jika dibaca tidak pada waktu setelah imam usai membaca wa ladl dlallin, ini termasuk bid’ah idlafiyyah.[1] Wallahu a’lam.
5.9 Bantahan Terhadap Orang yang Menyebutkan Adanya Bid’ah Hasanah
Sebagian besar kaum Muslimin yang mengakui adanya bid’ah hasanah paling tidak berdasarkan beberapa hadits atau atsar sahabat, dan yang paling masyhur dijadikan sandaran antara lain:
1. Perkataan Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan:
Apa-apa yang menurut kaum Muslimin bagus, menurut Allah juga bagus, dan apa-apa yang menurut kaum muslimin jelek, menurut Allah jelek juga.
Hadits ini tidak sah untuk dikatakan marfu’ (sampai pada Nabi), tetapi merupakan perkataan Ibnu Mas’ud ra. Menurut Al ‘Ajalwani, sanadnya jatuh dan lebih tepat mauquf pada Ibnu Mas’ud.[2]
Berkata As Sakhawi di dalam Al Maqashidul Hasanah, ia berderajat mauquf hasan. Ia juga berpendapat bahwa hadits itu tidak bisa dikatakan marfu’, tetapi hanya berderajat mauquf pada Ibnu Mas’ud ra. Oleh karena itu, hadits yang tidak sah derajat marfu’nya tidak boleh dijadikan hujjah karena bertentangan dengan hadits-hadits shahih tentangnya yang berderajat qath’i, yaitu hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah: Kullu Bid’ah dlalalah.
2. Perkataan Umar Ibnu Khaththab ra:
Senikmat-nikmat bid’ah adalah ini (maksudnya shalat tarawih berjama’ah di masjid)
Ucapan Umar ini membuat kekhususan dalil umum dari hadits Nabi SAW: Kullu bid’atin dlalah. Hujjah ini tertolak sebab shalat tarawih malan ramadlan itu masyru’ah berdasarkan nash Nabi SAW. Antara lain riwayat Jabir bin Abdillah ra. yang menyatakan Rasulullah SAW shalat malam ramadhan delapan raka’at dan witir satu raka’at.. Juga hadis-hadis lainnya yang sejenis dalam bab shalat malam dan witir. Dan shalat berjama’ah juga masyuru’ah, sebab Rasulullah SAW melakukan shalat malam tarawih bersama sahabat sampai tiga malam. Adapun beliau meninggalkannya pada malam berikutnya dikarenakan takut dianggap wajib oleh para sahabat. Dan ini didukung oleh riwayat dari Aisyah ra. yang dikeluarkan oleh Asy Syaikhan (Bukhari-Muslim).[3]
Tentang perkataan Umar ra. ini, maka Dr. Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al Buraikan mengatakan bahwa makna bid’ah yang terdapat di dalam perkataan Umar ra. dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ucapan itu ditujukan kepada mereka yang mengingkari atau menolak sunah tarawih yang sudah ada sejak Rasulullah di mana beliau melakukannya lalu meninggalkannya karena khawatir akan menjadi kewajiban. Ucapan Umar ini sama dengan ucapan Anda terhadap seseorang yang berbeda dengan Anda, lalu Anda mengatakan, “Kalau ini dianggap munkar maka saya adalah pelaku munkar ini”. Yang ingin Anda katakan adalah bahwa Anda akan tetap berpegang teguh dengan hal itu.
2. Ucapan ini bisa diberlakukan untuk shalat sunat tarawih karena ia pernah ditinggalkan lalu dilaksanakan kembali. Ia dianggap sesuatu yang baru kaena ia belum pernah dilaksanakan secara berjama’ah setelah Rasulullah wafat. Dengan demikian, ucapan Umar Ibnu Khattab ra berlaku untuk makna bahasa bid’ah secara harfiah dan bukan dalam makna syariat. Sedangkan yang tercela adalah bid’ah dalam pengrtian syariat. Atas dasar penjelasan ini, pembagian bid’ah menjadi bid’h hasanah dan bid’ah sayyi’ah, atau bid’ah mubah, haram, wajib, makruh, sunah, menjadi batal hukumnya.
Bahaya bid’ah sesungguhnya terletak pada peluang merubah wajah agama. Oleh karena itu, membuka pintu bid’ah merupakan isyarat datangnya bahaya perubahan dan penggantian syariat Islam. Dalam bahaya inilah orang-orang Yahudi dan Nsrani terjebak di mana mereka mengubah, mengganti, dan menyimpangkan agama mereka.[4]
Atas dasar itu, kaum salaf memperingatkan kita dari bahaya bid’ah dan para pelakunya dengan berbagai cara, antara lain:
a. Larangan mendengarkan bid’ah. Abdur Razaq menceritakan dari Mu’ammar bahwa beliau berkata, “Suatu ketika Thawus sedang duduk dan di sisinya anaknya duduk bersamanya, lalu datanglah seorang laki-laki dari Mu’tazilah dan berbicara tentang suatu masalah. Thawus segera memasukkan jari-jari tangannya ke telinga serta berkata,’Wahai anakku, masukkan pula kedua jari telunjuk ke telingamu agar kamu tidak mendengar sedikit pun perkataannya karena sesungguhnya hati itu lemah. Wahai anakku, bersikap benarlah.’ Ia terus mengulang-ulang perkataan itu sampai laki-laki dari Mu’tazilah itu pergi.”
b. Meninggalkan pelaku bid’ah dan tidak bergaul dengan mereka. Isa bin Ali Adl Adlbi berkata, “Ada seorang yang duduk bersama kami dan berbeda pendapat dengan Ibrahim An Nakha’i, kemudian sampailah berita pada Ibrahim bahwa orang tersebut dari golongan Murji’ah. Lalu Ibrahim berkata kepadanya, “Jika engkau nanti meninggalkan kami, janganlah engkau kembali lagi.”
c. Menyebarkan hal ihwal pelaku bid’ah kepada orang banyak agar mereka meninggalkannya. Muhammad bin Dawud Al Haddai berkata, “Saya berkata kepada Sufyan bin Uyainah, sesungguhnya orang ini (Ibrahim bin Abi Yahya) telah berbicara tentang qadla dan qadar. Lalu Sufyan berkata, “Terangkanlah ihwal orang ini kepada orang banyak dan bermohonlah kepada Allah agar Ia menjadikanmu dalam keadaan baik.”
d. Menjelaskan bahaya bid’ah kepada kaum muslim, Sufyan Ats Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah daripada maksiat karena orang bisa bertobat dari maksiat tetapi dari bid’ah tidak.”
e. Tidak menshalati jenazah pelaku bid’ah. Mu’amal bin Ismail berkata, “Ketika Abdul Azis meninggal, aku ikut mengantar jenazahnya sampai pintu Shafa. Orang-orang pun berdiri bershaf-shaf, kemudian Sufyan Ats Tsauri datang untuk membubarkan shaf-shaf. Sementara orang-orang hanya tercengang menyaksikan jenazah itu tidak dishalati. Ia dituduh menganut kepercayaan kaum Murji’ah.”
f. Dibolehkan mengumpat pelaku bid’ah. Dari Al A’masy dari Ibrahim berkata, “Tiada yang dianggap ghibah bagi pelaku bid’ah.” Katsir bin Abi Sahal berkata, “Dikatakan, tiada kehormatan bagi pelaku hawa nafsu.” Al Fudlail berkata, “Siapa yang masuk ke rumah pelaku bid’ah, tiada kehormatan baginya.”[5]
3. Menggunakan dalil Man sanna fil Islam sunnatan hasanatan... tanpa diteruskan hingga akhir hadis (HR Muslim, Nasa’i, Ahmad, dan Darimi, serta lainnya). Padahal yang dimaksud sunnatan hasanatan ialah jalan yang masyru’ah yang mendapat pahala baginya dan pahala dari orang yang mengikuti setelahnya. Sebenarnya yang dimaksud sunnatan hasanatan bagi pelaku bid’ah justru sunnnatan sayyi’atan, baik dari segi haqiqiyahnya maupun idlafiyahnya. Sama halnya mereka membaca wailun lil mushallin tidak diteruskan pada ayat berikutnya atau ayat laa taqrabush shalaah tidak berlanjut sampai wa antum sukara.
Dari keterangan diatas, jelaslah bagi kita, khususnya kaum muslim yang menyalahgunakan Al-Fatihah. Maksud Shiratun Mustaqiim adalah Islam dan jalan yang ditempuh Rasulullah SAW serta para sahabatnya dan salafush shalih. Kita wajib mengikuti mereka walau harus bersusah payah. Mereka itu Al-Jama’ah.
Rasulullah bersabda:
“Siapa yang ingin mencium bau surga hendaklah ia mengikuti jama’ah. Karena sesungguhnya, syaithan itu bersama orang yang menyendiri. Dan syaithan itu menjauh dari dua orang”. (HR. Tirmidzi)
“Tangan Allah bersama jama’ah dan syaithan itu bersama-sama orang yang menyelisihi jamaah”. (HR Thabrani dari ‘Arfajah)
Firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Shaad: 26)
“Apa yang datang padamu dari Rasul, terimalah. Dan apa yang dilarangnya, tinggalkanlah”. (Al-Hasyr:7)
“Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan lain, karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (Al-An’am: 153)
“Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. (Ali Imran: 31)
Rasulullah bersabda:
Aku nasihatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, dengarkanlah dan taatilah pemimpinmu meskipun dia seorang budak Habasyah. Sebab, sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku akan banyak melihat perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk. Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku sekuat-kuatnya. Waspadalah kalian dari perkara baru. Sebab setiap perkara baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari ‘Irbadl bin sariyah)
Semoga kiranya kaum Muslim yang rajin menegakkan shalat menjadi sadar dan hendaknya mau memahami secara baik kandungan Al-Fatihah.
* * *
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR AL FATIHAH BAG.4 (02/4), oleh mutawalli
4.4 Iyyaka Na’budu Sebagai Konsekuensi Pemahaman Kalimat Tauhid
Laa Ilaha Illallah
Kita mesti memahami, bahwa dalam kalimat Laa Ilaha Illallah terdapat pe-nafian dan penetapan (nafyan wa itsbatan), juga loyalitas dan pelepasan diri (wala’an wa bara’an).
Orang yang bertauhid uluhiyah sudah pasti bertauhid kepa rububiyah dan asma’ul wash shifat-Nya.
Dalam kalimat tauhid terkandung makna wala’ (Loyal, cinta, kemauan membela, tolong menolong, dan ikatan persaudaraan) kepada Allah, din-Nya, kitab-Nya, sunnah Nabi-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Tidak ada artinya apabila seorang menampakkan wala’-Nya jika tidak disertai sikap Bara’.
Kepada siapa kita melakukan Bara’? Bara’ adalah berlepas diri, membenci, dan memusuhi semua makna thaghut dan yang disembah selain Allah. Allah Ta’ala berfirman:
“Karena itu barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh dengan ikatan yang kokoh.” (Al-Baqarah: 256)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan bahwa manusia tidak menjadi seorang mukmin dan beriman kepada Allah (secara benar) kecuali dengan kufur kepada thaghut. Dalilnya adalah ayat di atas.
Kalimat tauhid itu artinya wala’ kepada syariat Allah. Seperti firman-Nya:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Al-A’raaf: 3)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Din (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
Setiap Mukmin yang mentauhidkan uluhiyah Allah semestinya berlepas diri dari hukum jahiliyah. Sebagaimana firman-Nya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Dia juga seharusnya bara’ (berlepas diri) dari seluruh agama selain Dinul Islam. Sebagaimana firman-Nya:
“Barangsiapa yang mencari agama selain Dinul Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang rugi.” (Ali Imran: 85)
Kemudian selain dari menampakkan wala’ dan bara’-nya, maka setiap Mukmin yang bertauhidkan kepada uluhiyah Allah semestinya menampak-kan empat pe-nafian dan sekaligus menyertainya dengan empat penetapan.
Empat penafikan tersebut adalah:
1. Al-Ilah (tuhan-tuhan), yaitu setiap tujuan yang bermaksud terhadap sesuatu yang mendatngkan kebaikan atau menolak mudlarat, lalu menjadikannya sebagaai Ilah. Misalnya ketika seseorang menganggap bahwa nafsu, akal, dan intuisinya bisa mendatangkan manfaat atau menolak madlarat, maka ia telah menjadikan nafsu, akal, dan intuisinya sebagai tuhan.
2. Thawaghit (jamak dari thaghut), yaitu siapa saja yang disembah dan rela untuk disembah, dipuja, dan diikuti aturan-aturan yang bertentangan dengan syariat samawi.
3. Andad (tandingan Allah), yaitu sesuatu yang menjauhkan seseorang dari agama Islam. Baik berupa keluarga (anggota-anggotanya), tempat tinggal, jabatan, maupun harta yang menjadi tandingan Allah. Sebagaimana Allah berfirmah:
“Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, di mana mereka mencintainya seperti mereka mencintai Allah ....”
(Al-Baqarah: 165)
4. Arbab, yaitu siapa saja yang berfatwa kepadamu dengan menyalahi Al-Haq dan kamu menaatinya. Seperti firman-Nya:
“Mereka itu menjadikan ulama-ulama mereka dan pendeta-pendeta mereka sebagai Rabb-Rabb (menduduki posisi rububiyah) selain Allah.”
(At-Taubah: 31)
Maksudnya, ketika para ulama, pendeta, ataupun kyai-kyai mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hanya berdasarkan nafsu, akal, dan intuisinya atau membuat hukum dan undang-undang selain syariat Allah, menjadi mizan dalam menghukumi manusia, menghalalkan yang diharamkan Allah, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, maka mereka itu telah merampas hak rububiyah Allah dan mendudukan mereka pada posisi ma’budul mutha’ (Yang Disembah dan ditaati hukumnya).
Selain menafikan keempat unsur yang merampas hak rububiyah dan uluhiyah Allah, maka setiap Mukmin semestinya menetapkan empat perkara yang diyakininya, yaitu:
1. Mengarahkan niat dan maksud hanya kepada Allah
2. Ta’zhim dan mahabbah (pengagungan dan kecintaan) kepada Allah.
3. Takut akan siksanya, menjauhi perbuatan maksiat, hanya mengharap ridla dan pahala-Nya, serta memotivasi diri untuk melakukan berbagai ketaatan. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya, kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamaba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)
4. Taqwa, yaitu membentengi diri dari murka Allah dan hukuman-Nya dengan jalan meninggalkan syirik dan kemaksiatan, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, serta mengikuti perintah-Nya sesuai dengan syariat. Sebagaimana dikatakan Ibnu Mas’ud rahimahullah: ‘Anda mengamalkan ketaatan kepada Allah atas dasar nur minallah, mengharapkan pahala Allah. Dan meninggalkan maksiat kepada Allah atas dasar nur minallah, karena takut akan hukuman Allah.’[1]
Melepaskan umat dari belenggu kemusyrikan bukanlah perkara mudah dan tidak bisa dilakukan dengan kerja sambilan atau dengan jalan pintas. Sebab, hal ini tidak pernah terjadi pada perjalanan sejarah pendahulu kita.
Tanpa kerja keras, Muslimin tidak akan mampu menampilkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya di tengah-tengah umat manusia, dalam menegakkan keadilan Rabbani di muka bumi, interaksi sosial yang bersih, setia memegang ikatan janji, keberanian diri, dan kepahlawanan yang handal di medan pertempuran, maupun pada kondisi damai.
Selain itu, umat Islam tidak akan mampu membangun kekuatan ilmu pengetahuan dan peradabannya tanpa disertai kerja keras,serta tidak akan terwujud jika dalam diri umat tidak tertanam suatu keyakinan yang teguh bahwa semua yang dilakukannya adalah ibadah dan merupakan tujuan penciptaannya sebagai mahluk Allah.
Sehingga timbul pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan setiap Muslim dalam beribadah agar dirinya pantas disebut hamba Allah, yang memang untuk itulah Allah menciptakannya?
Ibadah harus dimulai dengan semangat ketauhidan dengan mengikrarkan Laa Ilaha Illallah, meyakininya secara uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat, maupun af’al-Nya, sebab Dia-lah satu-satunya yang berhak mengandung sifat kesempurnaan itu. Sebagaimana firman-Nya:
“Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah.” (Muhammad: 19)
“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” (An-Nisaa’: 36)
Mengucapkan Laa Ilaha Illallah--sebagaiman telah kita maklumi--bukan sekedart talaffuzh, akan tetapi mengandung konsekuensi untuk membendung setiap bentuk penghianatan dan agar tidak mengikuti keyakinan Murji’ah yang bertindak tidak selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam.
Konsekuensi Laa Ilaha Illallah adalah menerima Islam secara utuh dengan tingkatan komitmen masing-masing. Di antara konsekuensi itu adalah yang berkaitan dengan pokok-pokok keimanan, seperti meyakini sifat Wahdaniyyah Allah, ikhlas semata-mata karena Allah dalam melaksanakan ritual ibadah tanpa riya’, dan berhukum dengan syariat Allah. Seorang hamba dikatakan telah beriman apabila telah menegakkan ahlak-ahlak Laa Ilaha Illallah dan kewajiban-kewajiban lain yang diperintah-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sempurnalah iman seseorang apabila telah melaksanakan hal tersebut.
Syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah) adalah kewajiban yang datang setelah ikrar Laa Ilaha Illallah. Seperti telah dipaparkan di atas, yaitu dengan mengikrarkan seluruh apa yang datang dari Allah dan ber-iltizam dengannya.[2]
4.5 Target dari Komitmen Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in
Ketika seorang Mukmin membaca ikrar:
“Sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin, tiada sekutu bagi-Nya.” (Al-An’am: 162-163)
maka dia memahami bahwa shalat dan nusuk (ritual) yang merupakan syiar ta’abudi adalah titik tolak bagi hamba untuk melakukan ibadah lainnya di dalam kehidupan, termasuk perkara kematian.
Mati di sini bukanlah semata pengertian lafzhiyah, sebab mati dalam pengertian ini adalah tidak bisa melakukan ibadah dan tidak ada lagi kesempatan untuk memilih. Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan kematian di sini--sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas--adalah matinya seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
Jadi, kematian seorang hamba tanpa mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun adalah ‘kematian minimal’ baginya. Adapun ‘kematian maksimal’ adalah harus bisa mencapai puncak ibadah, seperti mati syahid di jalan Allah untuk membela Dinullah.
Hanya dengan cara melaksanakan ibadah secara sempurna dan menyeluruh, yang meliputi hidup dan mati, maka tujuan penciptaan manusia akan terwujud dan sesuai dengan tuntutan Allah.
Pemahaman ibadah semacam ini telah menjadi asing bagi kalangan generasi sekarang yang selalu mempredikatkan diri sebagai generasi modern atau Muslim kontemporer. Mereka menganggap syiar-syiar ta’abbudi yang biasa mereka kerjakan sudah merupakan keseluruhan ibadah yang dituntut dari seorang Muslim.
Seharusnya, petunjuk dalam mendefinisikan pemahaman-pemahaman Islami adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta gambaran prakteknya yang benar sebagaimana dilakukan oleh generasi awal umat ini (ridlwanullah ajma’in) berdasarkan contoh langsung dari Rasulullah Shallallah 'Alaihi Wasallam. Merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Sebaik-baiknya generasi adalah pada masaku, kemudian generasi berikutnya ....” (Asy-Syaikhan)
Muhammad Quthb dalam bagian lainnya mengatakan:
“Pada awalnya, pemahaman kaum muslimin bahwa ibadah itu hanya terbatas pada syi’ar-syi’ar ta’abudi saja tidak membahayakan, sebab mereka tetap tidak melakukan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar syahadatain. Namun kenyataannya kini telah berbeda. Dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini terlihat, masalah ini telah sampai kepada tingkat yang membahayakan. Akibatnya tatkala diberikan konsepsi yang benar tentang ibadah, yaitu dimulai dengan ikrar syhadatain dengan menghambakan sepenuhnya kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya, sebelum datangnya rukun shalat, shaum, zakat, dan haji, menjadi sulit di tegakkan dalam kehidupan kaum muslimin dewasa ini. Hal ini disebabkan adanya anggapan umum, bahwa siapa yang telah melakukan syiar-syiar ta’abudi, maka ia dianggap sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya sekalipun kenyataannya ia tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka beranggapan pelaksanaan hukum terpisah total dari ibadah, yang berarti pula terpisah dari konteks iman. Mereka berdalih bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam telah bersabda:
“Jika kalian melihat seorang terbiasa keluar masuk masjid (melakukan shalat), maka ketahuilah bahwa ia mukmin.”[3]
Dalam hadist ini disebutkan ‘membiasakan diri ke masjid’ dan tidak disebutkan berhukum kepada syariat Allah.
Disinilah letaknya, membahas keimanan dengan hadist tertentu tanpa memperhatikan hadist-hadist lain yang membahas tentang hakikat iman, atu hal-hal yang membatalkan iman, tidak akam memberikan gambaran pengertian yang tepat dan benar yang bisa dipertanggungjawab-kan.
Bisa jadi orang yang membiasakan diri ke masjid, ternyata ia pelaku kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat yang bisa membatalkan syahadat, membatalkan kalimat Laa ilaaha illallah, bahkan bisa mencabut akar iman itu sendiri. Karena berhukum kepada syariat Allah itu merupakan salah satu konsekuensi ikrar Laa ilaaha illallah, sebelum seseorang melakukan shalat dan keluar masuk masjid, sekalipun hal itu tak disebutkan dalama hadits tadi.
Barangkali kita masih ingat ketika Abu Bakar rahimahullah orang-orang murtad, padahal mereka masih mendirikan shalat dan terbiasa ke masjid, namun tak seorang pun dapat memberikan kesaksian tentang keimanan mereka. Mereka di perangi dan di bunuh karena berpaling dari salah satu hukum dari sekian banyak hukum Allah, walaupun mereka melaksanakan hukum yang lainnya. Lalu bagaimana dengan mereka yang secara terang-terangan berpaling dari semua hukum Allah dan rela menerima hukum selain hukum Allah?[4]
Lebih aneh lagi, kini di antara kaum muslimin ada yang beranggapan zikir dengan cara khalwat ta’abbudiyah--yaitu menyepi dan menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya--adalah jalan terbaik, padahal hal ini yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Tentu, hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Jilul Faridl--generasi unik, salafush shalih tiga generasi abad pertama Islam.
Seharusnya kita berzikir melalui berbagai macam taklif. Ketika datang taklif berjuang menghadapi musuh, maka zikir kita adalah berjihad di jalan-Nya. Ketika datang taklif agar kita menggauli istri dengan baik, maka zikir kita adalah mu’syarah bil ma’ruf. Ketika datang taklif mendidik keluarga, maka kita pun mendidik mereka agar dijauhkan dari api neraka.
Begitu pula ketika datang taklif mencari karunia Allah, maka zikir kita adalah bertebaran di muka bumi untuk memperoleh sebagian rezeki-Nya dan demikian halnya ketika datang taklif untuk memakmurkan bumi, maka kita pun membekali diri dengan ilmu yang bisa mengambil manfaat dan mengeksploitasi alam bagi pemakmuran bumi, pemberdayaan manusia dan peradabannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“.... Dia-lah yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah), dan menjadikanmu pemakmurnya,...” (Huud: 61)
4.6 Aspek Politik dalam Bingkai Ibadah
Di antara kesimpulan penting dari kajian tentang konsep ibadah adalah menjalankan berbagai jenis aktivitas dalam segala aspek kehidupan, di samping syiar-syiar ta’abbudi. Dimulai dari kegiatan politik yang merupakan pengawasan umat atas penguasa (pemerintah), menyampaikan nasihat kepadanya, dan menegakkan prinsip amar ma’ruf nahyi munkar.
Semua ini dalam rangka menegakkan pemerintahan yang bersih dan sesuai dengan perintah Allah dan Syari’at-Nya. Juga menegakkan keadilan Rabbani, sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, umat dapat merasakan nikmatnya kehidupan di bawah naungan Islam yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya.
Inilah makna dari ayat berikut:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, Kucukupkan nikmat-Ku untukmu, dan Kuridlai Islam menjadi agamamu.” (Al-Maidah: 3)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, juga ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus Nabi kepada umat sebelumku, kecuali terdapat pendukung dan sahabat yang melaksanakan Sunnahnya dan menuruti perintahnya. Setelah mereka tiada, muncullah generasi berikutnya yang menyalahi mereka, mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barangsiapa yang berjihad melawannya dengan tangannya, berarti ia beriman. Barangsiapa yang berjihad dengan lisannya (hujjah dan bayan), maka ia beriman. Dan barangsiapaa yang berjihad dengan hatinya, maka ia pun beriman. Namun, di luar itu semua (tidak berjihad melawan mereka), maka ia tidak memiliki iman.”[5]
Ayat di atas menegaskan bahwa sumber kekuasaan mutlak di dalam masyarakat Muslim adalah Allah dan Rasul-Nya. Kemudian memerintahkan menaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak dalam segala hal, baik itu berupa larangan maupun perintah yang datng dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Selanjutnya perintah untuk menaati Ulil Amri dari kalanganmu, selama perintah itu sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab tak ada ketaatan bagi mahluk dalam hal kemaksiatan. Rasulullah bersabda:
“Taat itu hanya pada hal yang ma’ruf.” (Asy-Syaikhani)
Adapun hadits di atas menunjukkan bagaimana sikap umat bila terjadi penyimpangan terhadap hukum Allah. Setiap penyimpangan harus diperangi dengan tangan, lisan, ataupun hati untuk meluruskan kembali ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Serta mengaitkan langsung tindakan ini dengan keimanan.
Tingkatan minimal dalam memerangi penyimpangan di atas adalah dengan kebencian hati. Sebab jika tidak, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan secara tegas mengatakan bahwa iman tiada lagi dalam hati kita.
Dengan demikian, aktivitas politik--seperti telah dijelaskan di atas-- juga merupakan bagian dari aqidah dan ibadah, sebagaimana dipahami oleh generasi pertama umat ini. Berikut ini kisah menarik di masa khalifah Umar bin Khaththab rahimahullah berkuasa:
Suatu saat ketika ia sedang berkhotbah, ada seorang sahabat (rakyatnya) mengajukan protes seraya berkata: “Hari ini kami tidak akan taat dan patuh kepadamu, kecuali jika Anda berkenan menjelaskan kepada kami perihal baju yang Anda pakai dari mana asalnya?”
Kisah lain menyebutkan ketika Umar Ibnu Khaththab rahimahullah memerintahkan seorang wanita agar tidak memberatkan mahar (emas kawin), maka wanita itu berkata: “Engkau benar-benar telah membatasi kelonggaran, padahal Allah berfirman: ‘Kalian memberi harta yang banyak kepada salah seorang di antara wanita itu’. Apakah Anda hendak menyulitkan orang?” Umar pun menjawab: “Umar bersalah dan perempuan itu benar”.
Tekanan politis yang dilakukan sejak awal dinasti Umayyah dalam kehidupan umat Islam, kemudian umat secara bertahap melalaikan kewajibannya dan faham tasawwuf yang timbul akibat tatanan dalam kehidupan umat, serta Murji’ah yang membatasi makna iman dengan hanya tashdiq (membenarkan dengan hati) dan ikrar semata sebagai jaminan masuk surga adalah merupakan faktor-faktor yang mempersempit makna ibadah--makna yang tersirat dan tersurat dalam Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in--sebagai syiar-syiar ta’abbudi semata. Selanjutnya, Islam dianggap sebagai agama pribadi, aktivitas individual. Pada saat itulah manusia menjauhkan diri dari aktivitas politik Islami. Namun, Jama’ah Muslimin tetap melakukannya, sehingga merekalah yang berhak mendapatkan predikat Khaira Ummah (umat terbaik), sebagaimana firman Allah:
“Kalian adalah Khaira ummah yang dilahirkan bagi manusia, kamu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran serta beriman kepada Allah....” (Ali Imran: 110)
Ketika aktivitas politik dikeluarkan dari konteks ibadah, maka lepaslah ikatan Islam yang pertama, yaitu ikatan hukum. Pada awalnya hal ini tidak merupakan perkara yang merusak, sebab manusia yang hidup dalam masyarakat Islam tetap berhukum kepada syariat Allah. Mereka merasa tidak perlu mengambil hukum selain hukum-Nya sebagai undang-undang yang wajib ditaati dan dilaksanaakan. Tetapi selanjutnya berhukum kepada syariat Allah itu diiringi dengan berbagai penyimpangan dan tindak kezaliman yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan hukum tidak sempurna, tidak lagi berjalan sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang pernah dilaksanakan salafush shalih. Maka waktu pun berjalan seiring dengan pelaksanaan hukum yang diwarnai dengan penyimpangan dan kezaliman, hingga sampai pada zaman modern ini ikatan Islam itu telah benar-benar hancur. Bahkan, syariat-syariat Islam telah disingkirkan dan diganti dengan undang-undang buatan manusia. Jelaslah bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallan berikut ini:
“Ikatan-ikatan Islam akan dilepaskan satu-satu. Yang pertama dilepaskan adalah ikatan hukum dan yang terakhir adalah ikatan shalat.” (HR Imam Ahmad)
Melepaskan aktivitas politik dari konteks ibadah tidak hanya membawa bencana dalam hal sempitnya pemahaman aqidah dan ibadah saja, akan tetapi lebih parah lagi, secara berangsur-angsur krisis pemahaman ini melanda segi-segi lain yang lebih luas. Sedikit demi sedikit, namun pasti setiap amalan (di luar syariat) dilepaskan dari ikatan iman dan ibadah. Padahal Allah telah memperingatkan:
“Hai manusia, sungguh kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabmu, maka kamu pasti akan menemuinya” (Al Insyaqaq: 6)
Aktivitas seseorang dikatakan lepas dari kaitan iman ketika pengertian iman dibatasi pada tasdiq dan ikrar semata. Aktivitas seseorang juga telah lepas dari konteks ibadah. saat pengertian ibadah dibatasi pada syiar ta’abbudi saja.
Jika hal itu terjadi pada diri seseorang, setiap amalnya tidak lagi berorientasi pada ibadah. Amal itu dilakukan mungkin dengan tujuan sekadar mendapat penghasilan, kepuasan, dan kepemilikan, atau mencari kemenangan dan kesuksesan, atau sekadar kesenangan untuk memenuhi kepuasan indrawi atau kegemaran, atau sekadar kegemaran, atau tujuan lain yang tidak berkaitan dengan iman dan ibadah kepada Allah SWT. Akibatnya terjadilah pemisahan antara ibadah di satu pihak dan amalan di pihak lain. Manusia pun membagi waktunya untuk beribadah dan beramal, serta yang tak termasuk keduanya, yaitu sekadar mengisi waktu luang, bersenang-senang, atau rekreasi. Ketiga hal itu tidak mempunyai kaitan sama sekali. Jika seseorang melakukan yang satu, terlepaslah kedua lainnya.
Dr. Fahmi Huwaidy mengatakan:
Telah menjadi kesepakatan kita bahwa sekularisme merupakan suatu pandangan yang tertolak dari konsepsi Islam. Sebab, Islam merupakan asas risalah yang mengatur segala urusan umat manusia (masyarakat) yang meliputi berbagai ragam tingkat hubungan, baik hubungan antara manusia dan manusia, atau antara pemerintah dan rakyatnya. Namun, dengan penolakan ini bukan berarti persoalan itu telah selesai. Sebab, kita akan dihadapkan pada pertanyaan berikut, yakni: apa dan bagaimana formula pemerintah tersebut?
Pertanyaan seperti itu selalu saja muncul, terutama setelah terjadi revolusi Iran yang menampilkan wajahnya secara khas (Negara Islam versi Syiah dengan Imamahnya) dan setelah para ulama berperan dalam kancah politik (hukum) atau urusan kenegaraan yang sering disebut wilayatul faqih (di Iran). Inilah persoalan yang dianggap lebih rumit mengenai hubungan antara agama dan poltik.
Sikap dan pemikiran “pemilahan” antara agama dan dunia telah diketahui sejak sembilan abad yang lalu. Namun, kalaulah boleh saya katakan bahwa orang yang meletakkan teori tentang agama dan negara adalah seorang pakar hukum Islam terkenal dari Bagdad, yaitu Abul Hasan Al Mawardi (364-450). Dengan karya-karyanya, terutama Al Ahkamus Sulthaniyah, Al Mawardi selalu dikenang oleh peneliti Islam dari mancanegara. Bahkan menurut saya, ada karyanya yang lebih prinsipil, yaitu Adab Ad Dien wa Dunya.
Saya mengenal buku tersebut tidak secara langsung, tetapi melalui buku Taqaddum ‘Inda Mufakkiril Islam fil ‘Alamil Arabil Hadits (Kemajuan Menurut Pandangan Pemikir Islam di Dunia Arab Modern). Buku ini ditulis oleh seorang dosen filsafat dan pemikiran Arab di Universitas Yordan, Dr. Fahmi Jad’an, pada 1979.
Dalam buku tersebut, Fahmi Jad’an mengatakan bahwa teori Al Mawardi bergerak di antara dua kutub, yakni Allah dan manusia, dunia dan akhirat, serta bumi dan langit. Al Mawardi tidak melahirkan suatu pemikiran, tetapi hanya mengungkapkan unsur keadilan (Anashirul Mu’adalah) dan keseimbangan (tawazun). Penjelasan tersebut selaras dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan Assunnah.
Dalam bukunya, Mawardi mengatakan:
Dengan menegakkan agama (baca Al Islam), kebahagiaan akan terwujud.
Untuk memperbaiki dunia, menurutnya ada enam syarat yang diperlukan, yaitu:
1. Agama dan keyakinan yang benar-benar diamalkan.
2. Kekuasaan yang kuat , yakni kekuasaan Ad Dien, yang tidak akan sirna, kecuali jika hukum-hukumnya diubah atau panji-panjinya dimusnahkan.
3. Undang-undang yang berfungsi menciptakan keadilan.
4. Hak sipil yang berfungsi menciptakan keamanan.
5. Sistem ekonomi yang berfungsi memeratakan kesejahteraan materi.
6. Sumber daya manusia yang berwawasan (Insaniyah Mustaqbaliyah) yang berfungsi membuka pintu harapan dan cita-cita di masa datang.
Uraian tersebut diperkuat oleh dalil Alquran dan Assunnah, antara lain:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi… (Al Qashash: 77).
Firman Allah SWT:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain) dan hanya kepada Rabmulah hendaknya kamu berharap” (Al Insyirah: 7-8).
Sabda Rasulullah SAW:
”Bukanlah yang terbaik di antara kamu orang yang meninggalkan dunia untuk akhirat atau akhirat untuk dunia. Yang paling baik di antara kamu adalah orang yang mengambil ini dan ini (dunia dan akhirat)”
[1] Al-Wala’ wal Bara’ Fil Islam. Hal. 23-25
[2] Mafhumul Ibadah. Muhammad Quthb. Hal. 192-193
[3] HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi. Menurut Syaikh Al-Albani hadist ini sanadnya lemah. Lihat Dlaiful Jami’ Ash-Shagir, I: 84.
[4] Mafhumul Ibadah. Halaman 196-197
[5] HR Muslim
TAFSIR AL FATIHAH BAG.4 (01/4), oleh mutawalli
TAFSIR AL FATIHAH KE-4 (01/4)
IYYAKA NA`BUDU WA IYYAKA NASTA`IIN
4.1 Mengabdi Hanya Kepada Allah
Bagi setiap pembaca surat Al-Fatihah, jika memang merenungi dan memahami makna-makna yang hakiki, dari mulai Ta’awwudz--memohon perlindungan kepada Allah dari (tipu daya) setan yang selalu mengajak manusia untuk berpaling dan tidak hidup berpedomankan Al-Qur'an, sehingga menyimpang dari manhaj-Nya dan mengikuti jalan setan--hingga untuk memulai suatu perkara kebaikan, terlebih lagi dalam membaca Kalamullah, hendaknya dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim. Hal ini disebabkan setiap amalan seorang mukmin terbangkit oleh panggilan iman dan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Begitu pun dalam meninggalkan larangan-Nya. Iman bagi seorang mukmin merupakan mabda’ (titik berangkat) dan ba’itsul ‘amal (pembangkit amal) dengan niat dan tujuan mencari ridla Allah dan pahala-Nya.
Dengan demikian, seorang mukmin dalam setiap gerak langkahnya berada dalam pengawasan Allah, karena ia memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah. Hal ini merupakan dorongan intern (dari dalam jiwa dan hati), sehingga mampu mengendalikan diri dari dorongan ekstern (luar) yang tidak baik, seperti riya’ dan sejenisnya. Namun, kalaupun ada dorongan ekstern, itupun dalam rangka menguatkan kesungguhan dan motivasi ke arah sidqul ‘azimah (kesungguhan azam).
Oleh karena itu, setiap mukmin ketika membaca Al-hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin hendaknya mengingat-ingat tak terbatasnya anugerah dan kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya, serta terpikirkan olehnya ‘bagaimana cara terbaik dalam mensyukurinya?’
Rasa syukur tentu tidak cukup sekedar dengan syukur lisan atau sekedar mengucapkan Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin, tapi bagaimana ia mampu mensyukuri melalui hati dan anggota badan. Dari sini akan timbul satu tekad dalam dirinya: ‘Betapa malunya jika saya masih saja menghiasi kehidupan ini dengan kemaksiatan, sementara tiada henti-hentinya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada saya.’
Ia menyadari tatkala melihat anugrah Allah itu masih tercurah pada seorang atau dirinya, padahal dirinya tetap melakukan maksiat. Sebenarnya hal semacam ini hanyalah sebagai Istidraj, sebab ulama salaf mengartikan syukur itu dengan tarkul ma’ashi (meninggalkan maksiat). Sehingga seorang hamba Allah dikatakan pandai bersyukur kepada Allah, jika ia telah sanggup meninggalkan kemaksiatan yang kecil sekalipun. Ia tidak melihat besar kecilnya kemaksiatan tersebut, tetapi yang ia pikirkan adalah kepada siapa kita maksiat? Kepada Allah Rabbul ‘Alamin yang sedang kita puji inikah?
Pernyataan keyakinan terhadap Allah sebagai Rabbul ‘Alamin--Ar-Rahman Ar-Rahim, dan Maliki Yaumiddin--memantapkan seorang hamba ketika ia membacanya dalam surat Al-Fatihah. Ia merasa berhadapan dengan Zat Yang Maha Agung lagi Sempurna, yang tiada suatu makhluk pun layak menduduki tingkat rububiyah ini. Zat yang sempurna inilah yang pantas untuk di ibadahi, tempat kita memasrahkan diri secara total, khudlu, tadzallul, patuh, dan merendah diri hanya kepada Allah. Allah yang Rabbul ‘Alamin, Ar-Rahman Ar-Rahim, dan Maliki Yaumiddin adalah Ilahul Haq dan Ma’budul Mutha’ (Yang disembah dan ditaati).
Pengakuan ini yang membuat setiap mukmin menyatakan ikrar hariannya dengan Iyya ka na’budu wa iyya ka nasta’in (Hanya kepada Engkaulah kami mengabdi dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan).
Pernyataan dalam ayat tersebut mengandung arti kedudukan dan martabat syukur.
4.2 Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
Ayat ini mengandung sejumlah keistimewaan yang tersembunyi di balik rasa syukur. Di antara keistimewaan tersebut adalah kadar keluhuran atau kedudukan syukur--martabat syukur, dimana kedudukannya menempati posisi tertinggi melebihi martabat ridla. Kedudukan ridla sudah tercakup dalam makna syukur itu sendiri, karena tidak mungkin ada ridla tanpa didahului oleh aktivitas syukur.
Disamping itu, syukur adalah sebagian dari iman. Kesatuan iman sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu berupa syukur dan sabar. Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersyukur dan mencegahnya dari kufur (ingkar nikmat). Allah pun sangat suka kepada mereka yang bersyukur lalu menempatkannya pada kedudukan lebih mulia di antara makhluk-Nya, serta berjanji memberi pahala dan menambah nikmat-nikmat yang pernah diberikannya kepadanya.
Allah juga akan mengangkat derajat seorang ahli syukur (syakirin) dengan menyandang gelar dari salah satu asma-Nya. Begitu tinggi dan mulianya kedudukan syukur di hadapan Allah, namun ironisnya hanya sedikit sekali hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
Allah berfirman:
“Dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya....” ( )
“Dan bersyukur kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada nikmat-Ku.”(Al-Baqarah: 152)
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah . (Lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121).
Tentang Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Allah berfirman:
“Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang banyak bersyukur.” (Al-Isra’: 3).
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut (rahim ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (An-Nahl:17).
“Dan sembahlah Dia dan bersyukur kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (Al-Ankabut: 17).
“Dan Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali Imran: 144).
Terkadang Allah memberikan sebutan untuk syakur (yang bersyukur) dan syakir (ahli syukur), sebagaimana Dia juluki hamba-Nya yang pandai bersyukur dengan dua sebutan sekaligus, syakir dan syakur. Hal ini sebagai pertanda cinta kasih kepada hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.
Selain itu Allah Ta’ala sendiri menyampaikan rasa terima kasih-Nya kepada hamba-Nya yang shalih. Allah berfirman:
“Dan ini adalah balasan bagimu dan usahamu adalah disyukuri (di beri balasan).” (Ad-Dahr: 22)
Dan terhadap hamba-Nya yang bersyukur itu pun Allah ridla, sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dan jika kamu bersyukur kepada-Nya, maka Dia meridlai kesyukuranmu.” (Az-Zumar: 7).
Tidak dapat dipungkiri, kenyatan menunjukkan bahwa sangat sedikit orang-orang yang benar-benar pandai mensyukuri nikmat karunia-Nya. Karena itu, tidaklah mengherankan bila Allah Ta’ala kemudian menjadikan mereka yang pandai bersyukur sebagai golongan yang diistimewakan. Allah berfirman:
“Dan sangat sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Saba’: 13).
Di dalam Kitab Shahih Muslim dan Bukhari diceritakan bahwa kedua kaki Nabi Muhammad SAW sampai bengkak karena tekunnya beliau menunaikan ibadat (shalat). Maka ketika beliau ditanya, “Ya Rasulullah adakah ini Anda lakukan (ibadat terus menerus), padahal dosa-dosa Anda baik yang telah lampau maupun yang akan datang telah diampuni oleh Allah Ta’ala?” Beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur?”
Suatu ketika Nabi berkata kepada Mu’adz bin Jabal: “Hai Mu’adz, demi Allah aku mencintaimu. Maka janganlah lupa engkau membaca do’a berikut ini pada setiap akhir shalat: ‘Ya, Allah bantulah aku untuk berdzikir, bersyukur, dan beribadat secara benar kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud).[1]
4.3 Kesalahan Sebagian Besar Kaum Muslimin dalam Memahami Makna Ibadah
Al-’Allamah Muhammad Quthb, ulama besar masa kini dan sekaligus pengamat pegiat-pegiat dakwah internasional, menulis sebuah kitab berjudul Mafahim Yanbaghi An Tushahhah (Pemahaman yang Sepatutnya Diluruskan) yang mencakup Mafhum Laa Ilaha Ilallah dan Mafhumul Ibadah.
Bagi pegiat dakwah tentu tidak asing lagi tentang beliau itu, karena karya-karyanya selalu menjadi rujukkan bagi du’at mengingat kajiannya yang mendasar mengikuti kebiasaan ulama salaf dalam mengaji permasalahan, namun pembahasannya mengikuti metode ilmiah yang menyentuh dengan persoalan kekinian. Hal ini nampak jelas dalam karyanya: Jahiliyah Qarnul ‘Isyrin, Waqi’unal Mu’ashir, Syubhat Haulal Islam, Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah, Al-Insan Bainal Madiyah wal Islam, Manhajut Tarbiyyatul Islamiyyah, Fin Nafsi wal Mujtama’, Al-Musytasyriqun wal Islam, Ru’yatul Islamiyah Li Ahwalil Mu’ashirah, dan karya-karya lainnya sebagian besar telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan telah banyak diterbitkan di Indonesia.
Di dalam Mafhumul Ibadah, beliau mengatakan di antara penyim-pangan-penyimpangan paling berbahaya yang menimpa generasi-generasi kaum Muslimin dewasa ini, setelah penyimpangan mereka dalam memahami konsepsi Laa Ilaha Illallah, adalah penyimpangan mereka dalam memahami konsepsi ibadah.
Pemahaman generasi kurun pertama dari kaum Muslim tentang urusan ibadah yang sempurna, luas, dan mendalam, sungguh sangat jauh jika dibandingkan dengan pemahaman generasi kini yang serba sempit dan dangkal. Umat tak merasakan kejanggalan, padahal umat telah terhempas jauh dari puncak keluhuran ke dalam jurang kenistaan, sebagaimana kita saksikan sekarang. Wajar-wajar saja jika umat ini kemudian tersingkir dari percaturan kepemimpinan umat manusia. Mereka diperebutkan berbagai kepentingan, dan di seret ke sana-sini dari berbagai penjuru bagaikan seekor mangsa diperebutkan oleh kawanan serigala lapar. Pada saat bersamaan mereka mengetahui jalan mana yang mesti ditempuh untuk membangun kebangkita Islam, yaitu berjuang dengan gigih menyingkirkan hal itu pada tempat yang rendah untuk kembali kepada kedudukan yang dikehendaki Allah sebagai “sebaik-baiknya umat yang ditampilkan di tengah-tengah manusia”.[2]
Pemahaman yang benar tentang konsepsi ibadah di kalangan generasi pertama kaum muslimin adalah bahwa ibadah kepada Allah merupakan tujuan penciptaan umat manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini mengandung pengertian yang agung dan mendalam, serta mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qur'an pun diturunkan dalam bahasa mereka agar memahami arah serta kandungan makna pengilhaman bahasa ini dan mengerti rahasia-rahasia kefasihan bahasanya.
Dalam aspek inilah, manusia seharusnya benar-benar dapat merasakan keagungan Allah sehingga mereka (sebagai hamba) mengikuti tujuan ibadah itu dengan sebaik-baiknya. Manusia harus mendudukkan dirinya sebagai hamba Allah dan menempatkan-Nya dalam uluhiyah dengan beribadah secara ikhlas kepada-Nya serta menghambakan diri pada-Nya.
Dengan demikian, pengertian ibadah bukan sekedar melakukan syiar-syiar ubudiyah saja, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan generasi sekarang ini. Hal itu karena mereka memahami Islam hanya kulitnya saja dan tidak dari pengertian Islam yang benar.
Syiar-syiar Ta’abudi tidak bisa mewakili makna ibadah secara menyeluruh, yang dituntut bagi setiap insan. Jika maksudnya demikian, lalu apa tujuan penciptaan manusia menurut isyarat ayat tadi, yang tersimpul dalam kata ‘ibadah hanya kepada Allah’? Bagaimana mungkin ibadah yang bermakna luas itu hanya diartikan dengan syiar-syiar ta’abudi? Berapa banyak waktu yang dihasilkan syiar-syiar ta’abudi yang kita lakukan sehari semalam? Sudah seberapa jauh dilakukan dan menghabiskan waktu berapa tahun dari umur manusia? Lalu, untuk apa sisa waktu umurnya dan sisa kemampuannya? Apakah sisa waktu dan potensi kita digunakan untuk tujuan di luar ibadah ataukah ibadah? Bagaimana tujuan ibadah dalam ayat tersebut dapat terwujud?[3]
Selanjutnya beliau menyatakan, bahwa manusia tidak mungkin mewujudkan pengertian ibadah dengan hanya melakukan syiar-syiar ta’abudi sebagaimana telah diwajibkan oleh Allah dalam hal shalat, shaum, menunaikan zakat, dan haji.
Manusia bukanlah malaikat dan memang tidak mungkin berubah menjadi malaikat. Sebab malaikat adalah sejenis makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya. Mereka menghabiskan waktunya sepanjang siang dan malam tiada hentinya untuk bertasbih.
Allah berfirman:
“Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang dengan tiada henti-hentinya.”
(Al-Anbiyaa’: 19-20).
Mereka tidak pernah durhaka kepada Allah--Khaliqnya--dalam segala hal, sebagaimana firman-Nya:
“Yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6).
Lain halnya manusia yang diciptakan dari segenggam tanah liat dan tiupan ruh Allah, di samping dilengkapi tuntutan kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik-material maupun psikis, juga berupaya melepaskan diri dari bahaya yang mungkin timbul pada situasi dan kondisi tertentu.
Jelaslah bahwa manusia tidak akan mampu beribadah kepada Allah seperti yang dilakukan oleh malaikat, yang sepanjang siang dan malam bertasbih tiada hentinya. Tidak ada kesibukan lain bagi malaikat selain bertasbih.
Seluruh alam bertindak sebagai hamba, mengabdi kepada Rabbnya sesuai dengan perintah-Nya--kecuali yang durhaka dari golongan jin dan manusia--dan menurut caranya masing-masing sebagaimana telah digariskan oleh Allah Ta’ala:
“Dan tak ada satu pun (di alam ini) melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”
(Al-Israa’: 44)
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, binatang yang melata, dan sebagaian besar manusia?” (Al-Hajj: 18)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih berupa asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati’.” (Fushshilat: 11)
Sebenarnya ibadah itu bisa diumpamakan sebuah garis kehidupan. Garis dalam terminologi matematika adalah sekumpulan titik-titik. Demikian juga ibadah, merupakan kumpulan titik-titik yang menghubungkan satu taklif dengan taklif lain, dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Ketika seorang hamba melakukan shalat, misalnya, maka sebenarnya ia sedang berada pada satu titik taklif atau sedang berhenti sejenak di satu terminal guna menambah bekal untuk melanjutkan perjalanannya ke titik taklif lain, begitu seterusnya. Garis yang dilalui manusia itulah disebut garis ibadah.
Hanya saja, sebagai garis ibadah ia harus berada dalam frame yang disyaratkan Khaliqnya. Jika frame itu berupa bidang kehidupan, maka frame itu dibentuk oleh dua variabel, yaitu variabel kebenaran menurut tuntunan sunnah dan variabel ikhlas mengarahkan setiap amalan lahir maupun batin kepada keridlaan Allah.
Dalam frame ini, agar perkataan dan amalan seseorang tetap berada dalam frame ibadah, maka ia harus melakukannya dengan benar dan ikhlas.
Frame seperti ini dibahasakan oleh Fudlail bin ‘Iyadl rahimahullah dengan:
“Sesungguhnya amalan itu jika dikerjakan dengan ikhlas., namun tidak dengan cara yang benar (sesuai sunnah Rasul) maka tidak diterima amalan tersebut. Dan jika dikerjakannya dengan benar, namun tidak dengan ikhlas juga tidak diterima. Sehingga amalan tersebut dikerjakan dengan benar dan ikhlas. Dan ikkhlas itu menjadikannya karena Allah dan benar itu menjadikannya di atas As-sunnah.”[4]
Jika frame itu berupa ruang gerak manusia, maka frame itu harus dibentuk oleh tiga variabel. Sebab ruang itu dibentuk oleh tiga sumbu (misalnya: x, y, dan z) sebagaimana aturan matematika. Dalam hal ibadah, maka frame ruang dibatasi oleh:
a. Niat yang ikhlas
b. Kesungguhan ‘azam
c. Sesuai dengan tuntunan syariat, baik dalam perintah dan larangan maupun dalam penghalalan dan pengharaman.
Dalam hal ini Muhammad Quthb menegaskan bahwa ibadah yang dituntut dari hamba-hamba-Nya agar bersih dari pengaruh syirik, maka harus memenuhi tiga perkara:
1. Keyakinan yang bulat bahwa Allah itu Esa dalam zat-Nya, asma’-Nya, dan sifat-Nya.
2. Mengarahkan semua urusan kepada-Nya melalui syiar-syiar ta’abudi (ritual-ritual ibadah) yang Allah fardlukan kepada hamba-hamba-Nya.
3. Komitmen kepada apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala, berupa penghalalan, pengharaman, menentukan bagus dan jelek, pembolehan dan larangan.[5]
Satu hal terlarang bagi hamba Allah yang bertauhid secara benar adalah meninggalkan perintah Allah karena merasa aman dari dosa, merasa senang, dan tidak menganggapnya sebagai dosa. Hal ini bisa menjadikan pelakunya kafir.
Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Maka barangsiapa yang meninggalkan (perintah) merasa senang menganggap tak berdosa dari unsur-unsur keimanan, maka dengan itu ia bisa menjadi kafir. Dan barangsiapa yang meninggalkannya karena bermalas-malas atau menganggap sepele dengannya, maka ia menjadi kurang imannya dan harus dididik.”[6]
Ketika seseorang menyatakan Iyyaka Na’budu, maka harus disertai keyakinan bahwa Dia-lah Ma’budul Haq, tiada selain-Nya yang patut diibadahi dan menetapkan hanya untuk Allah satu-satunya.[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Tidak ada kegembiraan dan kebahagiaan yang sempurna bagi hati seseorang kecuali dalam mahabbatullah (kecintaan kepada Allah), Taqarrub kepada-Nya dengan kecintaan. Dan tidak kokoh mahabbah-nya kecuali berpaling dari seluruh yang dicintai selain Allah. Dan inilah hakikat Laa ilaha illallah, yaitu millah Ibrahim Khalilullah dan seluruh para Nabi dan Rasul Shalatullah wa Salamuhu ‘Alaihim ajmai’in.” [8]
[1] Dikutip dari Kitab Madarikus Salikin, Ibnul Qayyim, jilid II, hal. 242.
[2] Ali Imran : 110
[3] Yanbaghi an Tushahhah. Hal. 173-175
[4] Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam. Muhammad bin Sa’id Al-Qabthani. Hal. 35 dan Iqtidla’ush Shiratul Mustaqim. Ibnu Taimiyah. Hal. 415
[5] Waqi’unal Mu’ashir. Hal. 34
[6] Al-Wala’ wal Bara’. Hal. 27
[7] Fathul Majid. Hal. 36
[8] Majmu’ Fatawa. Jilid 28 hal. 32
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR AL FATIHAH BAG.5 (02/5), oleh mutawalli
TAFSIR AL FATIHAH BAG. KE-5 (02/5)
ISLAM JALAN LURUS
5.5 Islam Jalan Yang diTempuh Para Nabi, Shalihin dan Syuhada’
Telah kita katakan bahwa Islam sebagai Dinul haq, Din samawi satu-satunya yang diturunkan oleh Allah SWT melalui rasul-rasulNya adalah tidak sekedar mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya, hubungan vertikal saja, namun lebih merupakan nizhamu hayah (sistem kehidupan) yang mengatur seluruh aktifitas manusia, dari mulai hubungannya dengan rabbnya, hubungan sesama manusia, mengatur urusan sosial kemasyarakatan, pendidikan dan mempersiapkan generasi, juga urusan politik dan ketatanegaraan. Namun semua itu harus ditegakkan di atas pondasi yang kokoh, yaitu aqidah Islam yang murni dan terbebas dari hurofat dan bid’ah.
Islam adalah taslim, penyerahan diri secara total kepada Khalik yang menurunkan Islam ini. Sebagai hamba-hambaNya yang muslim dan mukmin, maka mereka dituntut untuk menyerahkan diri mereka secara total. Memasrahkan seluruh persoalan mereka, baik yang penting maupun remeh, sepenuhnya kepa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang dengan penyerahan total itu, sehingga tidak ada lagi tersisa apapun dalam diri mereka, baik konsepsi maupun kesadaran, motivasi dan tindakan, suka maupun tak suka, yang tidak ditundukan kepada Allah dan tidak rela atas hukum dan keputusanNya, penyerahan total yang tak tergoyahkan yang dfisertai keikhlasan sepenuhnya. Perhatikan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang briman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208)
Mengapa orang yang beriman masih saja diseru dan terus diseru untuk masuk Islam secara total, memasrahkan diri mereka secara total bulat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala? Karena, memang masih banyak dari orang yang beriman itu enggan, tidak mau memasrahkan dirinya secara penuh, sehingga masih ada bagian-bagian tersisa pada diri mereka, baik pola pikir maupun pemahaman keislamannya, prilaku maupun kesadarannya, yang tidak diserahkan kepada Allah SWT. Sebab masih ada jalan-jalan setan yang diikuti, mereka masih menurutkan hawa nafsunya, masih tunduk dan bertahkim kepada akalnya dan mendahulukannya daripada nash-nash Kitabullah dan Sunnah RasuNya. Padahal, apa-apa yang mereka ikuti itu dan jalan yang mereka titi itu adalah jalan setan, jalannya musuh-musuh Allah dan Islam.
Sayyid Quthb berkata:
“Panggilan ini secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang beriman saja. Itu dikarenakan masih adanya orang-orang yang bimbang dan ragu dalam menjalankan ketaatan mereka, baiok secaara terang-terangan maupun tersamar—suatu hal yang wajar di tengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan teguh dan keikhlasan penuh. Itu merupakan seruan yang setiap saat ditujukan kepada orang-orang yang briman, agar mereka ikhlas dan tulus, serta menyelaraskan kata hati dan arah kesadaran mereka dengan irodat Allah atas diri mereka, selaras dengan bimbin gan nabi dan agama mereka tanpa ada sedikitpun keragu-raguan.
Begitu seorang muslim menyambut seruan itu dalam bentuknya yang demikian, berarti mereka telah memasuki dunia yang seluruhnya damai dan penuh penyerahan diri—sutatu alam yang seluruhnya penuh keyakinan dan kepercayaan diri, tulus dan pasrah, tiada bimbang dan ragu, tiada pembangkangan maupun kesesatan. Damai bersama jiwa dan hati nurani. Damai bersama akal dan rasio. Damai bersama umat manusia dan kehidupan. Damai di langit… damai di bumi”. [1]
Dalam ayat ini Allah menegaskan “Janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan”. Langkah atau jalan yang ditempuh Syaithan adalah bukan jalan lurus, karena setiap jalan syaithan akan membawa kepada pertikaian dan permusuhan sesama manusia, menyesatkan dan menyimpangkan dari Syirathal Mustaqim, menjauhkan diri dari Manhaj Rabbani dan petujuk-petunjuk As sunnah.
Shirathal Mustaqim yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang periman untuk diikutinya sekalipun menuntut segala kemampuan optimal dari kita, pada hakekatnya adalah membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, karena di dalam nya tak ada tipuan dan kepalsuan, tidak ada syakk dan keraguan, tidak bengkok dan menyesatkan.
Jalan lurus ini terbimbing oleh dua wahyu: Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul utusan Allah, maka Muhammnad SAW bukanlah termasuk orang yang menyimpang atau sesat. Sebab dia itu tidak berkata kecuali berdasarkan petunjuk wahyu. Dia tidak memerintah dan tidak melarang dalam perkara agama, menurutkan nafsunya atau kehendak intuisinya, akan tetapi dengan wahyu yang Allah wahyukan padanya.
Allah berfirman:
“kawanmu(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lai hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (An Najm: 2-4).
Pada diri Rasulullah telah diberikan wahyu berupa Al Quran dan yang semisal dengannya yang menyertainya, yaitu As Sunnah. Kedua sumber hukum inilah yang beliau tinggalkan kepada umatnya untuk meniti jalan lurus, yang tiada akan menyesatkan selama-lamanya bagi mereka yang komitmen sepenuhnya memegang kuat-kuat keduanya.
Kenikmatan, kelezatan, dan kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat hanya akan diperoleh hamba-hambaNya yang memasrahkan total seluruh jiwa raganya kepada Al Islam sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah dan taqarrub kepadaNya. Hal ini hanya mungkin jika hamba itu memalingkan dari seluruh kecintaan dan kepasrahan kepada selainNya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
‘Tidak ada kegembiraan dan kelezatan yang sempurna bagi hati hamba kecuali dalam kecintaan kepada Allah dan taqarrub kepadaNya sebagai bukti kecintaanNya. Dan kecintaan ini tidak mungkin terhujam dalam hatinya kecuali jika ia berpaling dari seluruh kecintaan kepada selainNya. Dan inilah hakikat Laa Ilaaha Illallah, yaitu millah Ibrahim khalilullah dan seluruh para nabi dan rasul, shalawatullah Wa Salamuhu Ajama’iin”. [2]
Kepasrahan total yang dikatakan Sayyid Quthb dalam menafsirkan “masuklah ke dalam Islam secara total”, sejalan dengan upaya memperoleh kelezatan dan kegembiraan sempurna menurut Ibnu Taimiyah. Dan ini tidak mungkin dilakukan kecuali jika hamba itu benar-benar telah memalingkan diri dari seluruh jalan syaitan atau memalingkan dari semua kecintaannya kepada selain Allah SAW.
Di dalam kitab tafsirnya, Sayyid Quthb mengatakan (di dalam pendahuluannya): “Hidup di bawah naungan Al Quran itu nikmat”. Tentu kenikmatan ini hanya bisa dirasakan bagi mereka yang memasrahkan total seluruh jiwa raganya kepada bimbingan Kitabullah ini yang tiada keraguan di dalamnya, tiada kecongkakan, kekeliruan, dan kesesatan.
Sayyid Quthb mengatakan:
Pancaran pertama yang dipantulkan ke dalam hati oleh kedamaian seperti ini (muslim kaffah) adalah pancaran yang memantulkan kelurusan konsepsinya tentang Allah. Kemudian pancaran cahayanya membentuk satu keyakinan bahwa Allah itu Ilah yang Maha Tunggal. Kepada-Nya seorang Muslim menghadapkan diri tanpa banyak bertanya, dan dari-Nya pula ia memperoleh ketentraman kalbu. Dengan demikian, jalan tidak lagi bercabang, tujuan tiada lagi beraneka ragam, dan tidak lagi terpental dari satu Tuhan ke Tuhan lain seperti yang ada pada sistem keberhalaan. Ia adalah Rabb yang Maha Tunggal, yang kepada-Nya manusia menghadapkan diri dengan penuh keyakinan, kepercayaan, kejelasan, dan kecenderungan.[3]
Kiranya pantas jika Allah SWT. mengabarkan bahwa Shirathal Mustaqim itu jalan yang ditempuh para nabi, siddiqun, shalihun, dan syuhada. Jalan mereka yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, nikmat dunia dan akhirat, bahagia di dunia dan di akhirat.
Allah berfirman:
Yaitu jalan orang-orang yang Engkai beri nikmat atas mereka.
(Al Fatihah: 7)
Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
(An Nisa: 69)
Adl Dlahak dari Ibnu Abbas ra. mengatakan Shirathalladzina an ‘amta ‘alaihim, yaitu dengan menaati-Mu, beribadah kepada-Mu, dari kalangan Malaikat-Mu, para Nabi-Mu, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang shalih. Hal ini sejalan dengan firman Allah
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. [4]
Jika Allah menyebutkan tentang siapa-siapa mereka yang telah Allah anugrahkan nikmat, seperti nabi, sebab semua nabi dan rasul diutus ke muka bumi untuk urusan yang sama, membawa satu misi, yaitu “menyeru uman manusia agar mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT, dan tiada menyekutukanNya dengan sesuatu apapun”, dan mereka itu membawa Din Al Islam, satu-satunya Din yang diterima di sisiNya dan menolak pengakuan sementara manusia terhadap din-din selain Islam.
“Sesungguhnya din (yang diridlai) Allah hanyalah Islam…”
(Ali Imran: 19).
“Barang siapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din tersebut), dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi” (Ali Imran: 85).
Jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah hanya kepada Allah, dan menjauhkan sesembahan-sesembahan (pengabdian lain) selain Allah 9Thagut dalam segala maknanya), tidak lain agar manusia dapat mempertahankan fitrahnya, terhindar dari kerusakan fitrah.
Muhammad Abdul Hadi Al Misri mengatakan: “Ketika fitrah mayoritas manusia sudah rusak, dan ketika manusia menjadi mahkluk yang paling banyak menentang/membantah (Al Kahfi: 54), maka saat itulah syaitan menghiasi amal buruk manusia sehingga tampak bagus dan indah. Syaithan pun mencampur adukan antara yang hak dan yang batil serta mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk, sehingga mereka bertahan dengan kebatilannya.
“Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian itu mereka dapat melenyapkan yang hak” (Al Kahfi: 56).
Betapa herannya anak Adam ketika fitrahnya menjadi rusak, mata hatinya menjadi gelap, dan akalnya menjadi sesat. Lantas ia melihat kebenaran sebagai kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu melihat mana yang hak dan mana yang batil. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya:
“…MakaAllah menyesatan siapa yang dikehendakiNya, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Dialah yang Mahakuasa serta Mahabijaksana” (Ibrahim 4)
“…barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendaoat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendaptkan seorang pemimpin pun yang mampu memberi petunjuk kepadanya” (Al Kahfi: 17).
Orang-orang kafir berselisih di antara sesamanya. Mereka terpecah belah menjadi bermacam-macam golongan, berbeda dalam tingkat kekufuran, kesesatan, kebingungan, dan penyimpangan dari jalan yang lurus (Shirotul mustaqim, akibat meniti jalan-jalan syaithan)…” [5]
Adapun ketika Allah memasukkan Shiddiqun, Syuhada’ dan Shalihun, dari golongan yang Allah beri kenikmatan, adalh karena komitmen mereka meniti jalan lurus yang ditempuh para nabi dan rasul Allah itu dengan pengorbanan terbesar mereka, penyerahan total terhadap Manhaj para nabi dan menjadikan Islam sebagai nizham kehidupan. Dan di antara mereka itu adalah mereka yang disebut Rasullah sebagai “tiga generasi terbaik abad ini”(tiga generasi Salafush shalih), yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. kemudian generasi berikutya, yang disebutnya sebagai salafiyyun (pengikut salafush shalih, yang menetapi Manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah).
Islam pernah terselamatkan dari fitnah besar oleh Abu Bakar Ashshiddiq ketika sebagian kaum muslimin pada masanya tidak mau membayar zakat, memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat, lalu mereka diperanginya sebagai golongan murtad (kembali kafir setelah mereka beriman). Lalu, ketika Islam difitnah golongan ahlul bid’ah yang menyatakan “Al Quran itu makhluk”, tampillah Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah membantah dan menyerang, walau risiko yang mesti ia hadapi sangat besar, demi menyelamatkan kaum muslimin dari murtad.
Tentang para sahabat ridlwanullah ‘alaihim ajma’un, imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra:
Siapa yang hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah SAW. Mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit neka-nekonya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan Dien-Nya. Karena itu, hendaklah kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka. Sebab, mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.
Pantas jika Rasul mensifati mereka itu sebagai generasi terbaik umat dan melarang kit untuk mencaci maki mereka dengan alasan apapun.
Diriwayatkan daari Abi Sa’id Al Hudri ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kamu mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kamu membelanjakan emas (menginfaqkannya) sebesar gunung Uhud, nilainya tidak satu mud yang diinfaqkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Iman Tirmidzi dari Ibnu Mughaffal ra, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai para sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalku nanti. Barang siapa mencintai mereka karena mencintai aku, maka aku mencintai mereka. Barang siapa membenci mereka karena membenci aku, maka aku membenci mereka. Barang siapa menyakiti mereka, ia menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barang siapa menyakiti Allah, ia akan mendapat siksaan dari Allah. Barang siapa disiksa Allah, ia tidak akan lolos.
Kemauan mereka untuk (mengkaji) Al Quran sangatlah besar, sementara Rasulullah SAW berada di tengah-tengah mereka. Beliaulah yang mengajarkan takwil-takwil, pengertian, dan makna Al Quran sebagaimana beliau mengajarkan lafazh-lafazhnya. Karena itu, tidak mungkin pada sahabat bergeser pada yang lain; pun tidak mungkin hati mereka tergerak untuk mengetahuinya. Oleh karena itu, para ulama salah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki kesepakatan tentang sikap terhadap generasi pendahulu umat (sahabat khususnya) dan tabi’in serta tabi’it tabi’in, yaitu antara lain “menghindari pembicaraan yang tidak baik dan tidak perlu berkenaan dengan para pendahulu umat ini”.
Betapa indahnya ucapan yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari Ibnu Abbas ra: Allah memerintahkan untuk memintakan ampunan bagi sahabat-sahabat Nabi SAW, sementara Dia mengetahui bahwa mereka saling berperang.[6] Karena alasan ini, Imam Malik mewajibkan umat Ialam keluar dari kota yang di dalamnya terdapat cercaan terhadap para sahabat Nabi telah meluas. Jika seseorang tidak keluar dari kota yang kondisinya seperti itu, pada dasarnya ia menetap di suatu negara yang tidak memiliki kebenaran dan tidak mungkin lagi mengubahnya. Padahal di negara lain kebenaran masih tegak atau kemungkaran masih bisa dihilangkan. Ia berkata, tidak patut bagi seorang yang menetap di bumi yang tidak mengenal kebenaran dan di dalamnya terdapat cercaan terhadap para pendahulu (salafush shalih).[7]
Malik bin Anas ra berkata: “Barang siapa yang di dalam hatinya tersimpan kebencian terhadap salah seorang dari sahabat Nabi, maka dia benar-benar terkena dengan apa yang dimaksud dengan ayat ini (maksudnya ayat 29 surat Al Fath).”
Sufyan Ats Tsauri ra berkata: “Barang siapa yang mengutamakan Ali dari Abu Bakar dan Umar, berarti ia telah mencela dan meremehkan mereka.”
Abul Hasan Al Baghawi berkata: “Sikap pemutusan hubungan, pelepasan diri dan memusuhi pelaku bid’ah dan seorang yang selalu mencari perselisihan adalah berkenaan dengan perkara-perkara yang pokok (ushul). Adapun perbedaan pendapat dalam perkara-perkara furu’iyah yang terjadi di antara ulama merupakan rahmat yang dengan perbedaan pendapat itu Allah menghendaki agar tidak menjadi kesempitan bagi orang-orang mukmin dalam agamanya.
Jika melihat seseorang memperturutkan hawa nafsunya dan mengerjakan bid’ah dengan yakin serta menghina as Sunnah, seorang muslim wajib menjauhi orang itu, berlepas diri darinya, dan meninggalkannya dalam keadaan hidup atau mati. Oleh sebab itu, jika bertemu dengan orang seperti itu, jangan mengucapkan salam dan jangan memenuhi undangannya.[8]
Syaikh Muhamad Abu Zahrah menuturkan, perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah berpangkal dari persoalan pemilihan khalifah. Siapakah yang berwenang memilih khalifah? Apakah hanya penduduk Madinah, sedangkan orang lain selain mereka hanya mengikuti? Atau seluruh umat manusia (Islam) di setiap tempat mempunyai hak untuk memilih?[9]
Rasa percaya kepada para pendahulu umat Islam mengantarkan umat Islam kepada keyakinan bahwa semua sahabat Nabi itu benar. Masalah yang timbul di antara mereka berpangkal pada usaha mereka untuk melestarikan agama Islam. Umat Islam harus menjaga hak mereka dan tidak boleh mengultuskan salah seorang di antara mereka karena sikap pengultusan hanya akan merugikan sahabat yang dikultuskan dan umat Islam sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa orang-orang berbeda pendapat mengenai apa yang terjadi di antara Ali dan Mu’awiyah, Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Apakah mereka semua benar atau salah seorang saja yang benar? Berakar pada masalah ushul, dalam masalah furu’ hanya ada satu kebenaran bagi Allah dan mujtahid diperintahkan mencarinya. Jika benar, ia memperoleh dua pahala dan jika salah ia memperoleh satu pahala. Inilah pendapat mayoritas As Syafi’I, Madzhab Malik, dan al Laits.
Selanjutnya ia berpesan agar kita tidak mempersalahkan perselisihan di antara sahabat Nabi dan tidak mencari-cari siapakah yang salah dan siapakah yang benar. Al Mawarzi bercerita, pada suatu hari Yakub mendatangi Imam Ahmad sebagai utusan khalifah. Ia bertanya tentang perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah. Imam Ahmad menjawab bahwa ia hanya mengetahui bahwa kedua-duanya baik. Kemudian ditanyakan pula tentang Thalhah, Ali, dan Aisyah. Imam Ahmad menjawab, “Siapa gerangan aku ini? Rasanya aku tidak layak berbicara soal ini sehingga berani mengomentari perselisihan di antara mereka. Jika ada suatu masalah timbul di antara mereka, hanya Allah yang mengetahuinya”.
Firman Allah,
Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
(Al Baqarah: 134)
Di dalam kitab tarikhnya, Ath Thabari meriwayatkan bahwa Harun Ar Rasyid bertanya kepada Abdullah bin Mush’ab tentang orang-orang yang mencela Utsman. Abdullah bin Mush’ab menjawab, “Ya, Amirul Mukminin. Ada orang-orang yang mencelanya, ada orang yang membelanya. Mereka yang mencela Utsman telah terpisah darinya, yaitu orang Syi’ah dan Khawarij. Mereka yang memihak Utsman adalah Ahlul Jama’ah hingga sekarang.” Mendengar jawaban seperti itu, Ar Rasyid berkata,”Kalau begitu, saya tidak akan bertanya tentang hal itu lagi.
Ibnu Taimiyah juga memaparkan dengan rinci dan cermat bantahannya terhadap kaum Rafidlah yang menuduh Abu Bakar, Umar, dan Utsman sebagai pencari dunia dan kekuasaan. Juga anggapan bahwa Ali tidak pernah memberikan kedudukan kepada salah seorang kerabatnya. Ia tidak mengatakan bahwa kaum Rafidlah tidak bisa menetapkan keimanan dan keadilan Ali serta menganggapnya sebagai penghuni surga bila hal yang sama tidak dinisbatkan kepada Abu Bakar dan Umar. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, tidak ada seorang muslim pun yang dibunuh. Yang diperangi hanyalah orang-orang murtad dan kafir. Ketika ajalnya sudah dekat, Abu Bakar mewasiatkan kekuasaannya kepada seorang sahabat yang perkasa, dipercaya, jenius (Umar bin Khaththab), bukan kepada kerabat atau keturunannya. Ia memperluas wilayah Islam. Jika Rafidlah mengatakan bahwa semua itu dilakukan untuk mencari dunia dan kekuasaan, siapapun bisa mengatakan bahwa Ali juga hanya mencari dunia dan kekuasaan. Ali berperang hanya di dalam wilayahnya, tidak berperang melawan orang-orang kafir, dan tidak membuka satu kota pun.
Selanjutnya ia berkata, “Menurut Ahlus Sunnah, ahlul Badr itu masuk surga, demikian juga ummul Mukminin. Tidak disyaratkan bahwa mereka bersih dan dosa. Bisa saja di antara mereka berdosa besar atau kecil dan kemudian bertobat. Hal ini disepakati oleh umat Islam. Dosa besar bisa dihapus dengan kebajikan yang lebih besar atau dengan musibah.”
Sabda Nabi SAW,
Apabila disebutkan sahabatku, maka tahanlah dirimu
(HR Thabrani dalam Al Kabir)
Fitnah dapat menimbulkan peperangan dan saling membunuh. Oleh karena itu, fitnah harus dihindari. Fitnah adalah perkataan yang samar yang belum tampak kebenarannya, sehingga tidak bisa diketahui kelompok mana yang salah dan yang benar, khususnya dalam masalah politik dan pemerintahan. Menurut Ibnu Hajar, arti fitnah menurut syari’at adalah apa yang timbul dari perselisihan memperebutkan hak milik sehingga tidak diketahui yang hak dan yang batil.[10]
Semoga Allah menjadikan kita tetap mengikuti ajaran yang benar dan murni, meramaikan dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW, menjauhkan kita dari seluruh perbuatan bid’ah serta menurutkan hawa nafsu, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
5.6 Shirathal Mustaqim (Jalan Lurus atau Islam) Longsor dan Runtuh oleh Perbuatan Ahlul Bid’ah
Bid’ah secara etimologi dapat bermakna, menciptakan sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Bisa juga bermakna lelah, letih, atau lesu. Orang Arab mengatakan, “Unta itu letih manakala berhenti nongkrong di tengah jalan.” Keletihan itu bisa terjadi karena cacat atau pincang atau sebab lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian bid’ah secara terminologi (syari’ah). Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bid’ah itu menciptakan perkara baru yang bertentangan dengan as Sunnah. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bid’ah itu berlaku umum, yaitu meliputi semua hal-hal baru yang diadakan setelah masa Rasulullah SAW, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Namun, yang terbaik, terlengkap, dan paling tegas dalam pengambilan makna bid’ah adalah yang dikatakan Imam Asy Syathibi berikut:
Bid’ah adalah jalan yang ditempuh atau diciptakan (yang asalnya tidak ada) dalam ad Din yang menempati kedudukan setingkat dengan As Syari’ah, yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri dengan Allah, dan tidak tegak di atasnya dalil syar’I yang shahih, baik asalnya maupun sifat (perbuatannya).[11]
Dengan adanya kalimat “dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah”, dikeluarkanlah segala perkara baru yang bersifat duniawi, seperti mobil, kapal laut, pesawat terbang, mimbar untuk pidato, menhimpun kitab, dan yang sejenis itu semua. Sebab, perkara-perkara baru yang kita sebut itu termasuk Wasail Masyru’ah (media atau sarana yang disyariatkan; dibenarkan secara syari’ah), sebab mengantarkan kepada apa yang disyari’atkan secara nash. Perkara-perkara baru seperti inilah yang menerima pembagian kepada hukum yang lima (wajib, haram, sunnah, mubah, dan makruh) dan tidak bisa dimasukkan ke dalam istilah bid’ah diniyyah. Sebab-sebab perkara wasail masyru’ah ini berkaitan dengan qawa’idah ushul (kaidah-kaidah ushul) sebagaimana dikatakan, “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, ia menjadi wajib”. Hal ini tidak seperti yang dikatakan oleh Al ‘Izz bin Abdul Salam dalam pembagian bid’ah diniyyah kepada lima pembagian.[12]
Oleh karena itu, membagi bid’ah menjadi bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), atau bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah bukan saja tidak benar karena tidak ada rujukan yang benar, juga mempunyai implikasi buruk bagi umat Islam. Sebab, menjadi sulit membedakan istilah bid’ah secara bahasa dan secara syari’at. Padahal jika kita berbicara soal hadits bid’ah, ini harus dipahami secara terminologi syari’ah, tidak dengan etimologi bahasa.
Hal ini berarti kata “Kullu bid’atin Dlalalah” ( ) meliputi batasan bid’ah yang digariskan Imam Asy Syarthibi tersebut. Bukan dalam pengertian umum yang di-takhshish, hanya perkara yang bertentangan dengan as Sunnah. Mereka benar memberikan contoh secara bahasa bahwa pesawat terbang dan membuat mimbar adalah perbuatan baik (hasanah dan terpuji), namun mereka keliru memasukkan perkara wasail (media dan sarana) masyru’ah ini ke dalam bid’ah terpuji atau hasanah. Kalau yang demikian dimasukkan ke dalam bid’ah hasanah akan timbul persoalan baru. Sebab perkara seperti ini, pada masa Rasulullah SAW belum ada dan tidak terjadi. Kini, hal itu banyak sekali muncul, diciptakan, dan diadakan serta terjadi di mana-mana.
Nanti orang berpikir, jika menciptakan kendaraan saja termasuk bid’ah hasanah, apalagi membuat perkara baru seperti menciptakan kalimat “shalawat pada Nabi” versi baru, berdzikir dengan cara baru, membaca Al Quran beramai-ramai dengan suara keras, membuat penerangan dengan pelita di atas kuburan, berdiam diri beberapa hari membaca Al Quran di atasya, dll. Apakah ini bukan bid’ah hasanah, karena yang dibaca itu kalamullah dan dzikir kepada Allah? Kita menjadi sulit membedakan perkara baru yang berkaitan dengan media atau sarana yang disyari’atkan dan mana yang termasuk bid’ah.
Bid’ah yang diisyaratkan Imam Asyathibi adalah menyangkut Ushul ad-Din (pokok-pokok agama), sedangkan perkara wasail (media atau sarana) masyru’ah itu berkaitan dengan qawa’idul ushul (kaidah ushul).
Lalu bagaimana yang sebenarnya?
Berkaitan dengan ushulud din, dalam beribadah yang disyari’atkan haruslah ada ”perintahnya” dan disertai “tuntutan dan sifat melakukannya”. Ada perintah dari Allah atau Rasul-Nya, dan ada contoh pelaksanaannya dari Rasulullah SAW. Jika suatu amalan tidak ada perintahnya, baik dari Allah maupun dari Rasul, dan juga tidak ada contoh pelaksanaan dari Rasul, amalan tersebut dimasukkan ke dalam bid’ah haqiqiyah. Jika amalan itu ada perintahnya, dari Allah atau Rasulullah, tetapi dalam pelaksanaannya tidak sejalan dengan As Sunnah, amalan ini disebut dengan bid’ah idlafiyyah.
Kaum muslimin yang membagi tauhid menjadi tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyyah termasuk ke dalam bid’ah haqiqiyah. Sebab, tidak tegak padanya dalil syar’i, dari Al Qur’an maupun As Sunnah, juga pernyataan ulama-ulama salaf generasi ketiga terbaik pendahulu umat.
Membangun benteng (bangunan) di atas kuburan, atau memberi penerangan dengan pelita, atau mendirikan masjid di atasnya, termasuk bid’ah haqiqiyah. Sebab, ada nash yang melarangnya, dan Nabi SAW maupun para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak pernah melakukannya.
Dzikir, shalawat kepada Nabi, atau membaca ayat-ayat Allah adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika dalam pelaksanaannya menyimpang dari tuntutan As Sunnah, tergolong kepada bid’ah idlafiyah. Misalnya, melakukannya dengan beramai-ramai menyatukan suara, mengambil waktu dan tempat tertentu. Hal ini seperti yang dilakukan Ibnu Mas’ud ra ketika ia mengusir jama’ah halaqah dzikir di Masjid Kufah. Jama’ah yang dipimpin seorang syaikh itu membaca kalimat tahlil 100 kali, kalimat tahmid 100 kali, kalimat tasbih 100 kali, disertai dengan media yang tidak disyari’atkan (wasail laisa masyru’), yaitu dengan kerikil untuk menghitung jumlah masing-masing dzikir, lalu melakukannya beramai-ramai menyatukan suara bacaan. Amalan ini bisa jadi bid’ah haqiqiyah jika perintah jumlah dzikir itu tidak disyari’atkan karena tidak ada nash yang mendukungnya.[13]
Padahal dzikir yang masyru’ adalah membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing sebanyak 33 kali, serta ditutup dengan sekali membaca kalimat la ilaaha illallah wahdahu la syarikalahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumitu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Genaplah 100 kali. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Aku memohon kepada Allah yang Maha Besar, yang tak ada Ilah kecuali Dia. Yang senantiasa hidup, lagi yang mengurus segala sesuatu dengan sendirinya, dan aku bertaubat kepada-Nya.
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari Bilal Ibnu Yasar) [14]
Siapa yang bertasbih sesudah shalat (setiap shalat) 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali; jumlah semuanya 99 kali, dan kemudia dia sempurnakan menjadi seratus kali dengan membaca: Tiada Tuhan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nyalah pemerintahan (kekuasaan), dan bagi-Nyalah pujian dan Dia atas segala sesuatu Maha berkuasa. Niscaya diampuni segala dosanya oleh Allah walaupun dosanya sebanyak buih laut.
(HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)[15]
Di riwayat lain, dalam melakukan bacaan dzikir tersebut, dihitung dengan bilangan jari-jari. Cukup dengan itu, tidak perlu mencari wasilah lain, seperti jagung, kerikil, atau untaian tasbih. Sebab, penggunaan jari-jari itu adalah wasilah masyru’ (bukan bid’ah hasanah), sedangkan penggunaan alat lain merupakan bid’ah idlafiyah, dan bukan bid’ah hasanah. Itupun selama perintah dzikir itu ada.
Tentu ada beberapa dzikir ma’tsur, berdasarkan hadits yang shahih, berikut tuntutannya. Ada juga dzikir masyru’ yang hanya dibaca pada waktu tertentu. Misalnya, setelah shalat fajar dan maghrib. Atau doa pagi hari dan sore hari, atau doa dan dzikir menjelang tidur, dan doa lain yang seluruhnya tentu disyari’atkan.
Bid’ah haqiqiyah lainnya adalah mengadakan pesta ulang tahun, maulid Nabi SAW, peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bertawassul dengan kedudukan Nabi SAW, melalui makam orang saleh yang dianggap keramat, amalan asyura, menyalakan api pada bulan nishfu sya’ban, atau melakukan ibadah tertentu berkaitan dengan itu.[16] Hanya saja Imam Suyuthi masih menggunakan ta’rif bahasa, karena adanya sebutan bid’ah mahmudah dan madzmumah.
Dr. Ibrahim Muhammad Abdullah Al Buraikan mengatakan:
“Bid’ah itu terbagi dalam dua bagian:
1. Bid’ah Haqiqiyah, yaitu sesuatu yang baru diadakan dan dianggap bagian dari agama dalam hal asal perintah dan bentuk pelaksanaannya. Misalnya, berjalan mengelilingi kuburan atau memberi lampu atau sejenisnya.
2. Bid’ah Idlafiyah, yaitu sesuatu yang baru diadakan dan dianggap bagian dari agama hanya dalam hal bentuk pelaksanaannya tanpa asal perintah. Misalnya, melakukan dzikir secara berjama’ah dengan satu suara. Perintah dzikir memang ada dalam agama, tetapi bentuk pelaksanaan seperti ini tidak ada dasarnya.
Kedua bid’ah ini sama-sama tercela dalam Islam. Rasulullah menyatakan itu dan mengingatkan kita bahayanya terhadap agama dalam berbagai sabdanya:
Siapa yang mengadakan sesuatu dalam urusan (din) kami ini, dan itu bukan bagian darinya, ia pasti tertolak.
Setiap bid’ah itu merupakan kesesatan. Dan setiap kesesatan itu pasti masuk ke neraka (Hadits panjang dari ‘Irbadl bin Sariyah ra riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).
Hati-hatilah (jangan kamu lakukan) terhadap sesuatu yang baru kamu adakan sendiri. Karena setiap bid’ah itu adalah kesesatan dan kesesatan itu pasti masuk neraka. Aku akan berada di haudl (telaga di surga) dan berkumpullah banyak orang di sekitarku. Lalu aku berkata: Ya Rabbku, mereka itu sahabat-sahabatku. Lalu Allah berkata: Sesungguhnya Engkau tidak mengetahui yang mereka ada-adakan setelahmu. (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Mas’ud ra)
Jelaslah, pelaku bid’ah itu tidak berjalan di atas petunjuk dan jalan yang lurus. Padahal mereka setiap hari lebih dari 17 kali membaca Ihdinash shirathal Mustaqim, juga A’udzubillahi minasy syaithanirrajim. Mereka tidak merasa dalam kesesatan, bahkan merasa berjalan di atas petunjuk. Sehingga, wajar jika mereka susah diharapkan taubatnya karena tidak merasa salah dan tidak melakukan bid’ah.
Pantas pula jika Iblis lebih suka kepada pelaku bid’ah daripada pelaku maksiat. Setiap orang yang maksiat, ada kemungkinan bertaubat, menyesali kemaksiatannya. Akan tetapi, pelaku bid’ah tidak merasakan kesesatan pada dirinya, seakan-akan mereka berada di dalam petunjuk dan jalan lurus. Untuk apa harus bertaubat? Bukankah kami hanya melakukan bid’ah hasanah atau mahmudah? Itulah yang ada dalam benak mereka.
Di sinilah berbahayanya membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah yang disertai pemahaman yang keliru karena tidak bis membedakan antara wasial masyru’ah dan bid’ah.
[1] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, ayat 208 Surat Al-Baqarah: Dipersilahkan baca tafsir ayat ini dengan judul Hidup Damai di Bawah Islam, GIP. Penerjemah Abu Fahmi.
[2] Majmu’ Fatawa, Juz 28, h. 32.
[3] Lihat Tafsir ayat 208 Surat Al-Baqarah
[4] Taisirul ‘Aliyyul Qadir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, I/16
[5] Manhaj dan Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah;pen. Abu fahmi; hal. 33-34.
[6] Minhajul I’tidal 64, sanadnya dlaif. Ia menunjukkan perintah istighfar ini berdasarkan surat Al-Hasyr 10.
[7] Al-Intiqa’, Ibnu Abdil Bar, 36
[8] Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, Imam Jalaluddin As Suyuthi.
[9] Tarikh madzahib Islamiyah,1/7
[10] Fathul Bari,13/31. Lihat juga Minhajus Sunnah fil Alaqah Bainal Hakim wal Mahkum,
DR. Yahya Ismail, hal.
[11] Al-I’tisham,Imam Asy-Syathibi,I/37, Dar al Ma’rifah, Beirut
[12] Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anaam,2/172-174, Dar al Kutubul ‘Ilmiyyah, Beirut. Lihat juga Al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’ fil Ummah, Salim al Hilali dan Al Kutubul Islamiyah, Amman Yordan, hal. 5-6
[13] Inti dari hadits riwayat Ad-Darimi
[14] Tuhfatudz Dzakirin,259
[15] Subulus Salam, I/271
[16] Mengenai perkara ini dan contoh-contoh bid’ah lainnya, baca juga keterangan Imam As Suyuthi dalam Al Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘Anil Ibtida’ yang ditahqiq oleh Dr. Isa Asyur atau Abdul Qadir Al Arnaut.
Kategori: Al-Quran dan Tafsir
TAFSIR ALFATIHAH BAG.6 (04/6), oleh mutawalli
6.5 Kebenaran Ilahiyat Tegak, Kebatilan Yahudi-Nasrani pun Sirna
Allah menimpakan kehinaan dan kemiskinan kepada mereka, Yahudi dan Nasrani, karena kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah yang disertai dengan perbuatan jahat terhadap para Nabi dan penganutnya.
Allah berfirman,
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj:8)
Dan mereka ditimpa kehinaan dan kesengsaraan serta mereka kembali mendapat murka dari Allah. Demikian itu, karena mereka menghindari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa haq. Hal itu karena mereka durhaka dan melampaui batas. (Al-Baqarah:61)
Firman-Nya lagi,
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa rasul itu (Muhammad) benar-benar Rasul, dan keterangan-keterangannya pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zhalim. Mereka itu, balasannya ialah laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikina pula) laknat malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dlalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
(Ali Imran:86-88)
Jika kita kaitkan antara berita-berita Allah tersebut dan realitas kontemporer keadaan Yahudi dan Nasrani sekarang ini, seakan-akan ada kontradiksi antara janji dan ancaman Allah pada mereka. Sebab, di bagian lain, Allah berjanji kepada orang-orang mukmin, yakni janji pertolongan, kemenangan, kemakmuran, keberkahan, kebahagiaan, keteguhan, dan kekukuhan serta kekuasaan.
Orang-orang beriman yang dungu atau kacau pehamannya, tentu akan membenarkan syubhat ini, dan bisa beralih menjadi pendukung mereka, takjub kepada mereka, dan bahkan mungkin murtad dari keimanannya. Mungkin saja orang-orang beriman akan berkata, bahwa janji dan ancaman Allah itu tidak berlaku atau sunnah rabbniyah ini telah berubah. Benarkah ini semua?
Ali Imran ayat 112 dapat ditafsirkan,
1. Bahwa hukuman asal bagi Yahudi adalah terhina dan sengsara, atau bangsa tertindas untuk selama-lamanya;
2. Terdapat istitsna (pengecualian) bagi mereka yang memegang teguh hablum minallah dan hablum minannas.
Mereka, Yahudi itu bisa mengubah nasib kodratinya dengan cara hablum minallah dan hablum minannas. Jika demikian apa makna pengecualian tersebut. Justru pengecualian inilah yang sekarang ada pada mereka, adanya keteguhan, kemapanan, dan dominasi kekuasaan di dunia internasional. Di sinilah perlunya kita memahami tafsir istitsna tersebut. Dengan pendekatan hukum sebab akibat dan masyi'atillah, mungkin sekali terjadi peneguhan dan pendominasian Yahudi atas dunia, karena masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya. Dalam hal ini bisa terjadi pada siapa saja, manusia umumnya, tidak terkait oleh iman dan kufurnya. Mengingat bahwa dunia dan isinya itu tidak ada nilainya di mata Allah , tetapi bernilai besar bagi manusia, terutama oleh kaum kuffar Yahudi. Untuk ukuran dunia, pengukuhan dan peneguhan serta kekuasaan yang mendominasi dunia ini merupakan ‘penangguhan’ (tempo) di pandangan-Nya bagi mereka.
Sehingga makna ayat “.... kecuali dengan hablum minallah adalah kecuali masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya”. Puncak kejayaan Yahudi sekarang ini adalah karena masyi'atillah, iradah-Nya, dan pertolongan-Nya. Walau tidak mustahil karena disertai pengambilan sebab, menurut hukum kausalitas. Akan tetapi, tidak mengharuskan berakibat sebuah kejayaan atau dominasi kekuasaan. Sebab kenyataannya, banyak bangsa yang bekerja keras untuk bangkit, tetapi masyi'atillah belum berkehendak ke sana.
Lalu makna hablum minannas adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa kejayaan dominasi kekuasaan Yahudi itu tidak terlepas dari dukungan dan bantuan kekuatan negara lain. Tidak hanya Amerika, bahkan Rusia dan negara-negara Eropa, baik dukungan politik, militer, dana maupun psikologis terhadap Israel. Sebenarnya, apa yang dilakukan organisasi politik dan sosial, seperti PBB, Nato, Pakta Warsawa (dahulu), MEE, dll. sekadar sandiwara akbar, yang disertai dengan pernyataan-pernyataan kosong.
Hal ini persis seperti yang Allah lukiskan dalam surat Al-Munafiqun. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa;
1. Kehinaan dan kenistaan adalah karakter dan identitas asli bangsa Yahudi, dan tidak akan berubah;
2. Kecuali jika mereka mendapatkan pertolongan Allah atas takdir dan masyi'atillah serta iradah-Nya. Itulah makna illah bihablin minallah. Dan, karena dukungan berbagai pihak dalam segala aspeknya, itulah makna dari hablum minannas. Namun, itu semua dalam batas istidraj dan penangguhan tempo dalam jangka waktu yang telah Allah tetapkan untuk mereka.
Sejalan dengan takdir-Nya pula Allah memberikan taklif kepada Nasrani dan kaum Muslim untuk menjadi penghambat yang dapat menghentikan sepak terjang Yahudi di muka bumi. Muhammad Quthb mengibaratkan seperti binatang buas yang dikurung oleh dua penjagaan algojo (Nasrani dan umat Islam). Jika kedua penjaga ini tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan sempurna, binatang buas itu akan keluar dari kerangkengnya, kemudian menerkam penjaga-penjaganya. Nampaknya, itulah yang terjadi sekarang. Sebab-sebab Yahudi dapat bangkit dari kehinaan dan kenistaannya, lalu menjadi dominan dalam memainkan percaturan politik internasionalnya.
Ada satu hal dari kedua penjaga tadi, satu diantaranya, yaitu Nasrani, telah menjadi budak Yahudi. Mereka bersekongkol melakukan makar jahat terhadap Islam. Kaum Nasrani sejak keluar dari keaslian ajarannya tidak mampu lagi melakukan taklif penjagaan terhadap Yahudi. Padahal beban itu dipikulkan Allah atasnya hingga hari kiamat.
Allah berfirman,
“Ingatlah ketika Allah berkata, Wahai ‘Isa, sesungguhnya Aku memenuhi dan mengankatmu kepada-ku dan menyucikanmu dari orang kafir sampai hari kiamat.” (Ali Imran:55)
Sejak kaum Nasrani tidak beragama dengan agama yang benar, mereka tidak lagi menjadi pemegang amanat yang baik. Mereka, bahkan bersekongkol dengan Yahudi melawan satu musuh, yaitu Islam.
Sementara itu, umat Islam yang oleh Allah dibebani taklif sebagai umat wasathan, penjaga sepak terjang Nasrani dan Yahudi sekaligus, kenyataannya tidak mampu menjalankan risalahnya, bahkan lebih akrab pada kemungkaran dan menjauh dari kebenaran dan manhaj Rabbani.
Semua ini yang menjadikan kualitas iman, materi, ilmu pengetahuan, dan sikap mujahadnya menurun, merupakan hasil kerja keras Yahudi dalam men-Yahudikan atau me-Nasranikan atau memurtadkan kaum Muslim tanpa harus memindahkan agama mereka. Cukup dengan proses pengendalian tarbiyah dengan doktrin ilmu untuk ilmu, merusakkan keyakinan dan konsepsi Islam yang murni kepada orientalisme dan westernisasi, merusakkan fikrah, tradisi dan ahlak. Semua itu terjadi karena mereka, Yahudi dan Nasrani, menguasai media informasi. Seharusnya umat Islam malu menyandang gelar umat wasathan bagi mereka yang menyaksikan ihwal mereka tidak sejalan dengan “polisi umat manusia.”
“Dan Begitulah Kami jadikan kalian sebagai ummat pertengahan untuk menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul menjadi saksi pula atas (perbuatan) mu” (Al-Baqarah:143).
Namun sejarah telah menunjukkan, bahwa tiga generasi abad pertama sejak nubuwwah Muhammad SAW. telah berhasil dengan baik menjalankan tugas misi “polisi umat manusia” tadi. Hingga sekarang belum ada generasi kaum Muslimin yang menandingi mereka, bahkan mendekatinya pun belum.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain. Kaum Muslimin harus kembali kepada pemahaman, keyakinan, tardisi Sunnah, akhlak, suluk, dan Tsaqafah serta hadlarah kepada metode dan keteguhan mereka dalam memahami dan melaksanakan nash-nash syari’at.
Insya’Allah.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjaan.” (An-Nahl: 97)
Ya Allah, Ihdinash shirathal mustaqim, Shirathal ladzina an’amta ‘alaihim, Ghairil maghdlubi ‘alaihim, wa lad Dlallin. Amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Kategori: Al-Quran dan Tafsir